Makbarah Sunan Giri Gresik |
Oleh : M. Khaliq Shalha
Di
zaman super sibuk dan serba cepat
ini menimbulkan
kestresan manusia dengan tensi tinggi sehingga sewaktu-waktu mereka membutuhkan
rekreasi untuk refreshing, berpelesiran ke tempat-tempat eksotis. Berwisata bukan
lagi sekadar gaya hidup tapi kebutuhan hidup bagi setiap kalangan, baik para
elitis atau kalangan populis.
Para
pengusaha penat dengan mengelola perusahaannya; pekerja letih dan bosan dengan
pekerjaannya dengan sederetan tuntutan dan tekanan dari atasannya di mana
mereka bekerja; ulama,
kiai, ustadz, guru dan dosen sering jengkel melihat polah tingkah anak didiknya
yang mbeling dan menyebalkan hingga membutuhkan kesabaran ekstra dalam
mendidikanya; para pelajar jenuh dengan belajarnya karena menghabiskan
hari-harinya bersama
setumpuk mata pelajarannya demi menata
masa depannya. Mereka semua butuh rekreasi pada hari-hari tertentu, khususnya di hari
libur.
Fenomena
ini direspons
positif
dan sigap oleh
kalangan pengembang obyek wisata untuk menyediakan fasilitas lengkap demi kenyamanan para pengunjung agar mereka punya daya tarik untuk
berkunjung. Kedua belah pihak diuntungkan. Pengunjung puas dengan layanannya dan pengembang akan meraup keuntungan dari usaha
wisatanya.
Geliat
penggarapan obyek wisata bukan hanya di kota-kota, tapi juga di desa dengan
andalan wisata alam atau beragam obyek wisata menarik lainnya semakin digalakkan. Dan, obyek
wisata alam di desa malah menjadi jujukan dan primadona orang-orang yang
kesehariannya beraktivitas di kota. Sementara orang-orang desa tertarik
berkunjung ke kota. Begitulah mobilitas masyarakat desa-kota sebagai khazanah
sosial negeri kita tercinta.
Dalam
lembar memori masa kecil saya dulu, sebagian masyarakat mengkonotasikan obyek
wisata, misalnya di pantai, sebagai tempat maksiat, tempat mesum muda mudi sehingga
orang yang berkunjung ke situ diklaim tak berakhlak, muruahnya luntur. Ibarat—seandainya
pada masa periwayatan hadits— seorang parawi hadits jika berkunjung ke obyek wisata, status hadits
yang diriwayatkannya menjadi dhaif. Ampun…!!
Saya
kaget, kok begitu cap yang diberikan masyarakat? Mungkin ada benarnya, melihat beberapa oknum melakukan hal-hal yang
melanggar norma di tempat dimaksud. Hal itu saya kira sangat bijak jika dikembalikan
kepada masing-masing individunya saja, mengingat di tempat-tempat suci pun
rawan kemaksiatan, misalnya di suatu masjid yang saya tahu, pernah kehilangan
uang (kas amal jariah), isi kotak amalnya raib digondoli maling pada siang
bolong lagi.
Seiring
perjalanan waktu, dengan semakin baiknya masyarakat dalam
menata peradabannya dan semakin dalam meresapi pesan agamanya, paradigma negatif itu
sudah pudar secara perlahan sehingga
memunculkan kesan baru bahwa berkunjung ke tempat-tempat wisata seakan-akan
“sunnah”, karena masyarakat sudah mampu menyandarkan motifnya untuk ibadah
dengan menghayati keindahan ciptaan Tuhan dan keragaman fenomena sosial sebagai
anugerah Tuhan yang sangat indah dan penuh
makna.
Banyak
ayat Al-Qur’an secara tersurat maupun tersirat menganjurkan manusia untuk
berwisata sehingga hati mereka tersentuh menjiwai kebenaran, keagungan dan
keindahan ayat-ayat Tuhan yang terbentang di jagat raya ini maupun dalam diri
mereka sendiri sehingga meneguhkan hatinya tentang kebenaran Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي
أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ
بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ .
Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran
itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu? (QS. Fushshilat [41]: 53).
Ayat-ayat
Tuhan yang terbentang di alam semesta ini akan berarti dalam menggugah
kesadaran setiap manusia manakala mereka berusaha memanfaatkan segala potensi
pancainderanya. Dalam konteks pembahasan ini, manusia semakin mesra dengan
Tuhannya apabila mereka beranjak menuju obyek-obyek wisata. Karena aktivitas
kehidupan dunia ini diciptakan oleh Tuhan bersifat dinamis dan global. Dunia
ini tak sesempit daun kelor. Manusia harus menemukan jati diri dan aktualisasi
dirinya sehingga nasib hidupnya tak seperti katak dalam tempurung dan tak
bagaikan lalat dalam toples kaca.
Suatu
hal yang perlu diperhatikan oleh wisatawan adalah motifnya dalam berwisata,
sebagaimana sedikit disentil di atas. Karena tentu banyak di antara kita yang
tidak menyadari bahwa berwisata pada hakikatnya jika dilihat dari kacamata
tasawuf memiliki makna yang signifikan untuk kemajuan hidupnya lahir batin.
Jika motif mereka sekadar ingin berlibur, latah, menghabiskan sekian banyak
uang recehan dan motif tak jelas lainnya, tentu aktivitas liburannya sekadar
refreshing sebentar, ikut-ikutan orang lain dan menghabiskan sekian banyak pundi-pundi
rupiah, setelah itu tidak memiliki pengaruh perubahan spiritual dan kedewasaan
sosial. Gambaran kondisi berwisata seperti itu tergolong dilakukan oleh
orang-orang dengan tingkat kualitas dirinya masih rendah. Oret-oretan sederhana
ini mengajak kita untuk menjadi wisatawan yang berkualitas tinggi.
Sebelum
berpatualangan, kita tentu menyiapkan berbagai bekal. Semakin jauh perjalanan
yang akan kita tempuh semakin banyak pula bekal yang harus kita siapkan. Modal utama
manusia dalam melakukan safar adalah persiapan bekal dengan berbagai macamnya.
Pada era kekinian hal utama yang kita cek kembali ketika dalam detik-detik
keberangkatan setelah meluruskan motif (niat) adalah dompet dan isinya (uang,
ATM yang ada saldonya), HP lalu dilanjutkan membaca basmalah dan doa perjalanan.
Museum Islam Indonesia KH. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang |
Ada
kisah hikmah seorang penguasa cerdas dan zuhud
yang patut kita simak dengan saksama sebagai bahan permenungan dalam penutupan
tahun 2019 berikut ini.
Abdul
Aziz bin Abdullah al-Humaidi dalam bukunya, Umar bin Abdul Aziz: Sosok
Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas menorehkan kisah dari Ibnu Abdul Hakim
bahwa suatu ketika Umar bin Abdul Aziz bersama Sulaiman bin Abdul Malik pergi
berwisata. Setibanya di obyek wisata yang dituju, masing-masing mengeluarkan
bekal makanan yang dibawa dan masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan.
Kebetulan Sulaiman sekamar dengan Umar. Tiba-tiba keberadaan Umar tidak
diketahui oleh Sulaiman. Sulaiman yang pada waktu
itu menjabat sebagai khalifah memerintahkan pengawalnya untuk
mencari. Sang pengawal menemukan Umar sedang berada di bawah pohon dan
bersedih.
Berita
itu kemudian disampaikan kepada Sulaiman. “Apa yang membuatmu sedih wahai
Umar?” tanya Sulaiman. “Yang membuatku sedih adalah aku ingat hari kiamat
nanti. Siapa yang membawa bekal maka akan mendapatkan bekalnya, sedangkan aku
sekarang tidak membawa bekal maka aku tidak bisa makan,” jawab Umar.
Demikian
kecerdasan dan kecepatan Umar mengaitkan situasi yang dia alami dengan kondisi
besok pada hari kiamat. Saat itu ia tidak bisa mengeluarkan bekal karena dia
tidak membawa, sedangkan teman-temanya mengeluarkan bekal yang mereka bawa.
Pikiran Umar lebih cepat terpental menangkap sinyal peristiwa mahadahsyat yang akan
terjadi kelak daripada meminta bekal kepada Sulaiman.
Begitulah
hati yang bersih selalu ingat keadaan akhirat, terutama saat sedang sulit. Ketika riang gembira di obyek wisata yang eksotis,
terbesit dalam lubuk hatinya suatu tanya, akankah kelak ia meraih surga yang
keindahannya sungguh tak mampu dibayangkan oleh siapa pun di dunia ini. Hatinya mampu memaknai kesementaraan sebagai
bekal menuju keabadian. Sementara, hati
yang buram akan lupa diri dan lupa daratan. Kenikmatan dunia disangka
kesenangan di atas segala-galanya, padahal hakikatnya, kata Al-Qur’an, tiadalah
kehidupan dunia itu kecuali sekadar perhiasan yang menipu. Banyak manusia yang
terlena dan terpana hingga melupakan kenikmatan dan kepedihan akhirat yang tak
bertepi lagi.
La haula wala quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya hamba ini untuk meraih yang
terbaik kecuali dengan pertolongan Allah.
Wallah a’lam bis shawab.
***
Sumenep, 28
Desember 2019