Misbahul Anam |
Tentang Peresensi
MISBAHUL ANAM, lahir
di Dusun Lembanah,
Sentol Laok Pragaan Sumenep, 14
Maret 2000. Riwayat pendidikan dimulai dari
RA Miftahul Huda Tambak Batu Larangan Perreng
Pragaan Sumenep (lulus, 2009),
MI Miftahul Huda (2015), dan sekarang duduk di bangku kelas ix (sembilan) MTs Al-Wathan Larangan Perreng
Pragaan Sumenep. Dia berdomisili di Dusun Lembanah, Sentol Laok Pragaan Sumenep dan bisa dihubungi lewat facebook Anam Reymove.
***
Buku Ya Allah, Aku belum Siap Dikubur Hari Ini! |
Judul buku : Ya Allah, Aku belum Siap Dikubur
Hari
Ini!
Penulis : Ibnu Rusydiana Maswan
Penerbit :
Saufa
Cetakan : Pertama,
2015
Kota terbit :
Yogyakarta
Tebalbuku :
208
Resentator :
Misbahul Anam
Di dalam buku ini ada beberapa penjelasan tentang kematian, bagaimana mempersiapkan amal kita untuk menjadi bekal
di akhirat nanti. Tidak usah khuwatir dengan adanya kematian, tapi yang perlu dikhuwatirkan adalah bagaimana kehidupan kita setelah kematian dan masih banyak yang lainnya.“Setiap sesuatu yang berjiwa akan merasakan kematian.” (Ali ‘Imran [3]: 185).
Kehidupan bukanlah sesuatu yang bersifat abadi, dari ayat tersebut telah disebutkan bahwa setiap jiwa akan mati,
tidak terkecuali dengan kita. Kematian tidak memandang bulu,
mau kaya, miskin, tampan, jelek, pejabat, semuanya akan mati. Dari semua itu, kita tidak perlu memikirkan bagaimana menghadapinya, tapi kita harus memikirkan bagaimana menghadapi kehidupan setelahnya,
yaitu akhirat.
Nah, di akhirat hanya ada dua tempat, yaitu surga dan neraka.
Seperti yang kita tahu, surga berisi berbagai macam nikmat
Allah SWT., sebaliknya dengan neraka, yang berisi beragam siksa-Nya.
Dari kedua itu, kita ingin berada di tempat yang lebih baik untuk kita, dan tentunya kita tidak ingin mendapat adzab-Nya. Maka dari itu,
kita harus berusaha untuk mendapat ridha-Nya,
yaitu dengan cara menaati seluruh perintah-Nya, untuk melakukannya, kita perlu kesadaran,
sadar bahwa kehidupan kita tidak akan abadi.
Maka dari itu, kita perlu mempersiapkan kematian dengan sebaik mungkin, yaitu: Pertama, jangan berbangga diri. Berbangga diri atas apapun yang kita memiliki,
apalagi hingga membuat terlena dan lupa diri, akan menyebabkan kita abai terhadap kematian. Biasanya, sikap ini akan memunculkan kesombongan.
Ketika sikap ini merasuki hati seseorang,
memikirkan kematian dirinya tidak akan sempat.
Kabar kematian didengar sehari-hari berlalu bagai warta yang tak berarti.
Tidak ada kekhuwatiran pada jiwa
orang yang yang membanggakan diri dan sombong.
Sebab, kedua sifat itu memunculkan keyakinan semua yang membuat mereka merasa bakal hidup langgeng (hlm.74). Bukan hanya harta,
pangkat, dan jabatan yang menjadikan seseorang sombong dan berbangga diri, tetapi juga amal dan ibadah
yang dilakukan seseorang. Hal inilah
yang menyebabkan seseorang lupa dan mengabaikan kematian.
Kedua, jagalah kehormatan diri. Kehormatan merupakan sesuatu
yang penting bagi manusia. Bila tidak,
tentu tak akan terdengar berita mengenai peperangan atau kekisruhan lainnya lantaran kehormatan seseorang,
kelompok, atau negara merasa dihina. Demikian pula bila kehormatan itu dianggap tidak penting,
barangkali tidak akan terjadi persaingan,
permusuhan memperebutkan status yang dianggap terhormat (hlm.76).
Hakikat menjaga kehormatan adalah menjaga keimanan,
ketakwaan, dan ketundukan kepada
Allah SWT. Dengan demikian, jangan sekali-kali mengejar tingginya kehormatan lahir bila kehormatan batin justru menjadi lemah.
Ketiga, jangan menghisab orang lain. Seseorang bila tidak cermat terhadap dirinya pasti akan merugi.
Kerugian terbesar bagi seseorang adalah ketika sibuk mengoreksi kehidupan
orang lain dan lupa terhadap diri hingga ajal menjemputnya.
Tidak sedikit
orang yang gemar mengoreksi dan mencela kesalahan saudaranya.
Ironis, perbuatan tersebut dianggap mulia.
Ia menyangka perbuatannya adalah dakwah. Apapun dalih
yang menganggap bahwa mengoreksi dosa
orang lain sebagai sesuatu kebenaran, hakikatnya itu merupakan kekeliruan yang fatal. Dan,
seseorang yang suka berdalih membenarkan kekeliruan,
ia adalah setan
yang berpenampilan manusia (hlm. 81).
Semua itu harus kita lakukan dari sekarang, karena ajal kita tidak ada yang tahu, belum tentu umur kita sampai tua, banyak orang yang meninggal secara mendadak di luar sana yang umurnya juga masih muda, entah karena kecelakaan, penyakit, dan lain
sebagainya.
Berikut renungan-renungan sebelum kematian tiba, yaitu: Pertama, jaga hati sebelum
mati. Hati yang penuh cahaya kemilau itu adalah hati
orang-orang beriman. Karena itu,
berbahagialah orang yang benar-benar setia dengan keimanannya,
sehingga keimanan itu akan menjadikan hati mereka begitu benderang dan membuat mereka tak pernah khuwatir diperangkap oleh kegelapan-kegelapan yang menyesatkan
(hlm.186-187).
Kedua, cintai Allah
sepenuh hati. Di
dunia ini, hanya ada satu yang boleh kita kejar-kejar cintanya dan kita harapkan agar ia juga berkenan mencintai kita,
Dialah Allah SWT., Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dzat yang mampu memberikan cinta kasih dengan cinta
yang sejati, cinta yang menyelamatkan, cinta yang membuat siapapun yang pernah merasainya akan segera tahu bahwa dunia ini sungguh tidak ada artinya, ketika cinta di hati kita hanya difokuskan kepada
Allah demi mengharapkan rasa cinta dari-Nya.
Maka, kematian bukan menjadi sesuatu
yang menakutkan. Sebaliknya, kematian itulah
yang selalu dirindukan (hlm.195).
Dari semua pemaparan itu, saya kira sudah cukup untuk menjelaskan isi dari buku
yang berjudul Ya Allah, Aku belum Siap Dikuburkan Hari Ini!, yaitu tentang kematian dan lain sebagainya. Setiap sesuatu di dunia ini pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing,
tak terkecuali juga dengan buku ini.
Kelebihan buku ini di antaranya adalah menggunakan
bahasa yang mudah dipahami,
tidak banyak istilah-istilah
yang perlu dicari di dalam kamus sehingga buku ini cukup menarik untuk
dibaca.
Kekurangan buku ini, seperti kesalahan tulis
yang ada pada halaman 203, tidak sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), seperti
yang terdapat di halaman 25, tapi buku ini baik untuk dibaca agar bisa mengetahui tentang kematian dan selalu berbuat amal kebaikan dalam kehidupan sebelum ajal menjemput kita.
***
Tentang Penulis
IBNU RUSYDIANA MASWAN, lahir di Sumenep,
05 November 1981. Menempuh pendidikan tingkat menengah dan atas
di kota kelahirannya. Selama ia menjadi pelajar ia aktif di beberapa kegiatan antara lain; OSIS, Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual
(UKPI) UIN Sunan Ampel Surabaya,
Lembaga Strategis Pengembangan Masyarakat (LSPM), Redaktur Buletin Insaf
dan Ikstida. Saat ini, penulis tinggal
di Kebumen, Jawa Tengah, setelah menamatkan pendidikan
S1-nya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits. Penulis juga aktif menulis esai,
cerpen, puisi, opini, dan resensi di beberapa
media massa lokal serta nasional. Buku yang sudah diterbitkan; Menjadi Suami-Istri
yang Ahli Surga (Laksana,
2010).
***
Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2017/2018. (MQ).
© 2018
No comments:
Post a Comment