Oleh Hendriyanti *)
Masih
teringat kala itu tanganku berusaha mendorong matahari ke arah yang berlawanan.
Kemudian kuinjak-injak, kubakar, dan kuhancurkan setiap jam yang ada di muka
bumi. Dan, kutarik bulan yang melambai sunyi dengan segala kemunafikannya.
Hanya untuk satu tujuan, yaitu menghentikan waktu. Namun tetap saja, tubuhku
yang satu nan mungil ini tak dapat mengubah hal demikian. Aku seorang perempuan
yang mengaku sebagai muslimah dengan kecintaannya pada orang tua, khususnya
pada sang Ayah. Ayah yang diberi nama Toha oleh nenek, membuatnya tegar
menghadapi kehidupan. Waktu telah terlewati dengan cepat. Namun aku seringkali kembali
diperlihatkan pada masa kelamnya masa kecil.
“Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La
ilaha illallahu Allahu akbar. Allahu akbar walillahilham.” Takbir yang
menggema adalah waktu terindah bagi umat Islam. Waktu berkumpulnya
seluruh keluarga yang telah lama tak jumpa. Waktu menikmati makanan lezat yang
dikhususkan untuk penjamu yang sedang bersilaturrahmi. Namun tidak untuk anak
bernama Toha. Di saat para keluarga berkumpul dengan keluaga, ia melangkahkan
kakinya keluar dari rumah, berjalan dengan tangan tergontai, dan kemudian lari
ketika tempat yang ia tuju sudah terlihat oleh kedua matanya. Ialah
satu-satunya makam kesayangan, makam sang Ibu. Di saat keluarga yang lain
tertawa dengan kelucuan yang mereka buat-buat, Toha hanya bisa meneteskan air
matanya dengan perlahan ke atas makam itu. Ia mengadu dengan kehidupannya yang
kesulitan untuk makan dengan kenyang. Yang dijatah nasi dalam piringnya dengan
takaran yang sudah diatur oleh neneknya. Dan, bapaknya yang sudah bahagia
dengan perempuan lain setelah selesai mencintai sang Ibu. Namun untuk apa
mengeluh, ia hanya bercerita karena kebingungan dengan ketidaktahuan apa yang
akan dilakukannya.
“Ini
hanyalah sebuah cerita Ibu. Ceritaku yang tidak sama dengan cerita anak yang lain.
Ceritaku yang ternyata aku telah memiliki tiga Ibu yang Bapak setubuhi.
Ceritaku dengan pergi ke sawah mencari pohon siwalan atau kelapa hanya untuk
ingin menikmati makanan ringan seperti anak yang lain. Ceritaku yang memiliki
nenek dengan sembilan anaknya sehingga tak mampu membawamu ke dokter ketika
kamu hendak melahirkan, yang mengakibatkanmu dan adik bayiku terbaring di bawah
tanah ini. Dan, hari ini Ibu, mereka yang bahagia tidak melirikku dengan rasa
ibanya. Meskipun ada sebagian yang sadar tapi aku memiliki rasa malu sehingga
menolaknya. Karena aku yakin Tuhan memberi kekuatan sehingga ia melimpahkan
beban seperti ini hanya berdua dengan adik laki-lakiku.” Wajahnya menunduk.
Mungkin ia mulai lelah menceritakan kehidupannya di atas makam itu. Ia pun
pulang dengan lega namun tetap membawa duka dan segera mendekap adik kecilnya.
Anak sembilan tahun dengan adiknya tujuh tahun, akan menghadapi dunianya dengan
tegar.
***
Tetasan
lembut mengalir dari pucuk mata kiriku. Tak terasa kepala yang kusandarkan di
bahu kanan Ayah meluapkan emosi, sehingga mata pun tak mampu menutupinya.
Kemudian kusadarkan tubuh dan jiwaku kembali pada kehidupan saat ini. Aku
bangga memiliki Ayah Toha yang kuat dengan masa kecilnya yang memprihatinkan.
Tidak hanya itu, kebiasaannya bertanggung jawab sebagai kakak, ia terapkan
hingga ia memiliki keluarga. Menjadi suami dengan penghasilannya yang bertahap,
dimulai menjadi kuli yang menerima pesanan dari beberapa orang yang membutuhkan
jasanya sebagai pengukir kayu hingga menjadi seorang pembisnis kayu antik yang
juga eksis di media sosial untuk mempromosikan barang-barang antiknya seperti berbagai
kayu antik sebagai tempat tidur, jendela kayu, dan masih banyak lainnya.
Selain
suami yang pekerja keras, Toha adalah sosok Ayah yang begitu penyayang,
khususnya terhadap anak-anaknya tanpa terkecuali dan tanpa pilih kasih. Namun
sayang, itu pernah membuat Ibu cemburu terhadap anaknya sendiri. Anak itu
adalah anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Anak perempuan yang
memang ia inginkan dibandingkan dengan anak laki-laki. Mungkin alasannya karena
ia mencintai sosok perempuan, sosok perempuan yang sudah meninggalkannya sejak
kecil. Entahlah. Namun sebagian besar orang mengatakan bahwa aku memiliki
bentuk wajah yang mirip dengan nenek (ibu dari Ayah). Mungkin alasan ini pula
dapat dijadikan mengapa ia begitu setia dengan Ibuku yang wajahnya sangat
pas-pasan. Aku pernah mendengar bahwa laki-laki yang menyayangi ibunya ialah
laki-laki yang akan setia terhadap istri dan keluarga. Dan, aku percaya itu.
Antara
aku dan Ibu mungkin tidak seakrab antara aku dan Ayah. Pertengkaran kerap
sekali terjadi antara aku dan Ibu. Ibuku yang memiliki nama Lisa ini sangat
tidak sepaham dan tidak sepemikiran, yang membuat selalu terjadi perbedaan
pendapat dalam berbagai hal. Terjadi sebuah peristiwa besar kala aku kelas tiga
madrasah tsanawiAyah. Aku yang sering melanggar aturannya, dan selalu banyak
alasan ketika mendapat perintah melakukan sesuatu, termasuk urusan dapur.
***
Suatu
ketika Ibu memerintahku membeli gula untuk menjamu tamu yang tidak dihidangkan
kopi karena gulanya dalam keadaan kosong. Kemudian aku menerima uangnya dengan
malas untuk kubelikan. Karena keadaanku sedang dilanda malas, bosan, dan hati
yang kacau aku pun berangkat dengan lesu. Diperjalanan aku melewati rumah sepupu
yang keadaan rumahnya lagi ramai dan seru, sehingga kuselewengkan dulu perintah
Ibu. Sesampaiku di rumah, tamu-tamu sudah berpamitan pulang dan jamuannya belum
terbuat sama sekali. Tamu pun pergi dengan kekurangpuasan. Karena seharusnya
budaya Madura sangat menghormati tamu. Sama halnya dengan pepatah yang
mengatakan, “Tamu adalah raja.” Kesalahan besar sedang kualami dengan hati tak
tenang. Wajah Ayah pun memerah seakan melahap semua isi rumah.
Ayah : “Kenapa begitu sulitnya hanya membuatkan
kopi untuk tamu?” Ayah memulai percakapan dengan nada yang masih standar.
Ibu : “Tanyakan sendiri pada anak kesayanganmu!
Aku sudah menyuruhnya membeli gula tapi tak kunjung datang.”
Ayah : “Kalau tau begitu kenapa kau tidak jalan
sendiri?! Kenapa selalu mengandalkan anak untuk kau jadikan budak? Apa yang kau
lakukan dari tadi sampai kau tak mampu hanya sekadar beli gula di toko yang
jaraknya tidak terlalu jauh? Dasar pemalas!!
Percekcokan
mulut semakin menjadi hingga Ibu masuk kamar dan menangis sendiri. Beberapa menit
kemudian Ayah menyusul. Kukira ia akan membujuk Ibu untuk menghapus air matanya
karena kutahu Ayah adalah sosok pemimpin keluarga yang bijak. Namun,
perkiraanku salah. Tiba-tiba… “Duaaaarr… krapak... duaar duaar…” kipas angin itu
roboh hancur dan remuk dan menimpa VCD player yang ada di sampingnya. Ruang tamu
sudah tidak menyerupai ruang, tapi kandang. Begitu pula pintu-pintu
dihantamkannya ke luar-ke dalam.
Kakak
sedang tidak di rumah. Adik sedang mengaji dengan pak kiai di mushalla. Satu-satunya
anak yang menyaksikan peristiwa gempa pribadi itu ialah aku. Hanya aku. Membuatku
histeris dan ikut depresi melihat sebuah pertengkaran yang sebelumnya tak
pernah ada. Bahkan nenek sekalipun tidak membelaku. Ia membela Ibu yang sudah
nyata kebenarannya. Tangisku semakin menjadi. Namun Ayah, hanya Ayah yang
membelaku hingga ia mengorbankan pertengkaran itu terjadi. Hal paling buruk
selama aku hidup. Anak durhaka yang membuat masalah dan menghadiahi
pertengkaran kepada orang tuanya.
Selama
tiga hari, Ayah tidak makan selama Ibu yang mempersiapkan, Ayah tidak bicara
kepada Ibu sekalipun Ibu sudah memanggilnya berulang kali. Aku yang merasa
bersalah terus merayu Ayah untuk dapat memberikan maafnya kepada Ibu. Usaha
yang lain kucoba dengan mempersiapkan makanannya meskipun bukan aku sendiri
yang memasak. Namun tetap saja Ia tak mau. Bahkan mengajakku ke luar, makan di
luar, dan membeli mi instan untuk persediaannya. Sampai aku merasa frustasi
menghadapi keluarga seperti itu. Sugguh itu adalah pengalaman terburuk dalam
hidup.
Kasih
sayang berlebihan selalu saja Ayah tunjukkan kepadaku. Sekalipun itu sepele
namun belum tentu setiap Ayah memperlakukan anaknya sepertiku. Mencium kening
setiap kali berangkat atau pulang kerja. Hanya aku yang usianya mencapai masa perkuliahan
yang masih bertahan dengan ciuman kasih sayang Ayah.
***
Namun,
ada perihal yang aku tak suka dengan Ayah. Ketika perjodohan itu terjadi, ia
membujukku hingga aku tak mampu menahan air mata di depan kedua matanya, saat
mendengar, “Aku akan menerima lamarannya dan ikutilah apa kataku nak.” Rasanya,
semua rasa sayangku ingin kuhempaskan ke lautan Afrika dan tak kutemui lagi di
Indonesia. Namun, semuanya kembali normal ketika aku tidak lagi memiliki
hubungan, ketika Tuhan menunjukkan bahwa kita memang tidak jodoh.
Aku
juga kesal ketika perdebatan kita dimenangkan oleh Ayah. Argumen yang paling
tidak bisa kuterima hingga saat ini ialah saat Ia mengatakan, “Sapi jantan
lebih mahal daripada sapi betina.” Ya, mungkin realitanya itu benar. Namun, hal
yang mengganjal ialah seolah-olah laki-laki selalu memiliki zona nyaman dan
aman, sedangkan perempuan selalu dinomorduakan dan tidak nyaman. Sehingga
muncul dalam hati dan pikiranku kala itu untuk membuktikan bahwa “perempuan
juga bisa lebih berharga dari laki-laki. Kita lihat saja nanti.” Dari setiap
hasil perdebatan kita, ada hal yang dapat kuambil, sekalipun tidak dalam waktu
itu juga. Hikmah itu terasa hingga saat ini. Perdebatan kecil-kecilan. Entah
itu tentang makanan, ilmu, sosial, politik, bahkan agama. Lulusan SD tidak
kalah saing dengan mahasiswa saat ini. Itulah Ayaku.
“Nak..
Pak.. Ayo yang mau makan malam semuanya,” dan semuanya dibuyarkan dalam satu
teriakan Ibu yang lantang. Kubangun dari ingatan masa lalu. Mencoba move on dan beralih mengubah diri
menjadi lebih baik. “Yah, ayo makan. Ibu sudah memanggil tuh,” ajakku kepada Ayah
yang sedari tadi berada di samping kiriku dengan duduk bersila melihat bulan di
bawah langit. Tanpa dijawab, ia langsung melangkahkan kaki menuju suara itu
berasal. Emperan rumah. Iya, karena orang Madura tidak memiliki ruang khusus
untuk makan. Di manapun tempat asalkan layak, siapa dan untuk apa pun dapat
ditempatinya dengan wajar.
Kita
pun menikmati makan malam bersama setelah berperang dengan ingatan-ingatan
memilukan. Melihat kenangan pahit untuk mengambil hikmah yang terkandung di
dalamnya. Terima kasih Ayah. Mari nikmati makanan lezat buatan Ibu ini bersama
bulan yang tersenyum ke arah emperan yang terbuka. Doakan bersama setiap
almarhum/almarhumah yang telah tenang di alam sana, karena mereka sudah bahagia
melihat keluarga kecil kita yang sudah berhasil menikmati hidup dengan
bersyukur dan ikhlas.
***
Selesai
________________
*) Penulis lahir
di Sumenep, 10 Mei 1997. Alumni MTs Al-Wathan tahun 2011. Mahasiswa angkatan
2014 dan lulus pada tahun 2018 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI sekarang PBI), Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Trunojoyo
Madura. Dia beralamatkan di Tengginah, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.
Selain menyelesaikan kuliahnya, aktifitasnya pernah dihabiskan bersama
Komunitas Karsa, Himpunan Mahasiswa Prodi, dan UKM-F Teater Sabit. Selain
organisasi intra, ia juga bergabung dalam organisasi ekstra IBM (Indonesia
Belajar Mengajar) dan sebagai aktivis HMI. Untuk berkomunikasi dengannya dapat
melalui email: hendriyanti520@gmail.com,
FB: Hendriyanti, dan WA: 082335144492.
|
Resensi
- ALBUM (7)
- ALBUM KEGIATAN (5)
- CERPEN (7)
- DARMA WISATA (2)
- ESAI (45)
- KONTES (3)
- PROFIL TENAGA PENDIDIK DAN KEPENDIDIKAN (10)
- PUISI (2)
- RESENSI 2020 (1)
- RESENSI BUKU (29)
Monday, September 24, 2018
REFLEKSI DIRI BERSAMA SEORANG AYAH
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment