Sunday, February 3, 2019

TAWADHU DAN ISTIQAMAH SEBAGAI MODAL KESUKSESAN

Fahri Qirom

Tentang Peresensi

FAHRI QIROM. Lahir di Sumenep, 23 Maret 2004. Riwayat pendidikan dimulai dari RA Miftahul Huda, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep (lulus 2008), MI Miftahul Huda (lulus 2016), dan sekarang ia duduk di kelas IX (sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.

Dia pernah aktif di kegiatan pramuka sewaktu di MI Miftahul Huda dan pernah mengikuti perkemahan tingkat Siaga yang diselenggarakan oleh MA Al-Wathan tahun 2014. Pengalaman keorganisasian  antara lain: Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, jabatan Anggota Bidang Kesehatan selama 2 periode (2016-2017, 2017-2018).

Saat ini dia tinggal di rumah tercintanya, di Dusun Lembanah, Desa Sentol Laok,  Kecamatan Pragaan, Kabupaten  Sumenep. Dia bisa dihubungi lewat no HP.082233348976.

***
Buku Ajaibnya Tawadhu & Istiqamah
Judul buku : Ajaibnya Tawadhu & Istiqamah: Modal Sukes Luar Biasa
Penulis 
: Rusdi.S.Th.I
Penerbit : Sabil
Cetakan : Pertama, Desember 2013
Kota terbit : Jogjakarta
Tebal buku : 198
Peresensi : Fahri Qirom
Pembimbing : M. Khaliq Shalha, M.Pd.I

***

Tawadhu dan istiqamah adalah modal yang besar untuk meraih kesuksesan yang kita inginkan. Banyak kisah nyata yang menggambarkan bahwa sikap tawadhu dan istiqamah mampu membuat kita sukses di dunia dan akhirat. Sikap tawadhu dan istiqamah telah diajarkan oleh kekasih kita sekaligus proklamator Islam, yakni Rasulullah SAW. Sikap beliau dapat kita jadikan sebagai cerminan hidup kita ke depan yang mana zaman yang akan datang belum tentu lebih baik dari zaman yang telah berlalu. Maka dari itu, kita sebagai umat Nabi Muhammad harus mampu meniru sikap beliau walau hanya seperempatnya saja. Karena tidak mungkin manusia biasa seperti kita bisa meniru beliau seratus persen tanpa ada yang ketinggalan. Beliau diibaratkan dengan Al-Qur'an berjalan. Tidak mungkin beliau akan melakukan dosa seperti yang kita lakukan.

Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadha’a yang berarti merendahkan, serta juga berasal dari kata ittadha’a dengan arti merendah diri. Di samping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakkan kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai tindakan berupa mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran dan seterusnya (hlm. 15).
  
Orang yang tawadhu, cara berbicaranya berbeda dengan orang yang sebaliknya. Dalam berbicara, mereka lebih ramah, lebih lembut, tidak kasar, apalagi menunjukkan kesombongan serta keangkuhannya. Sama halnya dengan orang yang berdoa kepada Allah di kala sedang ditimpa musibah. Dalam keadaaan seperti itu, pasti yang bersangkutan akan meminta dengan suara yang lembut dan ramah (hlm. 19).

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya, Tafsir al-Kabir memberikan ilustrasi yang menarik mengenai sikap tawadhu. Ia menggambarkan sikap rendah hati atau tawadhu laksana burung yang sedang terbang. Pada saat burung hendak hinggap atau merendah, maka ia menurunkan kedua sayap dan melunakkan lambungnya. Sementara, kalau mau terbang, ia mengepakkan kedua sayapnya (hlm. 23).

Dengan demikian, sikap rendah diri, rendah hati, atau tawadhu merupakan sikap yang dapat dilatih. Salah satunya dengan banyak menyebut Allah dengan perasaan takut namun penuh harap, tidak mengeraskan suara atau bersikap tenang. Ibnu Katsir mengartikan kata rendah diri sebagai sikap takut kepada Allah yang karenanya seseorang memohon dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, sikap inilah yang kemudian memunculkan kerendahhatian atau tawadhu (hlm. 27).

Setidaknya kita dapat mengambil kesimpulan bahwasanya sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah hati yang diwujudkan dalam beberapa tindakan-tindakan nyata sebagai berikut. Pertama, salah satu sikap tawadhu dapat ditunjukkan pada saat kita berdoa kepada Allah SWT. Saat berdoa, seseorang dapat dikatakan tawadhu apalagi ada rasa takut (khawf) dan penuh harap (raja’) kepada Allah SWT. Jika seseorang berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harapan besarnya, maka ia pasti tidak akan berdoa dengan sembarang cara. Etika berdoa pasti akan dilakukan dengan benar. Demikian pula, seseorang yang berdoa dengan penuh harap (raja’) maka ia akan selalu optimis, penuh keyakinan dan istiqamah dalam memohon, ia yakin bahwa tidak ada yang bisa memenuhi semua keinginannya kecuali pertolongan (ma’unah) Allah, sehingga perasaan ini tidak akan menjadikannya sombong, congkak, dan angkuh.

Kedua, tawadhu juga berkaitan dengan sikap baik kita kepada orang tua dan kepada orang lain. Kepada orang tua, kita bersikap penuh hormat dan patuh terhadap perintah-perintahnya. Jika memerintahkan kepada hal-hal yang positif, kita berusaha memenuhinya sekuat tenaga. Sebaliknya, jika orang tua memerintahkan kita kepada hal negatif, maka kita berusaha menolaknya dengan cara yang ramah. Kepada orang lain, sikap tawadhu juga bisa ditunjukkan dengan memperlakukan mereka secara manusiawi, tidak menyakiti mereka, berusaha membantu dan menolong mereka, serta menyayangi mereka sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Selain itu, memuliakan orang lain atau mengaggap mulia orang lain dalam batas-batas yang wajar merupakan bagian dari sikap-sikap tawadhu. Sebab dengan cara memuliakan orang lain itulah, kita bakal bisa berusaha menekan keinginan untuk menyombongkan diri sendiri.

Ketiga, seseorang dapat belajar sikap tawadhu, salah satunya dengan berusaha tidak membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membangga-banggakan diri sangat dekat dengan kesombongan. Sementara, kesombongan itu merupakan lawan dari tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap membangga-banggakan diri secara berlebihan akan memudahkan seseorang untuk menjadi pribadi-pribadi yang tawadhu (hlm. 34-36).

Sikap tawadhu sekalipun terkesan sebagai sikap yang wilayahnya berada dalam hati, namun sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari. Kalau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka sikap tawadhu dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan, dapat membuka dan memudahkan pintu rezeki berkat tawadhu dalam bekerja, membangun relasi bisnis, menentukan laba atau keuntungan, menjaga kualitas kerja dan produksi, dan dalam mengelola harta hasil kerja (hlm. 36-47).

Setiap orang tentu akan selalu berharap pintu rezekinya terbuka lebar atau jalan rezekinya dipermudah. Sehingga, dengan rezeki itulah, mereka akan merasa berbahagia. Akan tetapi, untuk mewujudkan itu semua bukanlah persoalan yang mudah. Setidaknya diperlukan usaha dan perjuangan yang keras, salah satunya dengan memunculkan dan memelihara sikap tawadhu dalam hal ikhlas menjalankan pekerjaan, mau belajar kepada orang lain, tidak malu bertanya, selalu memperbaiki diri, dan mau menerima nasihat orang lain (hlm. 52-64).

Pengaruh sifat tawadhu bagi kemuliaan manusia adalah menjadikan manusia tunduk pada kebenaran, meminimalisir kebohongan, meninggikan derajat kemanusiaan, memperkaya wawasan keilmuan, memunculkan simpati, mendatangkan kasih sayang Tuhan dan manusia, dan membuat hidup jadi mulia (hlm. 69-89).

Selanjutnya, istiqamah secara bahasa berasal dari akar kata qama yang berarti berdiri, tegak lurus, dan seterusnya. Dalam bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Secara terminologi, kata istiqamah memiliki beberapa makna, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh para sahabat, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq RA yang mengatakan bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid. Sementara, Ali bin Abi Thalib RA mengatakan bahwa istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban. Dan, Imam Nawawi menyatakan bahwa istiqamah adalah tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang lurus dalam beribadah kepada Allah.

Selain itu, kata istiqamah juga berasal dari kata istaqamah-yastaqimu-istiqamatan yang biasa diartikan dengan mendirikan. Kata “mendirikan” mengandung satu isyarat bahwa di dalam kata tersebut berlangsung sebuah proses atau upaya yang terjadi secara terus menerus. Kita ambil contoh seperti orang mendirikan rumah. Sebuah rumah tidak akan bisa didirikan, ditegakkan atau dibangun apabila di dalamnya tidak terjadi proses kerja yang terus menerus (hlm. 100-101).

Imam al-Qusyairi RA berkata, “Istiqamah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barang siapa yang tidak istiqamah dalam kepribadiannya, maka ia akan sia-sia dan gagal." Dikatakan, istiqamah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah dengan jujur (hlm. 131).

Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang  maksud istiqamah yang terkandung di dalam bunyi ayat “innalladzina qalu Rabbunallah tsummas taqamu,” lalu ia berkata, “Istiqamah adalah tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun." (hlm.126).

Munculnya sifat putus asa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah  tidak istiqamah. Seseorang yang tidak istiqamah cenderung lebih mudah mengalami rasa putus asa. Tidak adanya sikap istiqamah dan kesungguhan dalam melakukan pekerjaan apapun, membuat kita tidak memiliki prinsip dan pertahanan yang kuat saat menghadapi hambatan (hlm. 161).

Sikap istiqamah pada dasarnya bukan sekadar diterapkan dalam bidang-bidang ibadah mahdhah semata. Sikap ini dapat diaplikasikan dalam melaksanakan ibadah-ibadah muamalah serta berbagai perilaku positif lainnya. Dalam konteks mencari rezeki, sikap istiqamah ini bisa diimplementasikan dalam beberapa hal. Misalnya, istiqamah dalam bekerja, menciptakan perencanaan kerja, menggali inovasi kerja, menjaga kepercayaan relasi, mengelola hasil kerja secara kreatif, dan istiqamah dalam menjaga kualitas kerja dan produksi (hlm.134-148).

Cara memunculkan sikap istiqamah dalam bekerja yang bertujuan untuk memudahkan rezeki adalah lakukan setiap pekerjaan dengan optimal, bekerja sesuai tugas, buatlah target, hargai pekerjaan yang ada, introspeksi diri, dan sadar tanggung jawab (hlm. 149-152).

Sikap istiqamah merupakan sikap yang ditekankan dalam agama Islam. Sebab, di dalam sikap tersebut terdapat banyak keutamaan serta mengandung pengaruh positif yang menjadikan manusia memperoleh derajat kemuliaan. Berikut beberapa pengaruh dan nilai-nilai istiqamah bagi kemuliaan manusia. Istiqamah memperkuat prinsip, menjadikan manusia tahan uji, menghilangkan kemalasan, memunculkan etos kerja, melipatgandakan pahala kebaikan, menjauhkan dari sikap putus asa, menumbuhkan sikap keberanian, melapangkan jalannya rezeki, dan mendatangkan ketenangan serta dijanjikan surga (hlm.155-163).

Menjadi orang yang istiqamah tentu bukan perkara yang mudah. Setidaknya, diperlukan kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh agar sikap istiqamah itu menjadi ciri dari kepribadian diri kita. Namun, barang kali beberapa langkah berikut akan memudahkan kita untuk berusaha bagaimana caranya menjadi orang yang istiqamah. Lakukan mulai dari amal yang paling sederhana, bergaul dengan orang-orang yang konsisten, segarkan niat dengan terus mencoba berbuat, banyak membaca, dan banyak berdoa kepada Allah (hlm. 164-168).

Buku ini memberikan gambaran begitu jelas kepada pembaca untuk menerapkan sifat tawadhu dan istiqamah dalam kehidupan sehari-hari sebagai modal meraih kesuksesan luar biasa. Bagi yang ingin membacanya tidak perlu kebingungan mencari istilah-istilah yang sulit di kamus karena istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci. Dan bahasa yang digunakan juga sangat komunikatif dan tidak  berbelit- belit. Siapa pun yang membacanya akan lebih mudah memahami isinya. Tidak hanya itu, buku ini juga sarat rujukan pada Al-Quran dan hadits, sehingga meyakinkan untuk diamalkan.
***
  
Tentang Penulis

RUSDI, S.TH.I.  Lahir di Sumenep, 05 November 1981. Menempuh pendidikan MI dan MA-nya di desa kelahirannya dan sekaligus mondok di pesantren Nasy’atul Muta’allimin dan Annuqayah, Sumenep. Selama menjadi pelajar, ia aktif di beberapa kegiatan antara lain; OSIS, Forum Sanggar Biasa, Sanggar Andalan, Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual (UKPI) UIN Sunan Ampel Surabaya, Lembaga Stategis Pengembangan Masyarakat (LSPM), Buletin Insyaf dan Iktida.

Saat ini, penulis tinggal di Kebumen, Jawa Tengah, setelah menamatkan pendidikan S1-nya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits.

Penulis juga aktif menulis esai, cerpen, puisi, opini dan resensi di beberapa media massa seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Seputar Indonesia, Bernas, Jawa Pos, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Penyingkul Post, Bali Post, Solo Post, Merapi dengan nama pena Salman Rusydie Anwar. Buku yang sudah diterbitkan di antaranya: Sembuh dengan Al-Qur’an (Sabil, 2010),Teka-Teki Turunnya Nabi Isa (DIVA Press, 2011), Rahasia Memaafkan bagi Kesehatan Tubuh (Sabil, 2011), Fabel: Raksasa 1000 Ekor Semut (DIVA Press, 2009), Novel; Yang Miskin Dilarang Maling (Laksana, 2010), Perempuan Bermulut Api (antologi cerpen Balai Bahasa Yogyakarta, 2010), Tiga Butir Peluru (antologi cerpen pilihan Minggu Pagi, 2010).

***
Catatan: Resensi ini merupakan salah satu tugas akhir untuk siswa kelas akhir MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep, tahun pelajaran 2018/2019.

2 comments:

  1. Terimakasih atas resensinya dik Fahri. Bagus sekali. Kembangkan terus kemampuan membaca dan menulisnya sambil tetap tawadhu dan istiqamah. Salam (Rusdi)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih juga atas motivasinya Mas. Semoga kelak kami juga bisa menjadi penulis produktif. Salam dari MTs Al-Wathan, Sumenep, Madura.

      Delete