Fahri Qirom |
Tentang Peresensi
FAHRI QIROM. Lahir di Sumenep, 23 Maret 2004. Riwayat pendidikan dimulai dari
RA Miftahul Huda, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep (lulus 2008), MI Miftahul Huda
(lulus 2016), dan sekarang ia duduk di kelas IX (sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan
Perreng, Pragaan, Sumenep.
Dia pernah aktif di
kegiatan pramuka sewaktu di MI Miftahul Huda dan pernah mengikuti perkemahan
tingkat Siaga yang diselenggarakan oleh MA Al-Wathan tahun 2014. Pengalaman
keorganisasian antara lain: Organisasi Siswa
Intra Sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, jabatan Anggota Bidang Kesehatan selama 2
periode (2016-2017, 2017-2018).
Saat ini dia
tinggal di rumah tercintanya, di Dusun Lembanah, Desa Sentol Laok, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep. Dia bisa dihubungi lewat no HP.082233348976.
***
Buku Ajaibnya Tawadhu & Istiqamah |
Judul buku : Ajaibnya Tawadhu & Istiqamah: Modal Sukes Luar Biasa
Penulis : Rusdi.S.Th.I
Penulis : Rusdi.S.Th.I
Penerbit : Sabil
Cetakan : Pertama, Desember
2013
Kota terbit : Jogjakarta
Tebal buku : 198
Peresensi : Fahri Qirom
Pembimbing : M. Khaliq Shalha,
M.Pd.I
***
Tawadhu dan istiqamah
adalah modal yang besar untuk meraih kesuksesan yang kita inginkan. Banyak
kisah nyata yang menggambarkan bahwa sikap tawadhu dan istiqamah mampu membuat
kita sukses di dunia dan akhirat. Sikap tawadhu dan istiqamah telah diajarkan
oleh kekasih kita sekaligus proklamator Islam, yakni Rasulullah SAW. Sikap
beliau dapat kita jadikan sebagai cerminan hidup kita ke depan yang mana zaman
yang akan datang belum tentu lebih baik dari zaman yang telah berlalu. Maka
dari itu, kita sebagai umat Nabi Muhammad harus mampu meniru sikap beliau walau
hanya seperempatnya saja. Karena tidak mungkin manusia biasa seperti kita bisa
meniru beliau seratus persen tanpa ada yang ketinggalan. Beliau diibaratkan dengan Al-Qur'an
berjalan. Tidak mungkin beliau akan melakukan dosa seperti yang kita lakukan.
Secara etimologi,
kata tawadhu berasal dari kata wadha’a yang berarti
merendahkan, serta juga berasal dari kata ittadha’a
dengan arti merendah diri. Di samping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan
rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakkan
kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Bahkan, ada juga yang
mengartikan tawadhu sebagai tindakan berupa mengagungkan orang karena
keutamaannya, menerima kebenaran dan seterusnya (hlm. 15).
Orang yang
tawadhu, cara berbicaranya berbeda dengan orang yang sebaliknya. Dalam
berbicara, mereka lebih ramah, lebih lembut, tidak kasar, apalagi menunjukkan
kesombongan serta keangkuhannya. Sama halnya dengan orang yang berdoa kepada Allah
di kala sedang ditimpa musibah. Dalam keadaaan seperti itu, pasti yang
bersangkutan akan meminta dengan suara yang lembut dan ramah (hlm. 19).
Imam Fakhruddin
ar-Razi dalam kitabnya, Tafsir al-Kabir memberikan ilustrasi yang
menarik mengenai sikap tawadhu. Ia menggambarkan sikap rendah hati atau tawadhu
laksana burung yang sedang terbang. Pada saat burung hendak hinggap atau
merendah, maka ia menurunkan kedua sayap dan melunakkan lambungnya. Sementara,
kalau mau terbang, ia mengepakkan kedua sayapnya (hlm. 23).
Dengan demikian,
sikap rendah diri, rendah hati, atau tawadhu merupakan sikap yang dapat dilatih. Salah satunya dengan banyak menyebut Allah dengan perasaan takut namun
penuh harap, tidak mengeraskan suara atau bersikap tenang. Ibnu Katsir
mengartikan kata rendah diri sebagai sikap takut kepada Allah yang karenanya
seseorang memohon dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, sikap inilah yang
kemudian memunculkan kerendahhatian atau tawadhu (hlm. 27).
Setidaknya kita
dapat mengambil kesimpulan bahwasanya sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah
hati yang diwujudkan dalam beberapa tindakan-tindakan nyata sebagai berikut.
Pertama, salah satu sikap tawadhu dapat ditunjukkan pada saat kita berdoa
kepada Allah SWT. Saat berdoa, seseorang dapat dikatakan tawadhu apalagi ada
rasa takut (khawf) dan penuh harap (raja’) kepada Allah SWT. Jika seseorang
berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harapan besarnya, maka ia pasti tidak
akan berdoa dengan sembarang cara. Etika berdoa pasti akan dilakukan dengan
benar. Demikian pula, seseorang yang berdoa dengan penuh harap (raja’) maka ia akan selalu optimis,
penuh keyakinan dan istiqamah dalam memohon, ia yakin bahwa tidak ada yang bisa
memenuhi semua keinginannya kecuali pertolongan (ma’unah) Allah, sehingga perasaan ini tidak akan menjadikannya
sombong, congkak, dan angkuh.
Kedua, tawadhu juga berkaitan dengan sikap baik kita kepada orang tua
dan kepada orang lain. Kepada orang tua, kita bersikap penuh hormat dan patuh
terhadap perintah-perintahnya. Jika memerintahkan kepada hal-hal yang positif,
kita berusaha memenuhinya sekuat tenaga. Sebaliknya, jika orang tua
memerintahkan kita kepada hal negatif, maka kita berusaha menolaknya dengan
cara yang ramah. Kepada orang lain, sikap tawadhu juga bisa ditunjukkan dengan
memperlakukan mereka secara manusiawi, tidak menyakiti mereka, berusaha
membantu dan menolong mereka, serta menyayangi mereka sebagaimana kita
menyayangi diri sendiri. Selain itu, memuliakan orang lain atau mengaggap mulia
orang lain dalam batas-batas yang wajar merupakan bagian dari sikap-sikap tawadhu.
Sebab dengan cara memuliakan orang lain itulah, kita bakal bisa berusaha
menekan keinginan untuk menyombongkan diri sendiri.
Ketiga, seseorang dapat belajar sikap tawadhu, salah satunya dengan
berusaha tidak membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membangga-banggakan
diri sangat dekat dengan kesombongan. Sementara, kesombongan itu merupakan
lawan dari tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap
membangga-banggakan diri secara berlebihan akan memudahkan seseorang untuk
menjadi pribadi-pribadi yang tawadhu (hlm. 34-36).
Sikap tawadhu
sekalipun terkesan sebagai sikap yang wilayahnya berada dalam hati, namun
sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari. Kalau
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka sikap tawadhu dapat mengantarkan
manusia mencapai kebahagiaan, dapat membuka dan memudahkan pintu
rezeki berkat tawadhu dalam bekerja, membangun relasi bisnis, menentukan laba
atau keuntungan, menjaga kualitas kerja dan produksi, dan dalam mengelola harta
hasil kerja (hlm. 36-47).
Setiap orang
tentu akan selalu berharap pintu rezekinya terbuka lebar atau jalan rezekinya
dipermudah. Sehingga, dengan rezeki itulah, mereka akan merasa berbahagia. Akan
tetapi, untuk mewujudkan itu semua bukanlah persoalan yang mudah. Setidaknya
diperlukan usaha dan perjuangan yang keras, salah satunya dengan memunculkan dan memelihara sikap tawadhu dalam hal ikhlas menjalankan pekerjaan, mau
belajar kepada orang lain, tidak malu bertanya, selalu memperbaiki diri, dan mau
menerima nasihat orang lain (hlm. 52-64).
Pengaruh sifat
tawadhu bagi kemuliaan manusia adalah menjadikan manusia tunduk pada kebenaran,
meminimalisir kebohongan, meninggikan derajat kemanusiaan, memperkaya wawasan
keilmuan, memunculkan simpati, mendatangkan kasih sayang Tuhan dan manusia, dan
membuat hidup jadi mulia (hlm. 69-89).
Selanjutnya,
istiqamah secara bahasa berasal dari akar kata qama yang berarti
berdiri, tegak lurus, dan seterusnya. Dalam bahasa Indonesia, istiqamah diartikan
sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Secara terminologi, kata
istiqamah memiliki beberapa makna, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh
para sahabat, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq RA yang mengatakan bahwa istiqamah
adalah kemurnian tauhid. Sementara, Ali bin Abi Thalib RA mengatakan bahwa
istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban. Dan, Imam Nawawi menyatakan
bahwa istiqamah adalah tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang lurus dalam
beribadah kepada Allah.
Selain itu, kata
istiqamah juga berasal dari kata istaqamah-yastaqimu-istiqamatan yang
biasa diartikan dengan mendirikan. Kata “mendirikan” mengandung satu isyarat bahwa
di dalam kata tersebut berlangsung sebuah proses atau upaya yang terjadi secara
terus menerus. Kita ambil contoh seperti orang mendirikan rumah. Sebuah rumah
tidak akan bisa didirikan, ditegakkan atau dibangun apabila di dalamnya tidak
terjadi proses kerja yang terus menerus (hlm. 100-101).
Imam al-Qusyairi
RA berkata, “Istiqamah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi
sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barang siapa yang
tidak istiqamah dalam kepribadiannya, maka ia akan sia-sia dan gagal." Dikatakan,
istiqamah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena
ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan
berdiri di hadapan Allah dengan jujur (hlm. 131).
Imam Thabari meriwayatkan,
Abu Bakar pernah ditanya tentang maksud
istiqamah yang terkandung di dalam bunyi ayat “innalladzina qalu Rabbunallah tsummas taqamu,” lalu ia berkata, “Istiqamah
adalah tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun." (hlm.126).
Munculnya sifat
putus asa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah tidak istiqamah. Seseorang yang tidak istiqamah
cenderung lebih mudah mengalami rasa putus asa. Tidak adanya sikap istiqamah dan
kesungguhan dalam melakukan pekerjaan apapun, membuat kita tidak memiliki
prinsip dan pertahanan yang kuat saat menghadapi hambatan (hlm. 161).
Sikap istiqamah
pada dasarnya bukan sekadar diterapkan dalam bidang-bidang ibadah mahdhah
semata. Sikap ini dapat diaplikasikan dalam melaksanakan ibadah-ibadah muamalah
serta berbagai perilaku positif lainnya. Dalam konteks mencari rezeki, sikap
istiqamah ini bisa diimplementasikan dalam beberapa hal. Misalnya, istiqamah
dalam bekerja, menciptakan perencanaan kerja, menggali inovasi kerja, menjaga
kepercayaan relasi, mengelola hasil kerja secara kreatif, dan istiqamah dalam
menjaga kualitas kerja dan produksi (hlm.134-148).
Cara memunculkan
sikap istiqamah dalam bekerja yang bertujuan untuk memudahkan rezeki adalah lakukan
setiap pekerjaan dengan optimal, bekerja sesuai tugas, buatlah target, hargai
pekerjaan yang ada, introspeksi diri, dan sadar tanggung jawab (hlm. 149-152).
Sikap istiqamah
merupakan sikap yang ditekankan dalam agama Islam. Sebab, di dalam sikap
tersebut terdapat banyak keutamaan serta mengandung pengaruh positif yang
menjadikan manusia memperoleh derajat kemuliaan. Berikut beberapa pengaruh dan
nilai-nilai istiqamah bagi kemuliaan manusia. Istiqamah memperkuat prinsip, menjadikan
manusia tahan uji, menghilangkan kemalasan, memunculkan etos kerja, melipatgandakan
pahala kebaikan, menjauhkan dari sikap putus asa, menumbuhkan sikap keberanian,
melapangkan jalannya rezeki, dan mendatangkan ketenangan serta dijanjikan surga (hlm.155-163).
Menjadi orang
yang istiqamah tentu bukan perkara yang mudah. Setidaknya, diperlukan kemauan
dan usaha yang sungguh-sungguh agar sikap istiqamah itu menjadi ciri dari
kepribadian diri kita. Namun, barang kali beberapa langkah berikut akan memudahkan
kita untuk berusaha bagaimana caranya menjadi orang yang istiqamah. Lakukan
mulai dari amal yang paling sederhana, bergaul dengan orang-orang yang
konsisten, segarkan niat dengan terus mencoba berbuat, banyak membaca, dan
banyak berdoa kepada Allah (hlm. 164-168).
Buku ini
memberikan gambaran begitu jelas kepada pembaca untuk menerapkan sifat tawadhu
dan istiqamah dalam kehidupan sehari-hari sebagai modal meraih kesuksesan luar biasa. Bagi yang ingin membacanya tidak
perlu kebingungan mencari istilah-istilah yang sulit di kamus karena
istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci. Dan bahasa yang digunakan juga sangat komunikatif dan tidak berbelit- belit. Siapa pun yang membacanya
akan lebih mudah memahami isinya. Tidak hanya itu, buku ini juga sarat rujukan
pada Al-Quran dan hadits, sehingga meyakinkan untuk diamalkan.
***
Tentang Penulis
RUSDI, S.TH.I. Lahir di Sumenep, 05 November
1981. Menempuh pendidikan MI dan MA-nya di desa kelahirannya dan sekaligus
mondok di pesantren Nasy’atul Muta’allimin dan Annuqayah, Sumenep. Selama
menjadi pelajar, ia aktif di beberapa kegiatan antara lain; OSIS, Forum Sanggar
Biasa, Sanggar Andalan, Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual (UKPI) UIN Sunan
Ampel Surabaya, Lembaga Stategis Pengembangan Masyarakat (LSPM), Buletin Insyaf
dan Iktida.
Saat ini, penulis
tinggal di Kebumen, Jawa Tengah, setelah menamatkan pendidikan S1-nya di
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin Jurusan
Tafsir Hadits.
Penulis juga
aktif menulis esai, cerpen, puisi, opini dan resensi di beberapa media massa
seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Seputar Indonesia, Bernas, Jawa Pos,
Suara Karya, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Penyingkul Post, Bali Post, Solo Post,
Merapi dengan nama pena Salman Rusydie Anwar. Buku yang sudah diterbitkan
di antaranya: Sembuh dengan Al-Qur’an (Sabil, 2010),Teka-Teki
Turunnya Nabi Isa (DIVA Press, 2011), Rahasia Memaafkan bagi Kesehatan
Tubuh (Sabil, 2011), Fabel: Raksasa 1000 Ekor Semut (DIVA Press, 2009),
Novel; Yang Miskin Dilarang Maling (Laksana, 2010), Perempuan
Bermulut Api (antologi cerpen Balai Bahasa Yogyakarta, 2010), Tiga Butir
Peluru (antologi cerpen pilihan Minggu Pagi, 2010).
***
Catatan: Resensi ini merupakan salah satu tugas akhir untuk siswa kelas
akhir MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep, tahun pelajaran 2018/2019.
Terimakasih atas resensinya dik Fahri. Bagus sekali. Kembangkan terus kemampuan membaca dan menulisnya sambil tetap tawadhu dan istiqamah. Salam (Rusdi)
ReplyDeleteTerima kasih juga atas motivasinya Mas. Semoga kelak kami juga bisa menjadi penulis produktif. Salam dari MTs Al-Wathan, Sumenep, Madura.
Delete