Saturday, March 9, 2019

MENERAPKAN SIKAP SALING MEMAAFKAN DALAM RUMAH TANGGA

Kamulatun Jazilah

Tentang Peresensi

KAMILATUN JAZILAH, lahir di Dusun Tenggina, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep, tanggal 9 Januari 2004. Riwayat pendidikannya dimulai dari RA Al-Habsyi, Tenggina, Larangan Perreng (lulus 2009), MI Al-Ihsan II/A, Tenggina, Larangan Perreng (lulus 2013), sekarang duduk di bangku kelas IX (sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.

Pengalaman keorganisasian yang diikutinya antara lain Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, Jabatan Koordinator Bidang Pendidikan (2017), pernah mengikuti perkemahan Tingkat Penggalang di beberapa tempat, dan menjuarai beberapa lomba puisi tingkat kecamatan.
***
Buku Dahsyatnya Energi Saling Memaafkan
Judul Buku       : Dahsyatnya Energi Saling Memaafkan
Penulis             : Nurul Latifah, S.PSI.
Penerbit          : Sabil
Cetakan           : Pertama, 2016
Kota Terbit      : Yogyakarta
Tebal Buku      : 192 halaman
Presensi           : Kamilatun Jazilah

Memaafkan kesalahan merupakan suatu sikap jiwa yang menghasilkan energi positif. Terlebih dalam rumah tangga, sikap saling memaafkan akan merekatkan ikatan kasih sayang, empati, dan cinta. Dengan sikap saling memaafkan, keluarga yang bahagia dapat digapai dengan lebih mudah.

Buku berjudul Dahsyatnya Energi Saling Memaafkan ini merupakan buku yang isinya mengingatkan kepada kita bahwa saling memaafkan akan mampu memberikan energi kesuksesan bagi karier dan ekonomi. Dengan saling memaafkan, aneka konflik dalam rumah tangga dapat dengan mudah di atasi.

Dalam upaya menggapai rumah tangga yang bahagia, suami dan istri seharusnya memiliki bekal pengetahuan. Beberapa bekal pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai rumah tangga bahagia, di antaranya adalah mengenal potensi konflik dalam rumah tangga, cara melewati masa penyesuaian pernikahan, psikologi suami istri, menghapus kebiasaan marah, dan mendidik anak agar menjadi pemaaf. Dengan bekal itulah, suami istri dapat menjadi sepasang nahkoda yang siap mengarungi bahtera rumah tangga dan menggapai pernikahan bahagia (hlm. 14-15).

Keluarga bahagia adalah keluarga yang memiliki ketajaman untuk mengantisipai, mengenali, dan mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam rumah tangga. Faktor penyebab paling umum yang menimbulkan pertengkaran di dalam keluarga adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Adaptasi dimaknai sebagai berani memeriksa diri, mengintrospeksi diri dari kelemahan masing-masing, dan akhirnya berani untuk mengubah diri (hlm. 15).

Ketika terjadi konflik, perbedaan, dan pertengkaran, masing-masing suami atau istri harus mengakui bahwa sejatinya mereka memilki konflik. Selanjutnya, keduanya harus mampu mengkomunikasikan kebutuhan, harapan, dan secara bersama-sama memikirkan alternatif penyelesaian masalah, perlu disadari bersama bahwa konflik bukanlah sebuah ancaman, melainkan peluang untuk semakin menjiwai karakter pasangan. Salah satu kunci keberhasilan dalam keluarga ialah kemampuan mengatasi setiap permasalahan. Dalam hal ini, setiap anggota keluarga diharapakan untuk mampu menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara optimal. Permasalahan dalam keluarga jangan sampai menjadi awal dari perceraian. Sebaliknya, permasalahan tersebut diposisikan sebagai fase bagi keluarga untuk semakin tumbuh menjadi keluarga yang kokoh, kuat dan penuh cinta (hlm. 16-17).

Dalam bahtera rumah tangga, pasti akan ada yang namanya konflik, baik ketika itu berupa perekonomian, perselisihan dan lainnya. Maka dari itu, jika kita berkeinginan membangun rumah tangga yang bahagia, kita harus bisa saling memaafkan antara yang satu dengan yang lainnya, baik itu suami ataupun istri.

Seorang konselor keluarga dan pernikahan menyatakan bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Di antara ketiganya adalah berkurangnya sikap saling pengertian, hilangnya keinginan untuk mempertahankan pernikahan, dan harapan yang tidak realistis dalam pernikahan. Berikut keterangan lebih lanjut tentang tiga faktor yang dapat menimbulkan masalah rumah tangga tersebut.  Pertama, berkurangnya saling pengertian. Ketika rasa saling pengertian berkurang, pasangan suami istri harus mengevaluasi perjalanan pernikahan. Apabila suami istri saling menonjolkan ego pribadi dan tidak mau memahami kondisi pasangannya, maka pertengkaran demi pertengkaran pun akan mudah terjadi. Hal-hal sederhana pun dapat berkembang menjadi lapisan konflik yang semakin rumit.

Kedua, hilangnya keinginan untuk mempertahankan pernikahan. Jika masing-masing pasangan sudah kehilangan motivasi untuk mempertahankan pernikahan, maka pernikahan pun akan rentan berakhir dengan perceraian.

Ketiga, harapan yang tidak realistis pada pasangan. Mengharapkan suami istri menjadi sosok yang sempurna merupakan gejala awal dari konflik rumah tangga, pada dasarnya, sejak sebelum menikah, seseorang harus membangun harapan yang realistis pada pasangan. Harapan yang tidak realilstis hanya akan menghadirkan perasaan kecewa, marah dan tidak puas. Selanjutnya, hal itu dapat menumbuhkan benih kebencian pada pasangan (hlm. 17-20).

Pemicu konflik lainnya yang dapat menghancurkan kebahagiaan di dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan merupakan permasalahan yang sangat besar karena meninggalkan luka psikologis yang sangat mendalam jika salah satu pasangan mengetahui bahwa suami atau istrinya selingkuh, maka akan timbul kecurigaan secara terus menerus, hilangnya kepercayaan, dan menimbulkan perasaan tidak dicintai, selain perselingkuhan, permasalahan ekonomi juga dapat menimbulkan keretakan rumah tangga. Penghasilan ekonomi suami yang tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan menyebabkan ketidakpuasan pada diri istri. Jika kesulitan ekonomi ini tidak dapat diatasi, maka akan terjadi ketagangan dalam keluarga (hlm. 21).

Di dalam perjalanan rumah tangga, akan ada banyak konflik yang menjadi ujian cinta. Jika di kelola dengan baik, konflilk itu mampu menjadi perekat cinta. Suami istri dapat mengelola konflik dengan menerapkan manajemen konflilk suami istri, di antanya: (1) Menyadari hadirnya konflik dan menerima dengan lapang dada. (2) Berdialog dengan pasangan dalam keadaan stabil. (3) Menghormati pasangan dan tidak serta  merta memvonisnya bersalah.         (4) Menjaga etika berbicara, mengingat kebaikan pasangan dan memaafkan kesalahan pasangan. (5) Berusaha menerima pasangan secara positif tanpa syarat dan berusaha memetik hikmah dari peristiswa yang mengecewakan, menyakitkan, dan menimbulkan konflik rumah tangga (hlm. 22-23).

Kehidupan rumah tangga akan diliputi dengan kebahagiaan jika pasangan suami istri mampu mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga. Keharmonisan ialah kehidupan yang penuh dengan keselarasan, sehingga mampu mewujudkan ketenteraman. Keluarga yang harmonis dan berkualitas adalah keluarga yang rukun, bahagia, tertib, disiplin, saling menghargai, penuh maaf, tolong menolong dalam kebajikan, memiliki etos kerja yang baik, bertetangga dengan saling menghormati, taat mengerjakan ibadah, berbakti kepada yang lebih tua, mencintai ilmu pengetahuan, dan memanfaatkan waktu luang dengan hal positif sehingga kebutuhan dasar terpenuhi (hlm. 49).

Di dalam keluarga yang harmonis, kebiasaan marah telah dihapus menjadi ramah tamah. Sehingga, bibit-bibit kebencian tidak akan tumbuh. Rumah tangga pun dipenuhi dengan kelembutan tutur kata, canda yang riang penuh kebahagiaan, serta saling mengasihi antar anggota keluarga. Suami istri yang mampu mewujudkan keramahan dalam keluarga, secara tidak langsung telah melakukan pengasuhan ramah pada anak. Di dalam kebiasaan pola komunikasi yang ramah, suami istri akan lebih bahagia dan dicintai, sehingga memiliki energi positif untuk menjalankan peran dan tugasnya sehari-hari (hlm .51-52).

Anak-anak yang memiliki perilaku positif cenderung mampu menjadi penyejuk hati bagi kedua orang tuanya. Anak merupakan buah hati dari orang tua yang menjadi sumber ketenteraman. Namun demikian, tidak semua anak mampu menjadi penyejuk dalam keluarga, hanya anak yang memilki karakter baik yang mampu memberi ketenteraman (hlm. 62).

Salah satu pilar utama dalam menanamkan sikap positif pada anak ialah dengan mendidik anak agar mudah memaafkan. Dengan demikian, sikap pemaaf seorang anak akan memilki mental tangguh, dan kemampuan memaafkan yang baik, anak akan tumbuh menjadi sosok yang bijaksana dan penuh toleransi (hlm. 64-65).

Orang yang gemar memaafkan kesalahan dan mampu menahan amarah memilki derajat kemuliaan, selain dari itu, orang yang pemaaf juga akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT. Amarah harus dikelola sehingga dapat menjadi energi yang memperdayakan, bukan membinasakan (hlm. 73).

Rumah tangga yang bahagia akan berdampak positif pada segala aspek kehidupan. Pada umumnya, setiap rumah tangga menginginkan kesuksesan dalam hal karier, ekonomi, dan kebahagiaan. Karier sukses, harta yang berlimpah, dan rumah tangga yang harmonis merupakan idaman setiap individu. Dengan memilki tiga hal tersebut, seolah-olah seluruh kebahagiaan berkumpul menjadi satu. Jika ditelisik lebih mendalam, ternyata ketiga kesuksesan yang diidamkan oleh keluarga tersebut dapat dicapai melalui sikap saling memaafkan. Sikap saling memaafkan dalam rumah tangga mencerminkan kemurahan hati seluruh anggota keluarga. Tidak hanya kemurahan hati, sikap saling memaafkan juga merupakan tanda kelakuan jiwa dari seluruh anggota keluarga. Di dalam keluarga, sikap saling memaafkan ditunjukkan dengan kemampuan memberikan maaf dan menahan amarah. Dua sikap ini merupakan simbol kekuatan yang dapat mengantarkan seseorang menuju kesuksesan. Memaafkan merupakan keterampilan hati yang bisa dilatih, diasah dan dibiasakan. Semakin terampil seseorang dalam memberi maaf, maka akan semakin sejahtera pula hidupnya, baik secara lahir maupun batin (hlm. 112-116).

Di dalam rumah tangga, kemampuan saling memaafkan merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Kemampuan memaafkan secara tulus dan total dapat mengantarkan pada kesuksesan dalam bidang ekonomi, karier, kebahagiaan dan kesuksesan anak. Energi saling memaafkan dapat memberikan dampak positif yang akan membawa rumah tangga pada kebahagiaan (hlm. 130).
           
Kebiasaan saling memaafkan dalam rumah tangga merupakan sumber kasih sayang yang tidak akan pernah habis. Jika suami istri mau memahami dan menerima kondisi pasangannya, tentu tidak akan ada rasa marah di antara keduanya. Selain rumah tangga akan diliputi kasih sayang (hlm. 156).

Setiap orang pasti ingin mempunyai rumah tangga yang bahagia, maka dari itu marilah kita menerapkan sikap saling memaafkan, dengan sikap saling memaafkan kita dapat menggapai rumah tangga yang bahagia. Bukan hanya sikap memaafkan, tetapi juga sikap ramah tamah, harmonis, dan sabar juga mengantarkan pada keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Akan tetapi, bahtera rumah tangga tak akan selamanya berjalan mulus, ada kalanya terjadi suatu masalah yang disebabkan oleh suami istri. Maka dari itu, dibutuhkan kerelaan suami atau istri untuk memahami dan memaafkan kesalahan pasangannya agar keluarga yang bahagia dapat tercapai.

Hidup berumah tangga merupakan proyek membangun komunikasi dengan pasangan secara berkeseimbangan dan terus menerus. Berbagai persoalan dan perbedaan pendapat antara suami dan istri sering kali menguatkan berbagai masalah. Sehingga kelihaian dalam berkomunikasi merupakan keterampilan yang sangat diperlukan dalam membina kehidupan rumah tangga. Membina hubungan suami istri yang akrab dan mesra memerlukan tekat yang baik dan tingkat toleransi yang tinggi, sehingga berbagai masalah yang timbul dapat diatasi bersama (hlm. 169).

Perilaku saling memaafkan di dalam rumah tangga juga dapat dibina dengan membiasakan diri untuk berfokus pada masa depan. Dengan berfokus pada masa depan, seseorang akan lebih mudah memaafkan kesalahan, melupakan masa lalu, dan membuka lembaran baru. Sikap ini sekaligus mampu memberikan daya konsentrasi menyelesaikan tugas dengan baik.

Demikian pemaparan tentang bagaimana menerapkan saling memaafkan dalam rumah tangga. Penjelasan di atas sudah cukup jelas untuk menggambarkan isi buku yang berjudul Dahsyatnya Energi Saling Memaafkan. Di dalamnya berisi pelajaran-pelajaran kepada kita untuk menerapkan sikap memaafkan dalam rumah tangga. Buku ini memiliki kelebihan tersendiri. Di antaranya memberikan gambaran begitu jelas kepada pembaca untuk menerapkan sikap saling memaafkan. Bahasa yang digunakan sangat efektif dan komunikatif.
***
Tentang Penulis

NURUL LATHIFAH, S.PSI, lahir di Kulonprogo, 21 September 1989. Ia merupakan alumnus Psikologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak. Selama kuliah, ia aktif di Laboratorium Psikologi Perkembangan, menjadi asisten Praktikum Psikologi dan beberapa mata kuliah seperti Psikologi Konseling dan Psikologi Eksprimen. Setelah lulus, sempat mengabdi di Pusat Psikologi Terapan Metamurfosa sebagai Asisten Psikolog.

Sejak kecil, ia sangat gemar membaca dan menulis. Hingga kini, tulisan-tulisannya berupa puisi, cerpen, opini, cernak dan resensi tersebar di media massa lokal dan nasional, seperti Republika, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Lampung Post, Koran Yogyakarta, Malang Post, Majalah Sastra Horison, Majalah Sabili, dan lain sebagainya. Beberapa karya sastranya termaktub di dalam antologi puisi bersama Menolak Lupa (2009), Pawestren (2013), Lintang Panyer Wengi: Kumpulan Puisi Go Penyair Yogyakarta (2014), dan Pisau, Antologi 21 Cerpen Perempuan Cerpenis Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia (2013). 

Saat ini, penulis bersama anak dan suaminya tercinta, Anton Prasetyo, tinggal di Yogyakarta, penulis dapat di hubungi di El-Thiffa@yshoo.co.id.
***
Sumenep, 9 Maret 2019

Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2018/2019. (MQ).
© 2019

No comments:

Post a Comment