Wednesday, March 6, 2019

MEMBUKA PINTU REZEKI ALA NABI SULAIMAN

Sulaiman

Tentang Peresensi

SULAIMAN, lahir di Dusun Tengginah, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep  pada 11 April 2003. Riwayat pendidikannya dimulai dari RA Al-Habsyi, Tengginah, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep  (lulus 2010), MI Al-Ihsan II/A, Tengginah, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep (lulus 2016), dan sekarang duduk di kelas IX  (sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.

Dia pernah aktif mengikuti pramuka, dan pernah mengikuti perkemahan tingkat penggalang di Al-Ghazali.  Pengalaman keorganisasian antara lain, Organisasi Siswa Intra sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, jabatan Anggota di Bidang Keamanan dan Kedisiplinan selama dua periode (2016-2017 dan 2017-018). Saat ini dia tinggal di rumah tercintanya, yakni Dusun Tengginah, Laranga Perreng, Pragaan Sumenep. Dia bisa dihubungi lewat nomor HP. 082338953596. 
***
Buku Kaya Seperti Nabi Sulaiman
Judul buku : Kaya Seperti Nabi Sulaiman
Penulis : Ahmad Zainal Abidin
Penerbit : Sabil
Cetakan : Pertama,Januari 2014
Kota terbit : Jogjakarta
Tebal buku : 188 halaman
Peresensi : Sulaiman

Buku yang berjudul Kaya Seperti Nabi Sulaiman ini ditulis oleh Ahmad Zainal Abidin. Buku ini juga dilengkapi dengan keistimewaan, doa , dan dzikir Nabi Sulaiman untuk melancarkan rezeki.

Untuk membuka pintu rezeki, kita harus memperbanyak bersyukur kepada Allah SWT niscaya Allah akan membuka pintu rezeki dan kita harus memperbanyak bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan, maka Allah akan menambah rezeki kita. Percayalah bahwa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (hlm. 180).

Akan tetapi, keinginan untuk menjadi kaya kadang menjadi jalan terjal berliku yang membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk melakukannya. Banyak orang lupa beribadah kepadaa Allah SWT hanya demi mengejar kekayaan. Bahkan, tak sedikit pula orang yang rela berbohong dan menipu orang lain. Impian menjadi kaya telah menyandera kesadaran banyak orang, sehingga mereka menghalalkan segala cara. Tentu sikap itu bukan tipe muslim kaya yang ideal.

Siapa pun yang ingin kaya, maka patut meneladani para utusan Allah SWT. Agama Islam sarat dengan keteladanan, termasuk dalam konteks kekayaan. Ada Nabi Sulaiman yang kaya dengan menjadi raja, Nabi Yusuf kaya dengan menjadi menteri, dan Nabi Muhammad sendiri yang kaya dengan menjadi entrepreneur.

Ada beberapa prinsip dasar yang patut kita teladani dari sekian banyak teladan, yang dalam hal ini adalah Nabi Sulaiman (hlm 96-97). Pertama, tidak menjadikan kekayaan sebagai tujun utama. Dalam kehidupan ini, kerap kali kita menjumpai orang yang gila harta atau kekayaan. Seluruh hidupnya seakan ditujukan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bagi mereka, orang yang hidup tanpa harta seakan sia-sia. Segala masalah, baik itu yang berkaitan dengan masalah pribadi, keluarga atau bahkan sosial, seakan bisa diselesaikan dengan harta. Mereka seakan berpandangan bahwa tujuan manusia lahir ke dunia tak lain adalah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Sebaliknya, tidak jarang kita juga menjumpai orang-orang yang seakan tidak membutuhkan harta sama sekali. Harta seolah dianggap sebagai penghalang untuk beribadah pada Allah SWT. Hari-hari mereka hanya dipenuhi  dengan ibadah mahdhah. Kerja sebagai sarana untuk mendapatkan uang dianggap sebagai penghalang atau bahkan bujukan setan. Mereka seakan pasrah saja terhadap Allah SWT tanpa harus bekerja.

Idealnya, seorang muslim bekerja dan berdoa. Mengenai hasil pekerjaan, itu adalah otoritas Allah SWT. Harta atau kekayaan dalam hal ini bukanlah sebagai tujuan, tapi sarana atau bekal untuk beribadah kepada Allah SWT.

Sebaliknya, orang yang menjadikan harta sebagai sebuah tujuan, maka mereka akan menjadi budak dari harta itu sendiri. Ketika harta menjadi sebuah tujuan, maka pencarian tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus merasa kurang dan kurang. Perasaan kurang kian hari kian bertambah seiring dengan kian banyaknya keinginan.

Maka dari itu, jadikanlah harta sebagai sarana, bukan tujuan. Jika seseorang menjadikan harta sebagai budak dan dirinya sebagai tuan. Ia merasa tenang mengabdi kepada Allah SWT dan tidak mudah risau, apalagi gundah oleh persoalan harta. Jalannya juga akan dipermudah oleh Allah SWT untuk mendapatkan harta (hlm. 97-100).

Kedua, mendahulukan ilmu. Nabi Sulaiman adalah sosok yang bijaksana, kaya, dan mempunyai kekuasaan yang besar tidak pernah lepas dari kekuasaan ilmunya. Ia memahami bahwa ilmu termasuk salah satu kunci untuk mengantarkan manusia menjadi hamba yang sempurna, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.

Nabi Sulaiman lebih memilih ilmu dibandingkan harta dan kerajaan. Itulah pilihan yang tepat. Nabi Sulaiman seakan memahami bahwa ilmu lebih uggul dibandingkan dengan kerajaan dan harta. Ilmu bisa diibaratkan dengan biji yang apabila ditanam akan tumbuh, berkembang, dan berbuah. Suatu  saat nanti, orang yang berilmu juga akan memetik buahnya. Ilmu tersebut layaknya sebuah cahaya yang dapat menjadi obor di tengah lorong kegelapan. Orang yang berilmu tak akan mudah tersesat karena ia memegang cahaya sebagai penerang.

Dengan ilmu yang dipilih Nabi Sulaiman, ia juga berhasil menguasai kekayaan, bukan justru dikuasai oleh harta dunia. Ia juga mampu mendapatkan kerajaan megah yang tak akan pernah tertandingi setelahnya. Ilmu telah mengantar Nabi Sulaiman untuk mendapatkan kekayaan yang melimpah dan kerajaan yang megah.

Ilmu memang lebih unggul dibanding harta dan kekuasan. Jika ada orang yang ditawari ilmu, harta dan kekuasaan, kemudian ia memilih harta, maka hal itu tidak akan tahan lama. Kian hari, harta kian berkurang. Sungguh berbeda dengan ilmu yang apabila terus digunakan dan disebarluaskan justru semakin bertambah. Harta juga harus dijaga oleh pemiliknya, namun ilmu itu justru mampu menjaga pemiliknya.

Tidak berbeda dengan harta, kekuasaan juga tidak akan bertahan selamanya. Seorang pejabat hanya mendapat tunjangan gaji selama ia menjabat. Setelah lengser, ia tidak akan mendapatkannya lagi. Kekuasaan yang dijalankan tanpa ilmu juga akan menjadi pincang. Bagaimana mungkin seorang pejabat mampu mengatur, membimbing, dan melayani rakyatnya bila tidak didasari oleh ilmu.

Jelaslah bahwa Islam sangat memuliakan orang yang berilmu. Secara lebih ekstrem, bisa dikatakan bahwa orang yang berilmu itu adalah penerus rasul. Para utusan Allah SWT tidak mewariskan harta, tetapi ilmu. Setiap perkataan orang yang berilmu bisa menjadi pelita bagi orang lain. Ilmu dapat menuntun dirinya, orang sekitar dan bahkan bangsanya. Itulah kenapa yang diwariskan pada kita itu adalah ilmu.

Ilmu adalah kunci kekayaan dan kekuasaan. Jika kita ingin kaya layaknya Nabi Sulaiman, maka carilah ilmu yang luas dan banyak. Bila ingin menjadi raja atau penguasa layaknya Nabi Sulaiman, maka carilah ilmu yang luas, sebab, ilmu adalah kunci ajaib yang telah diwariskan oleh para nabi terdahulu. Segala sesuatu yang kita inginkan bisa tercapai dengan ilmu. Seseorang yang menuntut ilmu dan mengamalkan secara konsisten  maka secara otomatis ia akan mempu menjalani hidup secara lebih baik. Cita-cita hidupnya bisa tercapai, termasuk dalam konteks kekayaan materi (hlm. 100-108).

Ketiga, bertakwa kepada Allah SWT.  Takwa adalah memelihara diri dari segala bentuk siksaan Allah SWT dengan mengikuti semua yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Orang-orang yang bertakwa selalu memelihara diri dari segala perkara yang membuat Allah SWT murka. Mereka menjaga diri dari segala bentuk perbuatan dosa, baik berbentuk lisan atau tindakan. Takwa juga akan tercermin dari gigihnya seseorang malakukan bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Bila ketakwaan berkorelasi dengan tingkat kekayaan, maka bisa dipastikan bahwa orang miskin tidak bertakwa. Padahal, sejak dulu, banyak orang mukmin yang bertakwa, tapi kondisi ekonominya pas-pasan, bahkan kurang. Dan, bisa saja kemiskinan menjadi ujian bagi seorang yang bertakwa, sedangkan kekayaan menjadi petaka bagi seseorang apabila titipan itu tidak mampu dijaga dengan baik.

Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155).

Dalam ayat tersebut, tampak jelas bahwa Allah SWT bisa saja menguji, baik dalam keadaan kekurangan dan kelaparan. Kelaparan dan kekurangan yang menimpa orang bertakwa adalah bentuk ujian. Sungguh, seseorang akan menjadi hamba yang luar biasa apabila dalam kondisi sedang diuji, namun masih tetap tersenyum sumringah sebagai bukti ketabahan dan kesabaran hatinya.

Orang yang bertakwa akan mendapatkan balasan dari Allah SWT melalui dua bentuk. Pertama, Allah SWT akan senantiasa menunjukkan jalan keluar baginya, baik kesusahan di dunia maupun di akhirat. Kedua, Allah SWT akan memberikan rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka. Jadi, Allah SWT akan memberikan rezeki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa barang siapa yang bertakwa kepada Allah SWT dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya serta menjahui apa yang dilarang-Nya, maka dia akan memberikan jalan keluarnya serta rezeki dari arah yang tidak disangka -sangka, yaitu dari arah yang tidak  pernah terlintas dalam benak atau tidak disangka sebelumnya.

Dalam ayat berikut Allah SWT menegaskan, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka, kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf [7]: 96).

Dalam ayat tersebut, Allah SWT seakan menjelaskan bahwa seandainya ada penduduk  sebuah negeri yang mampu beriman dan bertakwa, maka Allah SWT akan melimpahkan kelapangan atau kekayaan. Namun, tidak semua penduduk sebuah negeri mampu beriman dan bertakwa. Sebaliknya, mereka banyak mendustakan ayat-ayat Allah SWT (hlm. 108-113).

Keempat, tawakkal kepada Allah SWT. Tawakkal merupakan penegasan bahwa diri kita tidak mempunyai apa-apa, selain kekuatan Allah SWT. Kita hanya mampu berusaha dan bekerja, selebihnya otoritas Allah SWT. Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT akan diberi limpahan rezeki.  Allah SWT berfirman, “Dan, barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya  Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya, Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).

Dalam ayat tersebut, sudah sangat jelas bahwa setiap hamba yang bertawakkal dengan penuh, maka Allah SWT akan senantiasa mencukupkan setiap urusannya.

Sebagai utusan Allah SWT., Nabi Sulaiman termasuk orang yang sangat bertawakkal. Nabi Sulaiman yang saat itu berada pada puncak kejayaan di bidang politik dan ekonomi tak lupa bertawakkal kepada Allah SWT. Ia menyadari bahwa segala yang didapat bukanlah lantaran usaha sendirinya tapi sepenuhnya datang dari Allah SWT.

Salah satu poin penting dari bentuk rasa syukur Nabi Sulaiman dan kepasrahan atau tawakkal. Nabi Sulaiman memasrahkan diri dan bertawakkal kepada Allah SWT agar senantiasa dalam lindungan-Nya. Nabi Sulaiman mengajarkan kepada kita semua, terutama bagi siapa pun yang ingin mendapat rezeki atau bahkan mereka yang sudah kaya, untuk senantiasa bersyukur dan bertawakkal kepada Allah SWT. Nabi Sulaiman yang sangat kaya raya senantiasa bertawakkal kepada Allah Swt. Sungguh ia adalah teladan yang baik (hlm. 117-120).

Kelima, beribadah sepenuhnya kepada Allah SWT. Nabi Sulaiman yang terkenal sebagai orang yang paling kaya merupakan sosok yang sangat rajin beribadah. Kekeyaan yang menumpuk tak membuatnya lalai untuk beribadah. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan bermunajat dan membaca istighfar kepada Allah SWT (hlm. 122).

Keenam, bersyukur kepada Allah SWT. Bersyukur sebuah kata sederhana yang tidak semua orang mampu melakukannya. Banyak orang yang belum mampu bersyukur terhadap segala bentuk nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Karena ia mendikte keinginan-keinginan yang belum tercapai, sehingga hidupnya selalu merasa kurang dan kurang. Orang yang selalu mendikte Allah SWT dengan keinginan demi keinginan yang tak terpuaskan akan selalu merasa kurang. Sesuatu yang telah ada dan Allah SWT berikan kepada mereka seakan tidak berarti apa-apa (hlm. 128).

Ketujuh, membaca istighfar. Membaca istighfar adalah memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik melalui perbuatan ataupun lisan. Istighfar adalah memohon ampun atas segala dosa yang dilakukan oleh seorang hamba dengan niat tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa. Orang yang beristighfar berarti telah berkomitmen untuk meninggalkan segala perbuatan yang menyebabkan dirinya berdosa dan beralih pada perkara-perkara yang positif.

Setiap orang pasti tidak akan pernah lepas dari dosa. Baik disengaja atau tidak, kesalahan bisa saja terjadi. Oleh karena itu, istighfar sebagai bentuk permohonan maaf menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap saat. Sebagai sosok kekasih Allah SWT., Rasulullah SAW yang  sudah pasti dijamin masuk surga masih konsisten membaca  istighfar seratus kali dalam sehari (hlm. 132-133).

Buku ini memiliki kelebihan tersendiri. Di antaranya memberikan gambaran begitu jelas kepada pembaca untuk kaya seperti Nabi Sulaiman. Bagi yang ingin membacanya tidak perlu kebingungan mencari istilah-istilah yang sulit di kamus. Karena istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci. Dan bahasa yang digunakan juga sangat komunikatif  dan tidak berbelit-belit. Siapa pun yang ingin membacanya akan lebih mudah memahami isinya. Tidak hanya itu, buku ini juga bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, sehingga kebenarannya tidak diragukan lagi.

Di samping kelebihan di atas, ada beberapa kekurangan yang juga perlu diketahui oleh pembaca, di antaranya ada beberapa kata yang kurang efektif digunakan dalam buku ini seperti di halaman 17, 39,  94, 101, dan ada juga halaman yang diulang dua kali, yaitu halaman 113, 114, 127 dan 128. Selain itu, ada pula kalimat yang tidak ada kelanjutannya, contohnya dapat dilihat pada halaman 110 dalam buku ini.

Meskipun kekurangan secara fisik dalam buku ini cukup banyak. Akan tetapi isi buku ini penting untuk diperhatikan dan diterapkan bagi siapa saja terutama kaum muslimin yang ingin kaya seperti Nabi Sulaiman. Selamat membaca!
***



Tentang Penulis

AHMAD ZAINAL ABIDIN, lahir di Jawa Timur, 20 April 1981. Beliau aktif menulis opini bidang keagamaan di berbagai media massa, seperti Suara Pembaruaan, Jawa Post, Suara Merdeka, Investor Daily, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, dan beberapa media lokal lainnya. Ia mulai aktif melakukan gerakan sosial keagamaan di Yogyakarta selepas selesai kuliah hingga kini.

Di samping aktif dalam dunia tulis menulis, Zainal, sapaan akrabnya, juga terlibat di banyak organisasi keagamaan dan penelitian sosial. Zainal bisa menjadi penceramah di beberapa masjid di Yogyakarta. Selain itu, ia juga bisa mengisi workshop keagamaan di bidang ibadah harian serta menjadi motivator keagamaan. Hari-hari Zainal juga diisi dengan usaha mandiri yang di kelola bersama keluarganya.   
***
Sumenep, 6 Maret 2019

Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2018/2019. (MQ).
© 2019

No comments:

Post a Comment