Sulaiman |
Tentang Peresensi
SULAIMAN,
lahir di Dusun Tengginah, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep pada 11 April 2003. Riwayat pendidikannya dimulai
dari RA Al-Habsyi, Tengginah, Larangan
Perreng,
Pragaan,
Sumenep (lulus 2010), MI Al-Ihsan II/A, Tengginah, Larangan
Perreng,
Pragaan,
Sumenep (lulus 2016),
dan sekarang duduk di kelas IX
(sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.
Dia pernah
aktif mengikuti pramuka, dan pernah mengikuti perkemahan tingkat penggalang di
Al-Ghazali. Pengalaman keorganisasian antara
lain,
Organisasi Siswa Intra sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, jabatan Anggota di Bidang Keamanan dan Kedisiplinan selama dua periode (2016-2017 dan 2017-018). Saat
ini dia tinggal di rumah tercintanya, yakni Dusun Tengginah, Laranga
Perreng,
Pragaan Sumenep. Dia
bisa dihubungi lewat nomor HP. 082338953596.
***
Penulis : Ahmad Zainal Abidin
Penerbit : Sabil
Cetakan : Pertama,Januari 2014
Kota terbit : Jogjakarta
Tebal buku : 188 halaman
Peresensi : Sulaiman
Buku yang berjudul Kaya Seperti
Nabi Sulaiman ini ditulis oleh Ahmad Zainal Abidin. Buku ini juga
dilengkapi dengan keistimewaan,
doa
, dan dzikir
Nabi Sulaiman untuk melancarkan
rezeki.
Untuk membuka pintu rezeki, kita harus
memperbanyak bersyukur kepada Allah SWT niscaya Allah akan membuka pintu rezeki
dan kita harus memperbanyak bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan,
maka Allah akan menambah rezeki kita. Percayalah bahwa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang (hlm. 180).
Akan tetapi, keinginan untuk menjadi
kaya kadang menjadi jalan terjal berliku yang membuat seseorang menghalalkan
segala cara untuk melakukannya. Banyak orang lupa beribadah kepadaa Allah SWT hanya demi mengejar kekayaan. Bahkan, tak sedikit pula orang yang
rela berbohong dan menipu orang lain. Impian menjadi kaya telah menyandera kesadaran
banyak orang, sehingga mereka menghalalkan segala cara. Tentu sikap itu bukan
tipe muslim kaya yang ideal.
Siapa pun yang
ingin kaya, maka patut meneladani para utusan Allah SWT. Agama Islam sarat
dengan keteladanan, termasuk dalam konteks kekayaan. Ada Nabi Sulaiman yang
kaya dengan menjadi raja, Nabi Yusuf kaya dengan menjadi menteri, dan Nabi
Muhammad sendiri yang kaya dengan menjadi entrepreneur.
Ada beberapa prinsip dasar yang patut
kita teladani dari sekian banyak teladan, yang dalam hal ini adalah Nabi Sulaiman
(hlm 96-97). Pertama,
tidak menjadikan kekayaan sebagai tujun utama. Dalam kehidupan
ini, kerap kali kita menjumpai orang yang gila harta atau kekayaan. Seluruh
hidupnya seakan ditujukan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bagi mereka, orang
yang hidup tanpa harta seakan sia-sia. Segala masalah, baik itu yang berkaitan
dengan masalah pribadi, keluarga atau bahkan sosial, seakan bisa diselesaikan
dengan harta. Mereka seakan berpandangan bahwa tujuan manusia lahir ke dunia
tak lain adalah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Sebaliknya,
tidak jarang kita juga menjumpai orang-orang yang seakan tidak membutuhkan
harta sama sekali. Harta seolah dianggap sebagai penghalang untuk beribadah
pada Allah SWT. Hari-hari mereka hanya dipenuhi
dengan ibadah mahdhah. Kerja sebagai sarana untuk mendapatkan
uang dianggap sebagai penghalang atau bahkan bujukan setan. Mereka seakan pasrah saja terhadap
Allah SWT tanpa
harus bekerja.
Idealnya, seorang
muslim bekerja dan berdoa. Mengenai hasil pekerjaan, itu adalah otoritas Allah SWT.
Harta atau kekayaan dalam hal ini bukanlah sebagai tujuan, tapi sarana atau
bekal untuk beribadah kepada Allah SWT.
Sebaliknya,
orang yang menjadikan harta sebagai sebuah tujuan, maka mereka akan menjadi
budak dari harta itu sendiri. Ketika harta menjadi sebuah tujuan, maka
pencarian tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus merasa kurang dan kurang. Perasaan
kurang kian hari kian bertambah seiring dengan kian banyaknya keinginan.
Maka dari
itu, jadikanlah harta sebagai sarana, bukan tujuan. Jika seseorang menjadikan harta
sebagai budak dan dirinya sebagai tuan. Ia merasa tenang mengabdi kepada Allah SWT
dan tidak mudah risau, apalagi gundah oleh persoalan harta. Jalannya juga akan
dipermudah oleh Allah SWT untuk mendapatkan harta (hlm. 97-100).
Kedua,
mendahulukan ilmu. Nabi
Sulaiman adalah sosok yang bijaksana, kaya, dan mempunyai kekuasaan yang besar
tidak pernah lepas dari kekuasaan ilmunya. Ia memahami bahwa ilmu termasuk
salah satu kunci untuk mengantarkan manusia menjadi hamba yang sempurna, baik kehidupan
di dunia maupun di akhirat kelak.
Nabi
Sulaiman lebih memilih ilmu dibandingkan harta dan kerajaan. Itulah pilihan yang tepat. Nabi
Sulaiman seakan memahami bahwa ilmu lebih uggul dibandingkan dengan kerajaan
dan harta. Ilmu bisa diibaratkan dengan biji yang apabila ditanam akan tumbuh,
berkembang, dan berbuah.
Suatu saat nanti, orang yang berilmu
juga akan memetik buahnya. Ilmu tersebut layaknya sebuah cahaya yang dapat
menjadi obor di tengah lorong kegelapan. Orang yang berilmu tak akan mudah
tersesat karena ia memegang cahaya sebagai penerang.
Dengan
ilmu yang dipilih Nabi Sulaiman, ia juga berhasil menguasai kekayaan, bukan
justru dikuasai oleh harta dunia. Ia juga mampu mendapatkan kerajaan megah yang
tak akan pernah tertandingi setelahnya. Ilmu telah mengantar Nabi Sulaiman
untuk mendapatkan kekayaan yang melimpah dan kerajaan yang megah.
Ilmu
memang lebih unggul dibanding harta dan kekuasan. Jika ada orang yang ditawari
ilmu, harta dan kekuasaan, kemudian ia memilih harta, maka hal itu tidak akan
tahan lama. Kian hari, harta kian berkurang. Sungguh berbeda dengan ilmu yang
apabila terus digunakan
dan disebarluaskan justru semakin bertambah. Harta juga harus dijaga oleh
pemiliknya, namun ilmu itu justru mampu menjaga pemiliknya.
Tidak
berbeda dengan harta, kekuasaan juga tidak akan bertahan selamanya. Seorang
pejabat hanya mendapat tunjangan gaji selama ia menjabat. Setelah lengser, ia
tidak akan mendapatkannya lagi. Kekuasaan yang dijalankan tanpa ilmu juga akan
menjadi pincang. Bagaimana mungkin seorang pejabat mampu mengatur, membimbing,
dan melayani rakyatnya bila tidak didasari oleh ilmu.
Jelaslah
bahwa Islam
sangat memuliakan orang yang berilmu. Secara lebih ekstrem, bisa dikatakan
bahwa orang yang berilmu itu adalah penerus rasul. Para utusan Allah SWT tidak
mewariskan harta, tetapi ilmu. Setiap perkataan orang yang berilmu bisa menjadi
pelita bagi orang lain. Ilmu dapat menuntun dirinya, orang sekitar dan bahkan
bangsanya. Itulah kenapa yang diwariskan pada kita itu adalah ilmu.
Ilmu adalah kunci kekayaan dan kekuasaan. Jika kita ingin kaya layaknya Nabi Sulaiman, maka carilah ilmu yang luas dan banyak. Bila ingin menjadi raja atau penguasa layaknya Nabi Sulaiman, maka carilah ilmu yang luas, sebab, ilmu adalah kunci ajaib yang telah diwariskan oleh para nabi terdahulu. Segala sesuatu yang kita inginkan bisa tercapai dengan ilmu. Seseorang yang menuntut ilmu dan mengamalkan secara konsisten maka secara otomatis ia akan mempu menjalani hidup secara lebih baik. Cita-cita hidupnya bisa tercapai, termasuk dalam konteks kekayaan materi (hlm. 100-108).
Ketiga,
bertakwa kepada
Allah
SWT. Takwa adalah memelihara diri dari segala bentuk siksaan Allah SWT dengan mengikuti semua yang
diperintahkan Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Orang-orang yang bertakwa selalu
memelihara diri dari segala perkara yang membuat Allah SWT murka. Mereka
menjaga diri dari segala bentuk perbuatan dosa, baik berbentuk lisan atau
tindakan. Takwa
juga akan tercermin dari gigihnya seseorang malakukan bentuk ibadah kepada
Allah SWT.
Bila ketakwaan
berkorelasi dengan tingkat kekayaan, maka bisa dipastikan bahwa orang miskin tidak bertakwa. Padahal, sejak dulu, banyak
orang mukmin yang bertakwa, tapi kondisi ekonominya pas-pasan,
bahkan kurang. Dan, bisa saja kemiskinan menjadi ujian bagi seorang yang bertakwa,
sedangkan kekayaan menjadi petaka bagi seseorang apabila titipan itu tidak
mampu dijaga dengan baik.
Dalam Al-Qur’an
disebutkan, “Dan, sungguh akan kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah
[2]: 155).
Dalam ayat
tersebut, tampak jelas bahwa Allah SWT bisa saja menguji, baik dalam
keadaan kekurangan dan kelaparan. Kelaparan dan kekurangan yang menimpa orang
bertakwa adalah bentuk ujian. Sungguh,
seseorang akan menjadi hamba yang luar biasa apabila dalam kondisi sedang diuji,
namun masih tetap tersenyum sumringah sebagai bukti ketabahan dan kesabaran
hatinya.
Orang yang
bertakwa akan mendapatkan balasan dari Allah SWT melalui dua bentuk. Pertama, Allah SWT akan senantiasa menunjukkan
jalan keluar baginya, baik kesusahan di dunia maupun di akhirat. Kedua, Allah SWT akan
memberikan rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka. Jadi, Allah SWT akan memberikan rezeki yang
tak pernah ia harapkan dan angankan.
Al-Hafizh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa barang siapa yang bertakwa kepada Allah
SWT dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya serta menjahui apa yang
dilarang-Nya, maka dia akan memberikan jalan keluarnya serta rezeki dari arah
yang tidak disangka -sangka, yaitu dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benak atau tidak
disangka sebelumnya.
Dalam ayat
berikut Allah SWT menegaskan, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka, kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf [7]: 96).
Dalam ayat
tersebut, Allah SWT seakan menjelaskan bahwa seandainya ada penduduk sebuah negeri yang mampu beriman dan
bertakwa, maka Allah SWT akan melimpahkan kelapangan atau kekayaan. Namun,
tidak semua penduduk sebuah negeri mampu beriman dan bertakwa. Sebaliknya, mereka
banyak mendustakan ayat-ayat Allah SWT (hlm. 108-113).
Keempat, tawakkal kepada Allah SWT. Tawakkal merupakan penegasan bahwa diri kita
tidak mempunyai apa-apa, selain kekuatan Allah SWT. Kita hanya mampu berusaha dan
bekerja, selebihnya otoritas Allah SWT. Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT
akan diberi limpahan rezeki. Allah SWT berfirman,
“Dan, barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).
Sesungguhnya, Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya,
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).
Dalam ayat tersebut, sudah sangat jelas bahwa setiap hamba
yang bertawakkal dengan penuh, maka Allah SWT akan senantiasa mencukupkan setiap
urusannya.
Sebagai utusan Allah SWT., Nabi Sulaiman termasuk orang yang
sangat bertawakkal. Nabi Sulaiman yang saat itu berada pada puncak kejayaan di bidang politik dan ekonomi tak lupa bertawakkal kepada Allah SWT. Ia menyadari bahwa segala yang didapat bukanlah lantaran usaha sendirinya tapi sepenuhnya datang dari Allah SWT.
Salah satu poin penting dari bentuk rasa syukur Nabi Sulaiman dan kepasrahan atau tawakkal. Nabi Sulaiman memasrahkan diri dan bertawakkal kepada Allah SWT agar senantiasa dalam lindungan-Nya. Nabi Sulaiman mengajarkan kepada kita semua, terutama bagi siapa pun yang ingin mendapat rezeki atau bahkan mereka yang sudah kaya, untuk senantiasa bersyukur dan bertawakkal kepada Allah SWT. Nabi Sulaiman yang sangat kaya raya senantiasa bertawakkal
kepada Allah Swt. Sungguh ia adalah teladan yang baik (hlm. 117-120).
Kelima, beribadah
sepenuhnya kepada Allah SWT. Nabi
Sulaiman yang terkenal sebagai orang yang paling kaya merupakan sosok yang
sangat rajin beribadah. Kekeyaan yang menumpuk tak membuatnya lalai untuk
beribadah. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan bermunajat dan membaca istighfar
kepada Allah SWT (hlm. 122).
Keenam, bersyukur kepada
Allah SWT. Bersyukur
sebuah kata sederhana yang tidak semua orang mampu melakukannya. Banyak orang
yang belum mampu bersyukur terhadap segala bentuk nikmat yang telah diberikan
Allah SWT. Karena ia mendikte keinginan-keinginan yang belum tercapai, sehingga
hidupnya selalu merasa kurang dan kurang. Orang yang selalu mendikte Allah SWT dengan keinginan demi
keinginan yang tak terpuaskan akan selalu merasa kurang. Sesuatu yang telah ada
dan Allah SWT berikan kepada mereka seakan tidak berarti apa-apa (hlm. 128).
Ketujuh, membaca istighfar. Membaca istighfar
adalah memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan yang
pernah dilakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik melalui perbuatan
ataupun lisan. Istighfar adalah memohon ampun atas segala dosa yang dilakukan
oleh seorang hamba dengan niat tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa. Orang
yang beristighfar berarti telah berkomitmen untuk meninggalkan segala perbuatan
yang menyebabkan dirinya berdosa dan beralih pada perkara-perkara yang positif.
Setiap
orang pasti tidak akan pernah lepas dari dosa. Baik disengaja atau tidak,
kesalahan bisa saja terjadi. Oleh karena itu, istighfar sebagai bentuk
permohonan maaf menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap saat. Sebagai
sosok kekasih Allah SWT., Rasulullah SAW yang
sudah pasti dijamin masuk surga masih konsisten membaca istighfar seratus kali dalam sehari (hlm. 132-133).
Buku ini
memiliki kelebihan tersendiri. Di antaranya memberikan gambaran begitu jelas
kepada pembaca untuk kaya seperti Nabi Sulaiman. Bagi yang ingin membacanya
tidak perlu kebingungan mencari istilah-istilah yang sulit di kamus. Karena
istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci. Dan
bahasa yang digunakan juga sangat komunikatif
dan tidak berbelit-belit. Siapa pun yang ingin membacanya akan lebih mudah
memahami isinya. Tidak hanya itu, buku ini juga bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, sehingga
kebenarannya tidak diragukan lagi.
Di samping
kelebihan di atas, ada beberapa kekurangan
yang juga perlu diketahui oleh pembaca, di antaranya ada beberapa kata yang
kurang efektif digunakan dalam buku ini seperti di halaman 17, 39, 94, 101, dan ada juga halaman yang diulang
dua kali, yaitu halaman 113, 114, 127 dan 128. Selain itu, ada pula kalimat yang
tidak ada kelanjutannya, contohnya dapat dilihat pada halaman 110 dalam
buku ini.
Meskipun
kekurangan secara fisik dalam buku ini cukup banyak. Akan tetapi isi buku ini
penting untuk diperhatikan dan diterapkan bagi siapa saja terutama kaum
muslimin yang ingin kaya seperti Nabi Sulaiman. Selamat membaca!
***
Tentang Penulis
AHMAD
ZAINAL ABIDIN, lahir di Jawa Timur, 20 April 1981. Beliau aktif
menulis opini bidang keagamaan di berbagai media massa, seperti Suara Pembaruaan,
Jawa Post, Suara Merdeka, Investor Daily, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, dan
beberapa media lokal lainnya. Ia mulai aktif melakukan gerakan sosial keagamaan
di Yogyakarta selepas selesai kuliah hingga kini.
Di samping
aktif dalam dunia tulis menulis, Zainal, sapaan akrabnya, juga terlibat di
banyak organisasi keagamaan dan penelitian sosial. Zainal bisa menjadi
penceramah di beberapa masjid di Yogyakarta. Selain itu, ia juga bisa mengisi workshop
keagamaan di bidang ibadah harian serta menjadi motivator keagamaan. Hari-hari
Zainal juga diisi dengan usaha mandiri yang di kelola bersama keluarganya.
***
Sumenep, 6 Maret 2019
Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2018/2019. (MQ).
Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2018/2019. (MQ).
© 2019
No comments:
Post a Comment