Monday, September 24, 2018

REFLEKSI DIRI BERSAMA SEORANG AYAH

Oleh Hendriyanti *)

Masih teringat kala itu tanganku berusaha mendorong matahari ke arah yang berlawanan. Kemudian kuinjak-injak, kubakar, dan kuhancurkan setiap jam yang ada di muka bumi. Dan, kutarik bulan yang melambai sunyi dengan segala kemunafikannya. Hanya untuk satu tujuan, yaitu menghentikan waktu. Namun tetap saja, tubuhku yang satu nan mungil ini tak dapat mengubah hal demikian. Aku seorang perempuan yang mengaku sebagai muslimah dengan kecintaannya pada orang tua, khususnya pada sang Ayah. Ayah yang diberi nama Toha oleh nenek, membuatnya tegar menghadapi kehidupan. Waktu telah terlewati dengan cepat. Namun aku seringkali kembali diperlihatkan pada masa kelamnya masa kecil.

“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.  La ilaha illallahu Allahu akbar. Allahu akbar walillahilham.” Takbir yang menggema adalah waktu terindah bagi umat Islam. Waktu berkumpulnya seluruh keluarga yang telah lama tak jumpa. Waktu menikmati makanan lezat yang dikhususkan untuk penjamu yang sedang bersilaturrahmi. Namun tidak untuk anak bernama Toha. Di saat para keluarga berkumpul dengan keluaga, ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, berjalan dengan tangan tergontai, dan kemudian lari ketika tempat yang ia tuju sudah terlihat oleh kedua matanya. Ialah satu-satunya makam kesayangan, makam sang Ibu. Di saat keluarga yang lain tertawa dengan kelucuan yang mereka buat-buat, Toha hanya bisa meneteskan air matanya dengan perlahan ke atas makam itu. Ia mengadu dengan kehidupannya yang kesulitan untuk makan dengan kenyang. Yang dijatah nasi dalam piringnya dengan takaran yang sudah diatur oleh neneknya. Dan, bapaknya yang sudah bahagia dengan perempuan lain setelah selesai mencintai sang Ibu. Namun untuk apa mengeluh, ia hanya bercerita karena kebingungan dengan ketidaktahuan apa yang akan dilakukannya.

“Ini hanyalah sebuah cerita Ibu. Ceritaku yang tidak sama dengan cerita anak yang lain. Ceritaku yang ternyata aku telah memiliki tiga Ibu yang Bapak setubuhi. Ceritaku dengan pergi ke sawah mencari pohon siwalan atau kelapa hanya untuk ingin menikmati makanan ringan seperti anak yang lain. Ceritaku yang memiliki nenek dengan sembilan anaknya sehingga tak mampu membawamu ke dokter ketika kamu hendak melahirkan, yang mengakibatkanmu dan adik bayiku terbaring di bawah tanah ini. Dan, hari ini Ibu, mereka yang bahagia tidak melirikku dengan rasa ibanya. Meskipun ada sebagian yang sadar tapi aku memiliki rasa malu sehingga menolaknya. Karena aku yakin Tuhan memberi kekuatan sehingga ia melimpahkan beban seperti ini hanya berdua dengan adik laki-lakiku.” Wajahnya menunduk. Mungkin ia mulai lelah menceritakan kehidupannya di atas makam itu. Ia pun pulang dengan lega namun tetap membawa duka dan segera mendekap adik kecilnya. Anak sembilan tahun dengan adiknya tujuh tahun, akan menghadapi dunianya dengan tegar.
***
Tetasan lembut mengalir dari pucuk mata kiriku. Tak terasa kepala yang kusandarkan di bahu kanan Ayah meluapkan emosi, sehingga mata pun tak mampu menutupinya. Kemudian kusadarkan tubuh dan jiwaku kembali pada kehidupan saat ini. Aku bangga memiliki Ayah Toha yang kuat dengan masa kecilnya yang memprihatinkan. Tidak hanya itu, kebiasaannya bertanggung jawab sebagai kakak, ia terapkan hingga ia memiliki keluarga. Menjadi suami dengan penghasilannya yang bertahap, dimulai menjadi kuli yang menerima pesanan dari beberapa orang yang membutuhkan jasanya sebagai pengukir kayu hingga menjadi seorang pembisnis kayu antik yang juga eksis di media sosial untuk mempromosikan barang-barang antiknya seperti berbagai kayu antik sebagai tempat tidur, jendela kayu, dan masih banyak lainnya.

Selain suami yang pekerja keras, Toha adalah sosok Ayah yang begitu penyayang, khususnya terhadap anak-anaknya tanpa terkecuali dan tanpa pilih kasih. Namun sayang, itu pernah membuat Ibu cemburu terhadap anaknya sendiri. Anak itu adalah anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Anak perempuan yang memang ia inginkan dibandingkan dengan anak laki-laki. Mungkin alasannya karena ia mencintai sosok perempuan, sosok perempuan yang sudah meninggalkannya sejak kecil. Entahlah. Namun sebagian besar orang mengatakan bahwa aku memiliki bentuk wajah yang mirip dengan nenek (ibu dari Ayah). Mungkin alasan ini pula dapat dijadikan mengapa ia begitu setia dengan Ibuku yang wajahnya sangat pas-pasan. Aku pernah mendengar bahwa laki-laki yang menyayangi ibunya ialah laki-laki yang akan setia terhadap istri dan keluarga. Dan, aku percaya itu.

Antara aku dan Ibu mungkin tidak seakrab antara aku dan Ayah. Pertengkaran kerap sekali terjadi antara aku dan Ibu. Ibuku yang memiliki nama Lisa ini sangat tidak sepaham dan tidak sepemikiran, yang membuat selalu terjadi perbedaan pendapat dalam berbagai hal. Terjadi sebuah peristiwa besar kala aku kelas tiga madrasah tsanawiAyah. Aku yang sering melanggar aturannya, dan selalu banyak alasan ketika mendapat perintah melakukan sesuatu, termasuk urusan dapur.
***
Suatu ketika Ibu memerintahku membeli gula untuk menjamu tamu yang tidak dihidangkan kopi karena gulanya dalam keadaan kosong. Kemudian aku menerima uangnya dengan malas untuk kubelikan. Karena keadaanku sedang dilanda malas, bosan, dan hati yang kacau aku pun berangkat dengan lesu. Diperjalanan aku melewati rumah sepupu yang keadaan rumahnya lagi ramai dan seru, sehingga kuselewengkan dulu perintah Ibu. Sesampaiku di rumah, tamu-tamu sudah berpamitan pulang dan jamuannya belum terbuat sama sekali. Tamu pun pergi dengan kekurangpuasan. Karena seharusnya budaya Madura sangat menghormati tamu. Sama halnya dengan pepatah yang mengatakan, “Tamu adalah raja.” Kesalahan besar sedang kualami dengan hati tak tenang. Wajah Ayah pun memerah seakan melahap semua isi rumah.

Ayah    : “Kenapa begitu sulitnya hanya membuatkan kopi untuk tamu?” Ayah memulai percakapan dengan nada yang masih standar.

Ibu       : “Tanyakan sendiri pada anak kesayanganmu! Aku sudah menyuruhnya membeli gula tapi tak kunjung datang.”

Ayah    : “Kalau tau begitu kenapa kau tidak jalan sendiri?! Kenapa selalu mengandalkan anak untuk kau jadikan budak? Apa yang kau lakukan dari tadi sampai kau tak mampu hanya sekadar beli gula di toko yang jaraknya tidak terlalu jauh? Dasar pemalas!!

Percekcokan mulut semakin menjadi hingga Ibu masuk kamar dan menangis sendiri. Beberapa menit kemudian Ayah menyusul. Kukira ia akan membujuk Ibu untuk menghapus air matanya karena kutahu Ayah adalah sosok pemimpin keluarga yang bijak. Namun, perkiraanku salah. Tiba-tiba… “Duaaaarr… krapak... duaar duaar…” kipas angin itu roboh hancur dan remuk dan menimpa VCD player yang ada di sampingnya. Ruang tamu sudah tidak menyerupai ruang, tapi kandang. Begitu pula pintu-pintu dihantamkannya ke luar-ke dalam.

Kakak sedang tidak di rumah. Adik sedang mengaji dengan pak kiai di mushalla. Satu-satunya anak yang menyaksikan peristiwa gempa pribadi itu ialah aku. Hanya aku. Membuatku histeris dan ikut depresi melihat sebuah pertengkaran yang sebelumnya tak pernah ada. Bahkan nenek sekalipun tidak membelaku. Ia membela Ibu yang sudah nyata kebenarannya. Tangisku semakin menjadi. Namun Ayah, hanya Ayah yang membelaku hingga ia mengorbankan pertengkaran itu terjadi. Hal paling buruk selama aku hidup. Anak durhaka yang membuat masalah dan menghadiahi pertengkaran kepada orang tuanya.

Selama tiga hari, Ayah tidak makan selama Ibu yang mempersiapkan, Ayah tidak bicara kepada Ibu sekalipun Ibu sudah memanggilnya berulang kali. Aku yang merasa bersalah terus merayu Ayah untuk dapat memberikan maafnya kepada Ibu. Usaha yang lain kucoba dengan mempersiapkan makanannya meskipun bukan aku sendiri yang memasak. Namun tetap saja Ia tak mau. Bahkan mengajakku ke luar, makan di luar, dan membeli mi instan untuk persediaannya. Sampai aku merasa frustasi menghadapi keluarga seperti itu. Sugguh itu adalah pengalaman terburuk dalam hidup.

Kasih sayang berlebihan selalu saja Ayah tunjukkan kepadaku. Sekalipun itu sepele namun belum tentu setiap Ayah memperlakukan anaknya sepertiku. Mencium kening setiap kali berangkat atau pulang kerja. Hanya aku yang usianya mencapai masa perkuliahan yang masih bertahan dengan ciuman kasih sayang Ayah.
***
Namun, ada perihal yang aku tak suka dengan Ayah. Ketika perjodohan itu terjadi, ia membujukku hingga aku tak mampu menahan air mata di depan kedua matanya, saat mendengar, “Aku akan menerima lamarannya dan ikutilah apa kataku nak.” Rasanya, semua rasa sayangku ingin kuhempaskan ke lautan Afrika dan tak kutemui lagi di Indonesia. Namun, semuanya kembali normal ketika aku tidak lagi memiliki hubungan, ketika Tuhan menunjukkan bahwa kita memang tidak jodoh.

Aku juga kesal ketika perdebatan kita dimenangkan oleh Ayah. Argumen yang paling tidak bisa kuterima hingga saat ini ialah saat Ia mengatakan, “Sapi jantan lebih mahal daripada sapi betina.” Ya, mungkin realitanya itu benar. Namun, hal yang mengganjal ialah seolah-olah laki-laki selalu memiliki zona nyaman dan aman, sedangkan perempuan selalu dinomorduakan dan tidak nyaman. Sehingga muncul dalam hati dan pikiranku kala itu untuk membuktikan bahwa “perempuan juga bisa lebih berharga dari laki-laki. Kita lihat saja nanti.” Dari setiap hasil perdebatan kita, ada hal yang dapat kuambil, sekalipun tidak dalam waktu itu juga. Hikmah itu terasa hingga saat ini. Perdebatan kecil-kecilan. Entah itu tentang makanan, ilmu, sosial, politik, bahkan agama. Lulusan SD tidak kalah saing dengan mahasiswa saat ini. Itulah Ayaku.

“Nak.. Pak.. Ayo yang mau makan malam semuanya,” dan semuanya dibuyarkan dalam satu teriakan Ibu yang lantang. Kubangun dari ingatan masa lalu. Mencoba move on dan beralih mengubah diri menjadi lebih baik. “Yah, ayo makan. Ibu sudah memanggil tuh,” ajakku kepada Ayah yang sedari tadi berada di samping kiriku dengan duduk bersila melihat bulan di bawah langit. Tanpa dijawab, ia langsung melangkahkan kaki menuju suara itu berasal. Emperan rumah. Iya, karena orang Madura tidak memiliki ruang khusus untuk makan. Di manapun tempat asalkan layak, siapa dan untuk apa pun dapat ditempatinya dengan wajar.

Kita pun menikmati makan malam bersama setelah berperang dengan ingatan-ingatan memilukan. Melihat kenangan pahit untuk mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Terima kasih Ayah. Mari nikmati makanan lezat buatan Ibu ini bersama bulan yang tersenyum ke arah emperan yang terbuka. Doakan bersama setiap almarhum/almarhumah yang telah tenang di alam sana, karena mereka sudah bahagia melihat keluarga kecil kita yang sudah berhasil menikmati hidup dengan bersyukur dan ikhlas.
***
Selesai
________________
*) Penulis lahir di Sumenep, 10 Mei 1997. Alumni MTs Al-Wathan tahun 2011. Mahasiswa angkatan 2014 dan lulus pada tahun 2018 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI sekarang PBI), Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Trunojoyo Madura. Dia beralamatkan di Tengginah, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep. Selain menyelesaikan kuliahnya, aktifitasnya pernah dihabiskan bersama Komunitas Karsa, Himpunan Mahasiswa Prodi, dan UKM-F Teater Sabit. Selain organisasi intra, ia juga bergabung dalam organisasi ekstra IBM (Indonesia Belajar Mengajar) dan sebagai aktivis HMI. Untuk berkomunikasi dengannya dapat melalui email: hendriyanti520@gmail.com, FB: Hendriyanti, dan WA: 082335144492.

Saturday, September 22, 2018

APEL PAGI TIPE MURID

Sitti Maisaroh, MC Apel Pagi

Sabtu, 22 September 2018 MTs Al-Wathan Larangan Perreng Pragaan Sumenep gelar Apel Pagi sebagai acara rutinitas mingguan. Acara ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat disiplin siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar, juga memantik gairah belajar setelah kemarin menempuh liburan pendek mingguan (jumatan).

Dalam pagelaran Apel Pagi ini yang bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Bapak H. Kurniadi, S.HI. Dalam amanahnya, Bapak H. Kurniadi menyampaikan beberapa hal penting. Di antaranya, pertama, macam-macam murid itu ada tiga: (1) murid sangreh (tak berbobot dan tak berkualitas), yaitu murid yang sering melanggar tata tertib yang berlaku; murid yang tidak memperhatikan penjelasan guru dalam kegiatan belajar mengajar; murid yang kebut-kebutan ketika berkendaraan dan perilaku negatif lainnya. (2) Murid sedang. (3) Murid super, yaitu murid yang benar-benar mentaati tata tertib yang berlaku, baik disukai atau tidak; murid yang aktif belajar.


Beliau menambahkan, hendaknya para murid mengalokasikan waktu pada malam hari untuk tekun belajar walau sekadar 30 menit, jangan hanya menghabiskan waktu untuk menonton tivi. Jika ingin jadi orang yang berhasil harus dilalui dengan susah payah terlebih dahulu. Mustahil menjadi orang berhasil tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh.

Kedua, dalam melaksanakan shalat jamaah Zuhur hendaknya jangan bermain-main. Jangan ada lagi ketika sedang shalat sebagian murid menginjak kaki temannya atau main senggol-senggolan.

Ketiga, ketika usai wiridan dan doa bakda shalat Zuhur hendaknya para murid bersalaman dahulu kepada imam shalat (pengasuh/guru) dengan mencium tangannya. Menurut Bapak H. Kurniadi, murid yang bersalaman dengan mencium tangan guru (imam) akan ada pengaruh positif pada kejiwaan murid, yaitu ada aura positif yang mengalir dari imam pada murid, ibarat pula seorang anak bersalaman kepada orang tua dengan mencium tangannya, spiritualitas orang tua akan mengalir pada jiwa anaknya. (MQ).

Friday, September 7, 2018

SISWA MTs AL-WATHAN SANTUNI FAKIR MISKIN

Sambutan hangat Bu Arif  (Sebelah barat MTs Al-Wathan) pada para siswa

Jumat berkah, 7 September 2018 adalah momen sangat baik bagi para siswa MTs Al-Wathan Pragaan Sumenep dengan merealisasikan program santunan pada fakir miskin yang dimotori oleh Pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang merupakan program rutin tahunan dengan dikoordinir oleh Pembina OSIS, Ustazd Moh. Yusuf, S.Pd.I.


Irma Amilia Rahman selaku Ketua OSIS MTs Al-Wathan mengkonfirmasikan bahwa santunan kepada fakir miskin tersebut berupa beras, minyak goreng, gula, garam, penyedap rasa, telur dan mi instan yang dananya diperoleh dari sumbangan semua Anggota OSIS sebesar Rp5.000 dan Pengurus OSIS sebesar Rp7.000.


Dana yang terkumpul tidak besar memang, tapi hal itu sangat berarti untuk membangun kepedulian siswa sejak dini pada sesama yang berada di bawah garis kemiskinan. Jika ingin bersedakah, tidak usah menunggu kaya, karena kaya sangat relatif yang tidak akan pernah ditemukan standar dan tepinya hingga nyawa tak lagi di kandung badan.
Bu Sumaryam (Sebelah barat MTs Al-Wathan)

Santunan ini diprioritaskan pada fakir miskin jompo yang hidup sebatang kara di sekitar MTs Al-Wathan. Santunan tersebut hanya dapat menjangkau empat orang fakir miskin; tiga orang di dusun Tenggina Larangan Perreng Pragaan Sumenep dan satu orang di dusun Kolla Kertagana Laok Kadur Pamekasan yang berbatasan dengan desa Larangan Perreng.

Di rumah Bu Rofa'a (Ke utara jauh MTs Al-Wathan, di Kertagena Laok). Beliau tidak bisa berfose dengan para siswa karena kondisi kesehatannya sangat uzur
Senyum sumbringah yang tersirat di wajah keriput janda-janda tua itu hingga kesannya memantik secara spontan doa yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam. "Semoga MTs Al-Wathan makin maju, semoga kamu semua panjang umur nak, mudah-mudahan Allah memberikan balasan yang lebih baik (jika menggunakan istilah santri, jazallah khairal jaza')."  Sebagian mereka mengelus dada dari saking bahagianya, ibarat menangis karena bahagia. Seakan-akan mereka berkata, bermimpi apa aku semalam...?!! (MQ).
Bu Sam (Ke Selatan MTs Al-Wathan)


***