Sunday, February 10, 2019

KEUTAMAAN DAN MANFAAT PUASA SUNNAH

Waldaturrohimah
Tentang Peresensi
WILDATURROHIMAH. Lahir di Dusun Tenggina, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep, 28 November 2004. Riwayat pendidikannya dimulai dari RA Al-Habsyi, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep, lulus tahun 2008. MI Al-Ihsan II/A, Larangan Perreng, lulus tahun 2016. Saat ini ia duduk di kelas akhir MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.

Kegiatan yang pernah diikuti di antaranya perkemahan Tingkat Penggalang di MA Al-Wathan tahun 2014. Pengalaman keorganisasian di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, jabatan Koordinator Bidang Pers dan Jurnalistik tahun 2016.

Saat ini ia tinggal di Dusun Tenggina, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep. Dia bisa dihubungi via nomor HP. 085330013663.
***
Buku Puasa Sunnah dan Hikmahnya
Judul buku : Puasa Sunnah dan Hikmahnya
Penulis : Muhammad Hamid
Penerbit : Tugu Publisher
Cetakan : Pertama,Januari 2015
Kota terbit : Yogyakarta
Tebal buku : 155 Halaman
Peresensi : Wildaturrohimah

Puasa merupakan suatu hal yang bisa dijadikan obat, karena dengan berpuasa mesin yang terus menerus bergerak dalam tubuh kita dapat beristirahat, di mana badan kita tidak ada kesempatan untuk beristirahat dalam mengelola makanan yang kita makan, maka yang terjadi kita akan dilanda oleh rasa sakit seperti sakit perut dan sebagainya.

Buku yang berjudul Puasa Sunah dan Hikmahnya ini merupakan buku yang ditulis oleh Muhammad Hamid yang isinya memberikan pengetahuan tentang berbagai macam puasa, dan mengingatkan kita untuk berpuasa, sebab puasa bisa menjadi media yang paling baik untuk memperbaiki akhlak setiap manusia.

Puasa termasuk ibadah mahdah yang pelaksanaannya harus mengacu kepada tuntutan, pedoman dan petunjuk dari AIIah melalui Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, tujuan Rasulullah memerintahkan umatnya untuk berpuasa dengan harapan agar mereka memperoleh keselamatan dari jerat hawa nafsu yang bisa merusak jiwa dan raga mereka.

Puasa juga tergolong ibadah yang memiliki banyak fungsi. Ada tiga fungsi diperintahkannya untuk berpuasa oleh Allah. Tiga fungsi tersebut antara lain adalah tazhib (sarana untuk mengarahkan), ta’dib (membentuk karakteristik seseorang), tadrib (sarana latihan untuk berupaya menjadi seorang yang kamil dan paripurna) (hlm. 14).

Dan, puasa berguna sebagai muhasabah atau mengevaluasi diri untuk bisa turut serta hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, tidak ada rasa sombong dan yang lebih penting puasa bisa menghilangkan rasa kecemburuan (hlm. 13).

Puasa memiliki rukun-rukun yang harus kita ketahui dalam melaksanakannya. Terdapat empat rukun puasa, yaitu pertama, niat di malam hari sebelum fajar. Allah SWT berfirman, ’’Dan tidaklah mereka disuruh kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan untuk-Nya.’’ (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Kedua, mencegah diri dari makan dan minum hingga terbenam matahari. Allah SWT berfirman, ‘’Maka makan dan minumlah hingga jelas bagian benang putih dan benang hitam yaitu fajar kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam." (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

Ketiga, mencegah diri dari bersetubuh di siang hari Ramadhan. Allah SWT berfirman, "Dihalalkan di malam puasa untuk bercampur dengan istri-istri kalian, mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al-Baqarah [2]: 187). 

Keempat, menjaga muntah. "Barang siapa yang muntah sedang berpuasa maka ia tidak usah qadha (tidak batal) dan barang siapa yang menyengaja muntah, maka hendaklah ia mengqadhanya." (HR. Ashhabus Sunan) (hlm. 42-43).

Dalam ibadah puasa mengandung beberapa hikmah dan faedah yang sangat besar,  di antaranya, pertama, sebagai rasa syukur kepada Allah, di mana manusia yang telah diberi nikmat oleh Allah wajiblah berterima kasih kepada-Nya atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, baik nikmat yang berupa hidup, kesehatan dan nikmat yang tertinggi adalah nikmat iman dan Islam. Allah SWT berfirman, "Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu meninggalkannya sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (QS. Ibrahim [14]: 34).

Kedua, menyehatkan badan, karena puasa yang baik dan benar juga akan memberikan  pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Bukan hanya itu, puasa juga untuk mengingatkan bahwa kita adalah hamba yang hina, yang sangat membutuhkan makan dan minum.

Ketiga, bersyukur atas nikmat. Sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia tetapi mereka tidak pandai mensyukurinya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan, karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh. Di sinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil.

Keempat, mendidik sifat amanah serta  jujur, karena dengan berpuasa seseorang akan mampu melatih dirinya untuk menjadi orang dapat dipercaya, dan puasa juga untuk melatih dirinya bahwa ia selalu diawasi oleh Allah di mana pun dan kapan pun dia berada. Dengan demikian, jiwa orang yang berpuasa itu akan terbentuk dalam sifat amanah dan dipercaya oleh orang lain. Dan dengan puasa itu juga dia akan terdidik untuk bisa menjalani hak orang lain walaupun keras dorongan hawa nafsu. Selain amanah, puasa juga mengajarkan seseorang untuk selalu jujur, karena dengan puasa dia akan menghindarkan dirinya dari sifat bohong atau berdusta yang membatalkan pahala puasa dan dilarang oleh agama. Allah SWT berfirman, " Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS. As-Shaff [61]: 2-3).

Kelima, melatih ruhani, puasa juga memberikan hikmah atau manfaat bagi orang yang melaksanakannya. Salah satunya adalah sangat mendidik dan melatih rohani untuk memiliki jiwa yang tulus dan ikhlas, sebab dengan berpuasa seorang akan memperoleh kesiapan merelakan dirinya untuk menghadapi haus dan lapar sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Melatih  jiwa untuk mengerjakan pekerjaan berat menjadi ringan hanya karena didorong rasa cinta kepala Allah SWT serta didorong oleh rasa kewajiban dan dedikasi yang tinggi disertai tanggung jawab, karena diri sendiri adalah selaku hamba Allah  (hlm. 59-66).

Selain rukun dan hikmah puasa, ada beberapa macam puasa, misalnya puasa Syawal. Puasa ini biasanya dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal, dan boleh dilakukan secara berurutan atau tidak. Cara pelaksanaannya bisa pada awal bulan, bisa pertengahan bulan, atau akhir bulan. Puasa enam hari pada bulan Syawal hukumnya sunnah. Puasa ini lebih utama dikerjakan selepas mengerjakan puasa Ramadhan. Puasa ini termasuk amalan sunnah yang dianjurkan oleh syariat Islam. Banyak sekali keutamaan dan pahala-pahala besar yang terkandung dalam puasa ini. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan keutamaan puasa ini bersumber dari Rasulullah SAW. ’’Puasa bulan Ramadhan setara dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari pada bulan syawal setara dengan puasa dua bulan, itulah puasa setahun penuh.’’ (hlm. 68).

Salah satu faedah yang penting dari dilaksanakanya puasa enam hari bulan Syawal yaitu sebagai penutup lubang atau bisa menjadi pengganti (badal) kekurangan puasa wajib yang masih belum genap satu bulan penuh pada bulan Ramadhan.

Dan, perlu di ingat pula bahwa puasa-puasa sunnah dan sedekah yang dipergunakan seorang hamba dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada bulan Ramadhan adalah disyariatkan pula sepanjang tahun.

Maka dari itu, bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa yang merasa  kehilangan bulan Ramadhan, waktu yang sangat tepat untuk mengerjakan  kemuliaan bulan tersebut adalah dengan berpuasa di bulan Syawal (hlm. 74).

Selain puasa Syawal, masih ada puasa Senin Kamis. Puasa ini termasuk sunnah Rasulullah SAW semasa hidupnya. Beliau selalu rutin menjalankan ibadah ini karena manfaatnya yang sangat baik untuk kesehatan dan melanggengkan atau melatih untuk istiqamah. Dan, yang lebih tinggi hikmahnya bisa menambal puasa kita pada bulan Ramadhan yang kurang atau hilang pahalanya.

Dalam buku Kehebatan Puasa Senin Kamis yang ditulis oleh Imam Bukhari (Penerbit Vision 3) disebutkan, hikmah puasa Senin Kamis itu terutama menyehatkan jiwa raga, mencerdaskan, serta memudahkan beragam urusan.

Puasa Senin Kamis merupakan salah satu alat yang cukup relavan untuk meningkatkan kualitas nafsu seseorang dari nafsu amarah (berjiwa liar) secara bertahap ditingkatkan menjadi nafsu muthmainnah (berjiwa tenang). Hal ini akan sangat membantu seseorang meraih sukses dalam urusan pekerjaan maupun rumah tangganya.

Tidak hanya itu, ada pula puasa Muharram. Puasa ini adalah puasa yang dilakukan ketika bulan Muharram. Waktu pelaksanaannya pada hari kapan pun yang saat bulan mulia itu tiba. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Muharram ada 3 tingkatan, pertama, puasa selama tiga hari, yaitu pada hari ke-9, 10, dan ke-11. Kedua, berpuasa pada hari ke-9 dan ke-10. Ketiga, berpuasa hanya pada hari ke-10 saja (hri Asura) (hlm.76).

Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, Muharram disebutkan dengan syarullah (bulan Allah) yang memiliki dua hikmah yang agung di antaranya, pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua, adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allah dalam mengharamkan bulan Muharram (hlm. 76).

Di samping itu, bulan Muharram juga memiliki banyak keutamaan. Salah satunya adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa bulan Muharram, sedang shalat yang paling afdhal sesudah shalat fardu adalah shalat malam." (HR. Muslim).

Dalam Islam, ada empat bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT, yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab. Di bulan-bulan ini umat manusia dihimbau untuk tidak melaksanakan pertumpahan darah. Dan bagi umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan taqarrub ilallah. (hlm 78).

Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada       bulan Muharram. Namun demikian, juga sebagian umat Islam menjadikan bulan Muharram sebagian bulan anak yatim. Karena menyantuni dan memelihara anak yatim adalah sesuatu yang sangat mulia dan dapat dilakukan kapan saja.

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam. Oleh karena itu, salah satu momentum yang sangat penting bagi umat Islam harus menjadikan pergantian tahun baru Islam tersebut untuk bermuhasabah terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan dan rencana ke depan yang lebih baik lagi. Selain itu semua, masih ada keutamaan puasa Rajab, Bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan haram atau yang dimuliakan Allah SWT. (Bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan muharram itulah (ketetapan) agama yang lurus” Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan pergilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa." (QS. At-Taubah [9]: 36).

Fenomena pergantian bulan di mata muslim adalah salah satu sarana untuk mengingat kekuasaan Allah SWT dan dalam rangka untuk mengambil ibrah dalam kehidupan juga sebagai sarana ibadah (hlm. 90).

Demikian pemaparan singkat tentang keutamaan dan manfaat puasa sunnah ini sehingga kita bisa mengetahui betapa banyak hikmah dan faidah yang sangat besar di dalamnya. Dan penjelasan di atas sudah cukup jelas untuk menggambarkan isi buku ini. Tentu di dalamnya berisi pelajaran-pelajaran kepada kita untuk lebih meningkatkan penghayatan pada puasa. Karena puasa bisa menjadi media yang sangat baik untuk memperbaiki akhlak kita, dan puasa juga bisa berguna sebagai muhasabah diri untuk bisa lebih harmonis dengan sesama, tidak ada rasa sombong dan menghilangkan rasa kecemburuan sosial.

Di samping itu, kelebihan buku ini juga ulasannya mudah dipahami oleh setiap kalangan.  Bahasa yang digunakan sangat komonikatif dan tidak terbelit-belit. Siapapun yang membacanya akan lebih mudah memahami isinya.Tidak hanya itu, buku ini juga bersumber dari Al-Quran dan hadits sehingga lebih mantap untuk diamalkan.
                  
Di samping kelebihan di atas, ada beberapa kekurangan yang juga perlu diketahui oleh pembaca. Di antaranya adalah ada beberapa kata dan tanda baca yang digunakan dalam buku ini tidak sejalan dengan aturan baku bahasa Indonesia, contohnya dapat dilihat di beberapa halaman, misalnya halaman 7, 13, 33, 48, 54, 64 dan 65.

Meskipun terdapat kekurangan tersebut, tetapi tidak berpengaruh terhadap isi buku ini untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa. Karena isinya menuntun para pembaca agar puasa yang dikerjakan lebih baik sehingga meraih puspa ragam hikmah puasa.
***
Tentang Penulis
MUHAMMAD HAMID, dilahirkan di Kabupaten Malang, Jawa Timur pada tanggal 10 Desember 1965. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA di Kota Malang dan melanjutkan studinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengambil jurusan Dakwah. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mengabdikan ilmunya menjadi pengajar di Madrasa Aliyah dan memberikan dakwah agama di beberapa tempat. Sampai saat ini penulis tinggal dengan anak dan istrinya di Kota Malang.
***
Sumenep, 10 Februari 2019

Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2018/2019. (MQ).
© 2019

Sunday, February 3, 2019

TAWADHU DAN ISTIQAMAH SEBAGAI MODAL KESUKSESAN

Fahri Qirom

Tentang Peresensi

FAHRI QIROM. Lahir di Sumenep, 23 Maret 2004. Riwayat pendidikan dimulai dari RA Miftahul Huda, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep (lulus 2008), MI Miftahul Huda (lulus 2016), dan sekarang ia duduk di kelas IX (sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep.

Dia pernah aktif di kegiatan pramuka sewaktu di MI Miftahul Huda dan pernah mengikuti perkemahan tingkat Siaga yang diselenggarakan oleh MA Al-Wathan tahun 2014. Pengalaman keorganisasian  antara lain: Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MTs Al-Wathan, jabatan Anggota Bidang Kesehatan selama 2 periode (2016-2017, 2017-2018).

Saat ini dia tinggal di rumah tercintanya, di Dusun Lembanah, Desa Sentol Laok,  Kecamatan Pragaan, Kabupaten  Sumenep. Dia bisa dihubungi lewat no HP.082233348976.

***
Buku Ajaibnya Tawadhu & Istiqamah
Judul buku : Ajaibnya Tawadhu & Istiqamah: Modal Sukes Luar Biasa
Penulis 
: Rusdi.S.Th.I
Penerbit : Sabil
Cetakan : Pertama, Desember 2013
Kota terbit : Jogjakarta
Tebal buku : 198
Peresensi : Fahri Qirom
Pembimbing : M. Khaliq Shalha, M.Pd.I

***

Tawadhu dan istiqamah adalah modal yang besar untuk meraih kesuksesan yang kita inginkan. Banyak kisah nyata yang menggambarkan bahwa sikap tawadhu dan istiqamah mampu membuat kita sukses di dunia dan akhirat. Sikap tawadhu dan istiqamah telah diajarkan oleh kekasih kita sekaligus proklamator Islam, yakni Rasulullah SAW. Sikap beliau dapat kita jadikan sebagai cerminan hidup kita ke depan yang mana zaman yang akan datang belum tentu lebih baik dari zaman yang telah berlalu. Maka dari itu, kita sebagai umat Nabi Muhammad harus mampu meniru sikap beliau walau hanya seperempatnya saja. Karena tidak mungkin manusia biasa seperti kita bisa meniru beliau seratus persen tanpa ada yang ketinggalan. Beliau diibaratkan dengan Al-Qur'an berjalan. Tidak mungkin beliau akan melakukan dosa seperti yang kita lakukan.

Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadha’a yang berarti merendahkan, serta juga berasal dari kata ittadha’a dengan arti merendah diri. Di samping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakkan kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai tindakan berupa mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran dan seterusnya (hlm. 15).
  
Orang yang tawadhu, cara berbicaranya berbeda dengan orang yang sebaliknya. Dalam berbicara, mereka lebih ramah, lebih lembut, tidak kasar, apalagi menunjukkan kesombongan serta keangkuhannya. Sama halnya dengan orang yang berdoa kepada Allah di kala sedang ditimpa musibah. Dalam keadaaan seperti itu, pasti yang bersangkutan akan meminta dengan suara yang lembut dan ramah (hlm. 19).

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya, Tafsir al-Kabir memberikan ilustrasi yang menarik mengenai sikap tawadhu. Ia menggambarkan sikap rendah hati atau tawadhu laksana burung yang sedang terbang. Pada saat burung hendak hinggap atau merendah, maka ia menurunkan kedua sayap dan melunakkan lambungnya. Sementara, kalau mau terbang, ia mengepakkan kedua sayapnya (hlm. 23).

Dengan demikian, sikap rendah diri, rendah hati, atau tawadhu merupakan sikap yang dapat dilatih. Salah satunya dengan banyak menyebut Allah dengan perasaan takut namun penuh harap, tidak mengeraskan suara atau bersikap tenang. Ibnu Katsir mengartikan kata rendah diri sebagai sikap takut kepada Allah yang karenanya seseorang memohon dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, sikap inilah yang kemudian memunculkan kerendahhatian atau tawadhu (hlm. 27).

Setidaknya kita dapat mengambil kesimpulan bahwasanya sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah hati yang diwujudkan dalam beberapa tindakan-tindakan nyata sebagai berikut. Pertama, salah satu sikap tawadhu dapat ditunjukkan pada saat kita berdoa kepada Allah SWT. Saat berdoa, seseorang dapat dikatakan tawadhu apalagi ada rasa takut (khawf) dan penuh harap (raja’) kepada Allah SWT. Jika seseorang berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harapan besarnya, maka ia pasti tidak akan berdoa dengan sembarang cara. Etika berdoa pasti akan dilakukan dengan benar. Demikian pula, seseorang yang berdoa dengan penuh harap (raja’) maka ia akan selalu optimis, penuh keyakinan dan istiqamah dalam memohon, ia yakin bahwa tidak ada yang bisa memenuhi semua keinginannya kecuali pertolongan (ma’unah) Allah, sehingga perasaan ini tidak akan menjadikannya sombong, congkak, dan angkuh.

Kedua, tawadhu juga berkaitan dengan sikap baik kita kepada orang tua dan kepada orang lain. Kepada orang tua, kita bersikap penuh hormat dan patuh terhadap perintah-perintahnya. Jika memerintahkan kepada hal-hal yang positif, kita berusaha memenuhinya sekuat tenaga. Sebaliknya, jika orang tua memerintahkan kita kepada hal negatif, maka kita berusaha menolaknya dengan cara yang ramah. Kepada orang lain, sikap tawadhu juga bisa ditunjukkan dengan memperlakukan mereka secara manusiawi, tidak menyakiti mereka, berusaha membantu dan menolong mereka, serta menyayangi mereka sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Selain itu, memuliakan orang lain atau mengaggap mulia orang lain dalam batas-batas yang wajar merupakan bagian dari sikap-sikap tawadhu. Sebab dengan cara memuliakan orang lain itulah, kita bakal bisa berusaha menekan keinginan untuk menyombongkan diri sendiri.

Ketiga, seseorang dapat belajar sikap tawadhu, salah satunya dengan berusaha tidak membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membangga-banggakan diri sangat dekat dengan kesombongan. Sementara, kesombongan itu merupakan lawan dari tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap membangga-banggakan diri secara berlebihan akan memudahkan seseorang untuk menjadi pribadi-pribadi yang tawadhu (hlm. 34-36).

Sikap tawadhu sekalipun terkesan sebagai sikap yang wilayahnya berada dalam hati, namun sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari. Kalau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka sikap tawadhu dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan, dapat membuka dan memudahkan pintu rezeki berkat tawadhu dalam bekerja, membangun relasi bisnis, menentukan laba atau keuntungan, menjaga kualitas kerja dan produksi, dan dalam mengelola harta hasil kerja (hlm. 36-47).

Setiap orang tentu akan selalu berharap pintu rezekinya terbuka lebar atau jalan rezekinya dipermudah. Sehingga, dengan rezeki itulah, mereka akan merasa berbahagia. Akan tetapi, untuk mewujudkan itu semua bukanlah persoalan yang mudah. Setidaknya diperlukan usaha dan perjuangan yang keras, salah satunya dengan memunculkan dan memelihara sikap tawadhu dalam hal ikhlas menjalankan pekerjaan, mau belajar kepada orang lain, tidak malu bertanya, selalu memperbaiki diri, dan mau menerima nasihat orang lain (hlm. 52-64).

Pengaruh sifat tawadhu bagi kemuliaan manusia adalah menjadikan manusia tunduk pada kebenaran, meminimalisir kebohongan, meninggikan derajat kemanusiaan, memperkaya wawasan keilmuan, memunculkan simpati, mendatangkan kasih sayang Tuhan dan manusia, dan membuat hidup jadi mulia (hlm. 69-89).

Selanjutnya, istiqamah secara bahasa berasal dari akar kata qama yang berarti berdiri, tegak lurus, dan seterusnya. Dalam bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Secara terminologi, kata istiqamah memiliki beberapa makna, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh para sahabat, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq RA yang mengatakan bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid. Sementara, Ali bin Abi Thalib RA mengatakan bahwa istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban. Dan, Imam Nawawi menyatakan bahwa istiqamah adalah tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang lurus dalam beribadah kepada Allah.

Selain itu, kata istiqamah juga berasal dari kata istaqamah-yastaqimu-istiqamatan yang biasa diartikan dengan mendirikan. Kata “mendirikan” mengandung satu isyarat bahwa di dalam kata tersebut berlangsung sebuah proses atau upaya yang terjadi secara terus menerus. Kita ambil contoh seperti orang mendirikan rumah. Sebuah rumah tidak akan bisa didirikan, ditegakkan atau dibangun apabila di dalamnya tidak terjadi proses kerja yang terus menerus (hlm. 100-101).

Imam al-Qusyairi RA berkata, “Istiqamah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barang siapa yang tidak istiqamah dalam kepribadiannya, maka ia akan sia-sia dan gagal." Dikatakan, istiqamah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah dengan jujur (hlm. 131).

Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang  maksud istiqamah yang terkandung di dalam bunyi ayat “innalladzina qalu Rabbunallah tsummas taqamu,” lalu ia berkata, “Istiqamah adalah tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun." (hlm.126).

Munculnya sifat putus asa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah  tidak istiqamah. Seseorang yang tidak istiqamah cenderung lebih mudah mengalami rasa putus asa. Tidak adanya sikap istiqamah dan kesungguhan dalam melakukan pekerjaan apapun, membuat kita tidak memiliki prinsip dan pertahanan yang kuat saat menghadapi hambatan (hlm. 161).

Sikap istiqamah pada dasarnya bukan sekadar diterapkan dalam bidang-bidang ibadah mahdhah semata. Sikap ini dapat diaplikasikan dalam melaksanakan ibadah-ibadah muamalah serta berbagai perilaku positif lainnya. Dalam konteks mencari rezeki, sikap istiqamah ini bisa diimplementasikan dalam beberapa hal. Misalnya, istiqamah dalam bekerja, menciptakan perencanaan kerja, menggali inovasi kerja, menjaga kepercayaan relasi, mengelola hasil kerja secara kreatif, dan istiqamah dalam menjaga kualitas kerja dan produksi (hlm.134-148).

Cara memunculkan sikap istiqamah dalam bekerja yang bertujuan untuk memudahkan rezeki adalah lakukan setiap pekerjaan dengan optimal, bekerja sesuai tugas, buatlah target, hargai pekerjaan yang ada, introspeksi diri, dan sadar tanggung jawab (hlm. 149-152).

Sikap istiqamah merupakan sikap yang ditekankan dalam agama Islam. Sebab, di dalam sikap tersebut terdapat banyak keutamaan serta mengandung pengaruh positif yang menjadikan manusia memperoleh derajat kemuliaan. Berikut beberapa pengaruh dan nilai-nilai istiqamah bagi kemuliaan manusia. Istiqamah memperkuat prinsip, menjadikan manusia tahan uji, menghilangkan kemalasan, memunculkan etos kerja, melipatgandakan pahala kebaikan, menjauhkan dari sikap putus asa, menumbuhkan sikap keberanian, melapangkan jalannya rezeki, dan mendatangkan ketenangan serta dijanjikan surga (hlm.155-163).

Menjadi orang yang istiqamah tentu bukan perkara yang mudah. Setidaknya, diperlukan kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh agar sikap istiqamah itu menjadi ciri dari kepribadian diri kita. Namun, barang kali beberapa langkah berikut akan memudahkan kita untuk berusaha bagaimana caranya menjadi orang yang istiqamah. Lakukan mulai dari amal yang paling sederhana, bergaul dengan orang-orang yang konsisten, segarkan niat dengan terus mencoba berbuat, banyak membaca, dan banyak berdoa kepada Allah (hlm. 164-168).

Buku ini memberikan gambaran begitu jelas kepada pembaca untuk menerapkan sifat tawadhu dan istiqamah dalam kehidupan sehari-hari sebagai modal meraih kesuksesan luar biasa. Bagi yang ingin membacanya tidak perlu kebingungan mencari istilah-istilah yang sulit di kamus karena istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci. Dan bahasa yang digunakan juga sangat komunikatif dan tidak  berbelit- belit. Siapa pun yang membacanya akan lebih mudah memahami isinya. Tidak hanya itu, buku ini juga sarat rujukan pada Al-Quran dan hadits, sehingga meyakinkan untuk diamalkan.
***
  
Tentang Penulis

RUSDI, S.TH.I.  Lahir di Sumenep, 05 November 1981. Menempuh pendidikan MI dan MA-nya di desa kelahirannya dan sekaligus mondok di pesantren Nasy’atul Muta’allimin dan Annuqayah, Sumenep. Selama menjadi pelajar, ia aktif di beberapa kegiatan antara lain; OSIS, Forum Sanggar Biasa, Sanggar Andalan, Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual (UKPI) UIN Sunan Ampel Surabaya, Lembaga Stategis Pengembangan Masyarakat (LSPM), Buletin Insyaf dan Iktida.

Saat ini, penulis tinggal di Kebumen, Jawa Tengah, setelah menamatkan pendidikan S1-nya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits.

Penulis juga aktif menulis esai, cerpen, puisi, opini dan resensi di beberapa media massa seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Seputar Indonesia, Bernas, Jawa Pos, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Penyingkul Post, Bali Post, Solo Post, Merapi dengan nama pena Salman Rusydie Anwar. Buku yang sudah diterbitkan di antaranya: Sembuh dengan Al-Qur’an (Sabil, 2010),Teka-Teki Turunnya Nabi Isa (DIVA Press, 2011), Rahasia Memaafkan bagi Kesehatan Tubuh (Sabil, 2011), Fabel: Raksasa 1000 Ekor Semut (DIVA Press, 2009), Novel; Yang Miskin Dilarang Maling (Laksana, 2010), Perempuan Bermulut Api (antologi cerpen Balai Bahasa Yogyakarta, 2010), Tiga Butir Peluru (antologi cerpen pilihan Minggu Pagi, 2010).

***
Catatan: Resensi ini merupakan salah satu tugas akhir untuk siswa kelas akhir MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep, tahun pelajaran 2018/2019.