Saturday, December 28, 2019

BERWISATA KE TAMAN SURGA Memaknai Kesementaraan sebagai Bekal Menuju Keabadian (Kado Akhir Tahun 2019)

Makbarah Sunan Giri Gresik

Oleh : M. Khaliq Shalha

Di zaman super sibuk dan serba cepat ini menimbulkan kestresan manusia dengan tensi tinggi sehingga sewaktu-waktu mereka membutuhkan rekreasi untuk refreshing, berpelesiran ke tempat-tempat eksotis. Berwisata bukan lagi sekadar gaya hidup tapi kebutuhan hidup bagi setiap kalangan, baik para elitis atau kalangan populis.
Para pengusaha penat dengan mengelola perusahaannya; pekerja letih dan bosan dengan pekerjaannya dengan sederetan tuntutan dan tekanan dari atasannya di mana mereka bekerja; ulama, kiai, ustadz, guru dan dosen sering jengkel melihat polah tingkah anak didiknya yang mbeling dan menyebalkan hingga membutuhkan kesabaran ekstra dalam mendidikanya; para pelajar jenuh dengan belajarnya karena menghabiskan hari-harinya bersama setumpuk mata pelajarannya demi menata masa depannya. Mereka semua butuh rekreasi pada hari-hari tertentu, khususnya di hari libur.    
Fenomena ini direspons positif dan sigap oleh kalangan pengembang obyek wisata untuk menyediakan fasilitas lengkap demi kenyamanan para pengunjung agar mereka punya daya tarik untuk berkunjung. Kedua belah pihak diuntungkan. Pengunjung puas dengan layanannya dan pengembang akan meraup keuntungan dari usaha wisatanya.
Geliat penggarapan obyek wisata bukan hanya di kota-kota, tapi juga di desa dengan andalan wisata alam atau beragam obyek wisata menarik lainnya semakin digalakkan. Dan, obyek wisata alam di desa malah menjadi jujukan dan primadona orang-orang yang kesehariannya beraktivitas di kota. Sementara orang-orang desa tertarik berkunjung ke kota. Begitulah mobilitas masyarakat desa-kota sebagai khazanah sosial negeri kita tercinta.
Dalam lembar memori masa kecil saya dulu, sebagian masyarakat mengkonotasikan obyek wisata, misalnya di pantai, sebagai tempat maksiat, tempat mesum muda mudi sehingga orang yang berkunjung ke situ diklaim tak berakhlak, muruahnya luntur. Ibarat—seandainya pada masa periwayatan hadits— seorang parawi hadits jika berkunjung ke obyek wisata, status hadits yang diriwayatkannya menjadi dhaif. Ampun…!!
Saya kaget, kok begitu cap yang diberikan masyarakat? Mungkin ada benarnya, melihat beberapa oknum melakukan hal-hal yang melanggar norma di tempat dimaksud. Hal itu saya kira sangat bijak jika dikembalikan kepada masing-masing individunya saja, mengingat di tempat-tempat suci pun rawan kemaksiatan, misalnya di suatu masjid yang saya tahu, pernah kehilangan uang (kas amal jariah), isi kotak amalnya raib digondoli maling pada siang bolong lagi.
Seiring perjalanan waktu, dengan semakin baiknya masyarakat dalam menata peradabannya dan semakin dalam meresapi pesan agamanya, paradigma negatif itu sudah pudar secara perlahan sehingga memunculkan kesan baru bahwa berkunjung ke tempat-tempat wisata seakan-akan “sunnah”, karena masyarakat sudah mampu menyandarkan motifnya untuk ibadah dengan menghayati keindahan ciptaan Tuhan dan keragaman fenomena sosial sebagai anugerah Tuhan yang sangat indah dan penuh makna.
Banyak ayat Al-Qur’an secara tersurat maupun tersirat menganjurkan manusia untuk berwisata sehingga hati mereka tersentuh menjiwai kebenaran, keagungan dan keindahan ayat-ayat Tuhan yang terbentang di jagat raya ini maupun dalam diri mereka sendiri sehingga meneguhkan hatinya tentang kebenaran Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ .
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushshilat [41]: 53).

Ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam semesta ini akan berarti dalam menggugah kesadaran setiap manusia manakala mereka berusaha memanfaatkan segala potensi pancainderanya. Dalam konteks pembahasan ini, manusia semakin mesra dengan Tuhannya apabila mereka beranjak menuju obyek-obyek wisata. Karena aktivitas kehidupan dunia ini diciptakan oleh Tuhan bersifat dinamis dan global. Dunia ini tak sesempit daun kelor. Manusia harus menemukan jati diri dan aktualisasi dirinya sehingga nasib hidupnya tak seperti katak dalam tempurung dan tak bagaikan lalat dalam toples kaca.
Suatu hal yang perlu diperhatikan oleh wisatawan adalah motifnya dalam berwisata, sebagaimana sedikit disentil di atas. Karena tentu banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa berwisata pada hakikatnya jika dilihat dari kacamata tasawuf memiliki makna yang signifikan untuk kemajuan hidupnya lahir batin. Jika motif mereka sekadar ingin berlibur, latah, menghabiskan sekian banyak uang recehan dan motif tak jelas lainnya, tentu aktivitas liburannya sekadar refreshing sebentar, ikut-ikutan orang lain dan menghabiskan sekian banyak pundi-pundi rupiah, setelah itu tidak memiliki pengaruh perubahan spiritual dan kedewasaan sosial. Gambaran kondisi berwisata seperti itu tergolong dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat kualitas dirinya masih rendah. Oret-oretan sederhana ini mengajak kita untuk menjadi wisatawan yang berkualitas tinggi.
Sebelum berpatualangan, kita tentu menyiapkan berbagai bekal. Semakin jauh perjalanan yang akan kita tempuh semakin banyak pula bekal yang harus kita siapkan. Modal utama manusia dalam melakukan safar adalah persiapan bekal dengan berbagai macamnya. Pada era kekinian hal utama yang kita cek kembali ketika dalam detik-detik keberangkatan setelah meluruskan motif (niat) adalah dompet dan isinya (uang, ATM yang ada saldonya), HP lalu dilanjutkan membaca basmalah dan doa perjalanan.
Museum Islam Indonesia KH. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang
Ada kisah hikmah seorang penguasa cerdas dan zuhud yang patut kita simak dengan saksama sebagai bahan permenungan dalam penutupan tahun 2019 berikut ini.
Abdul Aziz bin Abdullah al-Humaidi dalam bukunya, Umar bin Abdul Aziz: Sosok Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas menorehkan kisah dari Ibnu Abdul Hakim bahwa suatu ketika Umar bin Abdul Aziz bersama Sulaiman bin Abdul Malik pergi berwisata. Setibanya di obyek wisata yang dituju, masing-masing mengeluarkan bekal makanan yang dibawa dan masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan. Kebetulan Sulaiman sekamar dengan Umar. Tiba-tiba keberadaan Umar tidak diketahui oleh Sulaiman. Sulaiman yang pada waktu itu menjabat sebagai khalifah memerintahkan pengawalnya untuk mencari. Sang pengawal menemukan Umar sedang berada di bawah pohon dan bersedih.
Berita itu kemudian disampaikan kepada Sulaiman. “Apa yang membuatmu sedih wahai Umar?” tanya Sulaiman. “Yang membuatku sedih adalah aku ingat hari kiamat nanti. Siapa yang membawa bekal maka akan mendapatkan bekalnya, sedangkan aku sekarang tidak membawa bekal maka aku tidak bisa makan,” jawab Umar.
Demikian kecerdasan dan kecepatan Umar mengaitkan situasi yang dia alami dengan kondisi besok pada hari kiamat. Saat itu ia tidak bisa mengeluarkan bekal karena dia tidak membawa, sedangkan teman-temanya mengeluarkan bekal yang mereka bawa. Pikiran Umar lebih cepat terpental menangkap sinyal peristiwa mahadahsyat yang akan terjadi kelak daripada meminta bekal kepada Sulaiman.
Begitulah hati yang bersih selalu ingat keadaan akhirat, terutama saat sedang sulit. Ketika riang gembira di obyek wisata yang eksotis, terbesit dalam lubuk hatinya suatu tanya, akankah kelak ia meraih surga yang keindahannya sungguh tak mampu dibayangkan oleh siapa pun di dunia ini.  Hatinya mampu memaknai kesementaraan sebagai bekal menuju keabadian. Sementara, hati yang buram akan lupa diri dan lupa daratan. Kenikmatan dunia disangka kesenangan di atas segala-galanya, padahal hakikatnya, kata Al-Qur’an, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali sekadar perhiasan yang menipu. Banyak manusia yang terlena dan terpana hingga melupakan kenikmatan dan kepedihan akhirat yang tak bertepi lagi.
La haula wala quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya hamba ini untuk meraih yang terbaik kecuali dengan pertolongan Allah.
Wallah a’lam bis shawab.
***
Sumenep, 28 Desember 2019

Friday, December 20, 2019

TIPS MEMPUNYAI ANAK SHALIH DAN SHALIHAH

M. Riziq

Tentang Peresensi

M. RIZIQ, lahir di Langgar Sabidak, Sentol Daya, Pragaan, Sumenep pada tanggal 24 Desember 2004. Riwayat pendidikannya dimulai dari RA Miftahul Huda, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep (lulus 2008), MI Miftahul Huda, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep (lulus 2016) dan sekarang ia duduk di bangku kelas IX (Sembilan) MTs Al-Wathan, Larangan Perreng, Pragaan, Sumenep. Jabatannya di OSIS sebagai Koordinator Bidang Jurnalistik (2017-2018). Saat ini dia tinggal di Langgar Sabidak, Sentol Daya, Pragaan, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Dia bisa di hubungi lewat facebook : Riziq Ar-Rahim atau lewat No. HP atau WA : 085257463416.


Judul Buku : Bahagianya Punya Anak Shalih dan shalihah
Penulis : Masykur Arif
Penerbit : Saufa
Cetakan : Pertama, 2015
Kota Terbit : Bangutapan, Yogyakarta
Tebal Buku : 2008
Peresensi : M. Riziq

Anak shalih dan shalihah adalah dambaan bagi setiap orang tua dan merupakan harta yang sangat berharga yang tidak hanya berguna di dunia tetapi juga di akhirat nanti. Selain itu, anak shalih dan shalihah juga dapat menjadi penolong kedua orang tuanya dan orang lain dari kesusahan hidup di dunia maupun di akhirat.

Buku yang berjudul Bahagianya Punya Anak Shalih dan shalihah ini, merupakan buku yang di tulis oleh Masykur Arif yang isinya betapa bahagianya dan sangat berharganya mempunyai anak shalih dan shalihah.

Shalih dan shalihah dapat ditunjukkan kepada seseorang yang bersungguh-sungguh dan senantiasa dalam menjalankan ibadah, beriman, bertakwa, bertingkah laku baik, berakhlak mulia dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Seiring perkembangan teknologi dan penelitian terhadap anak, kini cara untuk mencetak anak shalih dan shalihah tidak hanya dilakukan ketika terlahir, tetapi juga sejak ada dalam kandungan.

Menurut Baihaqi, mendidik anak dapat dilakukan sejak dalam kandungan, tidak hanya setelah terlahir ke dunia saja. Maksudnya, mendidik anak itu, bagi setiap orang tua haruslah mendidik anaknya saat masih ada dalam kandungan dengan didikan yang baik karena anak yang ada dalam kandungan dapat menyerap suatu tingkah atau akhlak yang dilakukan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, mendidik anak itu sangatlah penting bagi setiap orang tua, baik di saat berada dalam kandungan maupun setelah dilahirkan (hlm. 43). Sebagaimana yang diteguhkan melalui ayat suci Al-Qur’an, yang artinya, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan dari tanah. Kemudian, Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina. Kemudian, Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajadah [32]: 7-9) (hlm. 45-46).

Kita dapat mengetahui bahwa sejak dalam kandungan, tepatnya ketika diberikan ruh oleh Allah SWT janin dapat merespons rangsangan dari luar. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya indera, seperti pendengaran, penglihatan dan hati.

Semula, janin dalam kandungan dibentuk oleh air mani yang membuahi ovum. Selama pembuahan, janin menuju bentuk yang sempurna dalam proses penyempurnaan tersebut, Allah memberkahi janin tersebut dengan ruh atau nyawa yang membuatnya hidup. Kemudian, janin tersebut mengalami perkembangan-perkembangan hingga menjadi seorang bayi yang dapat merespons rangsangan di sekitarnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah. Lalu, Kami jadikan sari pati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani tersebut Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah tersebut Kami jadikan segumpal daging, lalu segumpal daging tersebut kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah Pencipta yang paling baik." (QS. Al-Mu’minun [23]: 12-14) (hlm. 47).

Terkait firman Allah di atas, ada tiga tahapan waktu dalam penciptaan manusia, yaitu sebagai berikut. Pertama, kehamilan berbentuk sperma yang menempel di dinding rahim selama 40 hari, yaitu sekitar enam minggu yang berarti satu setengah bulan.

Kedua, sperma berkembang menjadi daging selama 40 hari yang berarti enam minggu kedua atau sama dengan 12 minggu yang berarti tiga bulan.

Ketiga, daging tersebut berkembang menuju bentuk yang sempurna selama 40 hari yang berarti enam minggu ketiga atau selama 18 minggu, sama dengan empat setengah bulan. Kemudian Allah SWT mengutus malaikat untuk meniupkan ruh.

Menurut penafsiran Baihaqi, jika masa kehamilan berlangsung selama kurang lebih sembilan bulan, maka sekitar separuh masa kehamilan (4,5 bulan) anak dalam kandungan belum mempunyai ruh. Sementara 4,5 bulan selanjutnya, janin tersebut sudah memiliki ruh. Artinya, sudah hidup dalam kandungan dan dapat merespons segala stimulus yang diterimanya. (hlm. 49). Oleh karena itu, mencetak anak shalih dan shalihah sejak dalam kandungan sangatlah penting karena seorang anak dalam kandungan bisa menerima stimulus-stimulus yang datang kepadanya.

Terkait penafsiran yang sudah disebutkan sebelumnya, adapun respons yang diberikan oleh anak dalam kandungan ketika ia mendapat stimulus yang beragam baik yang didengarnya dari dalam maupun luar rahim, yaitu ada enam hal sebagai berikut :

Pertama, mendengarkan suara. Menurut Shahidullah dan Hepper sebagaimana yang dikutip oleh Yesie, kemampuan mendengar anak dalam kandungan dimulai sekitar 16 minggu setelah pembuahan pada minggu ke-16, anak dalam kandungan sangat reseptif terhadap suara ibunya. Sebab, suara ibu lebih dekat dan kuat ketimbang suara-suara yang datang dari luar rahim. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika anak dalam kandungan selalu diperdengarkan suara yang baik. Sebab, suara yang baik dapat membentuk mental anak menjadi shalih maupun shalihah. Begitu pula sebaliknya, yakni jika anak sering mendengarkan suara yang tidak baik (buruk), itu bisa membentuk mental anak menjadi kasar dan keras (hlm. 54).

Kedua, merasakan sentuhan. Menurut Yesie, hubungan antara ibu dan anak yang berada dalam kandungan memang berbeda, tetapi saling berkaitan. Artinya, segala yang dirasakan oleh ibu dapat juga dirasakan oleh anak yang ada dalam kandungannya. Oleh karena itu, sentuhlah janin (perut) anda dengan kelembutan dan penuh kasih sayang. Sebab, sentuhan tersebut akan membentuk anak shalih maupun shalihah.

Ketiga, mencari posisi yang lebih nyaman. Ketika janin memasuki bulan kelima dalam kandungan, ia mampu memosisikan dirinya agar lebih nyaman dalam ruang rahim. Artinya, bahwa janin sudah mempunyai kemampuan untuk mengubah posisinya dalam rahim. Hal itu pun dapat dirasakan bahwa janin dalam kandungannya melakukan gerakan.

Keempat, melihat. Selama ini, kita beranggapan bahwa rahim tidak dapat dimasuki cahaya sehingga gelap. Padahal kenyataannya tidak begitu, dalam rahim ibu terdapat cahaya yang tidak tersaring sehingga mampu menembus jaringan dalam rahim. Ketika melihat cahaya masuk ke dalam kandungan, anak akan menunjukkan peningkatan aktivitas motoriknya dan percepatan denyut jantung atau berbalik ke arah cahaya. Sebab, kelopak mata anak dalam kandungan mulai membuka sekitar 20 minggu usia kelahiran.

Kelima, mengecap. Pada usia 12 minggu, anak dalam kandungan sudah mulai mengecap atau dapat merasakan rasa, seperti manis, pahit, asam dan asin. Anak dalam kandungan tersebut dapat merasakan rasa, karena ada rasa yang hadir dalam cairan ketuban.

Keenam, mencium bau. Anak dapat merasakan aroma karena cairan ketuban yang mengandung bermacam-macam zat wangi yang terus berubah-ubah, tergantung dengan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ibunya. Sehingga, anak dalam kandungan tersebut dapat mengingat aroma yang sering dirasakannya dan menentukan selera makanannya sejak dalam kandungan (hlm. 54-58).

Setelah mengetahui respons anak dalam kandungan yang sudah disebutkan sebelumnya. Selain itu, ada sembilan tips atau cara mencetak anak shalih dan shalihah dalam kandungan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, memperkenalkan Al-Qur’an. Untuk memperkenalkan Al-Qur’an terhadap anak dalam kandungan, orang tua harus sering membaca Al-Qur’an, baik dalam fase kandungan bahkan sampai fase kelahiran. Dengan membaca Al-Qur’an, anak dalam kandungan dapat menyerap hal-hal positif dan karunia-karunia Al-Qur’an. Dengan begitu, Insya Allah harapan kita untuk mempunyai anak shalih dan shalihah akan terwujud (hlm. 69).

Kedua, melalui shalat. Sebagaimana kita ketahui, bahwa hukum mengerjakan shalat lima waktu bagi umat Islam yang berakal adalah wajib. Dengan demikian, ibu hamil juga memiliki kewajiban untuk melakukan shalat lima waktu. Dengan melaksanakan shalat fardhu tersebut, ibu hamil tersebut mendapatkan ketenangan jiwanya tetapi juga kesehatan dalam perutnya. Sehingga, ia menjadi anak yang shalih maupun shalihah.

Ketiga, melalui dzikir. Dzikir dapat diamalkan di berbagai tempat. Bagi ibu hamil, dzikir sangatlah penting, karena ibu hamil yang sering berdzikir akan membuatnya menjadi wanita yang kuat, optimis dan percaya diri. Sehingga, anak dalam kandungannya akan selalu sehat, cerdas dan kelak menjadi anak yang shalih maupun shalihah.

Keempat, dengan amalan Asmaul Husna. Seorang ibu hamil yang mengamalkan Asmaul Husna, ia akan mendapatkan ketenteraman jiwa, hati, rasa optimis menjalani masa kehamilan dan sehat secara lahir dan batin. Dengan begitu, si ibu telah mengajarkan tauhid kepada anak dalam kandungannya. Sehingga, ketika anak dilahirkan, ia membawa sifat-sifat Asmaul Husna.

Kelima, melalui doa. Berdoa bagi ibu hamil sangatlah penting untuk keinginan memperoleh anak shalih maupun shalihah. Oleh karena itu, hendaklah orang tua harus berdoa secara khusyuk dan bersungguh-sungguh dalam berdoa agar mereka dikaruniai anak shalih maupun shalihah.

Keenam, melalui musik. Menurut Boethius, musik sebagian dari kehidupan manusia yang memiliki pengaruh positif dan negatif. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus selektif memilih musik untuk diperdengarkan kepada anak dalam kandungan. Khususnya kepada ibu, hendaklah meniatkan mendengarkan musik sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT sehingga ketika anak dilahirkan ia membawa kecerdasan dan menjadi anak shalih maupun shalihah.

Ketujuh, melalui makanan dan minuman yang halal. Hendaknya kita cermat dalam memilih kehalalan makanan dan minuman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil yang sedang hamil. Oleh karena itu, karena makanan dan minuman yang halal tersebut bermanfaat bagi pertumbuhan dan fisik anak dalam kandungan juga bermanfaat bagi jiwanya, begitu juga terhadap si ibu. Artinya, anak yang mendapatkan asupan makanan dan minuman yang halal dari ibunya, akan memiliki jiwa yang sehat, baik, dan tumbuh menjadi pribadi yang shalih maupun shalihah.

Kedelapan, dengan akhlak mulia. Terhadap anak yang ada dalam kandungannya, sang ibu harus mengajarkan akhlak yang mulia atau tingkah laku yang baik, karena ibu merupakan teladan bagi anak yang ada dalam kandungannya. Baik seluruh aktivitas maupun semua tingkah laku sang ibu. Oleh karena itu, akhlak mulia perlu ditanam dalam hati dan diri seorang ibu hamil. Sebab, saat menjalin masa kehamilan, ibu hamil kesulitan mengontrol emosinya. Oleh karena itu, pemeliharaan akhlak mulia dapat membuat anak kelak menjadi anak yang shalih maupun shalihah.

Kesembilan, melalui kebersamaan keluarga. Kebersamaan keluarga harus selalu terpelihara, terutama ketika seorang ibu hamil menjalani masa kehamilannya. Sebab, kebersamaan merupakan kunci utama untuk meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga. Dengan begitu, anak yang ada dalam kandungan sang ibu akan cepat merespons segala hal yang berkaitan dengan anggota keluarga. Selain itu, kebersamaan itu akan mendatangkan kehangatan cinta dari seluruh anggota keluarganya kepada ibu hamil dan anak dalam kandungannya. Tidak hanya itu saja, kebersamaan keluarga juga akan mendatangkan kehangatan cinta yang dapat meminimalisasi timbulnya trauma dan stres kepada si ibu dan anak dalam kandungannya. Sehingga, akan terjadi peningkatan semangat dan kepercayaan diri pada si ibu hamil. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga hendaklah meningkatkan kebersamaannya seseringn mungkin. Sehingga anak yang terlahir dalam suatu keluarga menjadi anak yang shalih maupun shalihah (hlm. 69-200).

Demikian penerapan tentang bagaimana tips mempunyai anak shalih dan shalihah sehingga anak yang kita inginkan untuk menjadi anak yang shalih dan shalihah akan terwujud hingga membahagiakan hati orang tuanya. Penjelasan di atas sudah cukup lugas untuk menggambarkan isi buku ini. Kelebihan lain dari buku ini, bahasannya tidak terbelit (ringkas), komunikatif dan penjelasannya juga mudah dipahami. Sehingga, siapapun yang membacanya akan lebih mudah memahaminya. Tidak hanya itu, buku ini juga bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, dan buku ini juga diperkaya dengan pendapat ulama dan para ahli, sehingga kebenarannya tidak diragukan lagi.

***

Tentang  Penulis

MASYKUR ARIF, M.Hum., lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pendidikan pertama ditempuh di tanah kelahirannya. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke PP. Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, Madura. Ia juga alumni Fakultas Ushuludin, Jurusan Teologi dan Pemikiran Islam, serta mendapat gelar Magister Humaniora Konsentrasi Filsafat Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Beberapa buku karyanya yang telah diterbitkan antara lain, Rahasia Kecerdasan Ali bin Abi Thalib Si Super Genius (DIVA Press, 2013), Renungan-Renungan Islam Harian untuk Bapak/Suami (DIVA Press, 2011), Pertanyaan-Pertanyaan Anak yang Tidak Bisa Dijawab oleh Orang Tua (Laksana, 2012), Kesalahan-Kesalahan Fatal Paling Sering Dilakukan Guru dalam Kegiatan Belajar-Mengajar (DIVA Press, 2011) dan beberapa buku lainnya. Ia bisa dihubungi di masy­-area@yahoo.co.id.
***
Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2018/2019. (MQ).

© 2019