Saturday, December 28, 2019

BERWISATA KE TAMAN SURGA Memaknai Kesementaraan sebagai Bekal Menuju Keabadian (Kado Akhir Tahun 2019)

Makbarah Sunan Giri Gresik

Oleh : M. Khaliq Shalha

Di zaman super sibuk dan serba cepat ini menimbulkan kestresan manusia dengan tensi tinggi sehingga sewaktu-waktu mereka membutuhkan rekreasi untuk refreshing, berpelesiran ke tempat-tempat eksotis. Berwisata bukan lagi sekadar gaya hidup tapi kebutuhan hidup bagi setiap kalangan, baik para elitis atau kalangan populis.
Para pengusaha penat dengan mengelola perusahaannya; pekerja letih dan bosan dengan pekerjaannya dengan sederetan tuntutan dan tekanan dari atasannya di mana mereka bekerja; ulama, kiai, ustadz, guru dan dosen sering jengkel melihat polah tingkah anak didiknya yang mbeling dan menyebalkan hingga membutuhkan kesabaran ekstra dalam mendidikanya; para pelajar jenuh dengan belajarnya karena menghabiskan hari-harinya bersama setumpuk mata pelajarannya demi menata masa depannya. Mereka semua butuh rekreasi pada hari-hari tertentu, khususnya di hari libur.    
Fenomena ini direspons positif dan sigap oleh kalangan pengembang obyek wisata untuk menyediakan fasilitas lengkap demi kenyamanan para pengunjung agar mereka punya daya tarik untuk berkunjung. Kedua belah pihak diuntungkan. Pengunjung puas dengan layanannya dan pengembang akan meraup keuntungan dari usaha wisatanya.
Geliat penggarapan obyek wisata bukan hanya di kota-kota, tapi juga di desa dengan andalan wisata alam atau beragam obyek wisata menarik lainnya semakin digalakkan. Dan, obyek wisata alam di desa malah menjadi jujukan dan primadona orang-orang yang kesehariannya beraktivitas di kota. Sementara orang-orang desa tertarik berkunjung ke kota. Begitulah mobilitas masyarakat desa-kota sebagai khazanah sosial negeri kita tercinta.
Dalam lembar memori masa kecil saya dulu, sebagian masyarakat mengkonotasikan obyek wisata, misalnya di pantai, sebagai tempat maksiat, tempat mesum muda mudi sehingga orang yang berkunjung ke situ diklaim tak berakhlak, muruahnya luntur. Ibarat—seandainya pada masa periwayatan hadits— seorang parawi hadits jika berkunjung ke obyek wisata, status hadits yang diriwayatkannya menjadi dhaif. Ampun…!!
Saya kaget, kok begitu cap yang diberikan masyarakat? Mungkin ada benarnya, melihat beberapa oknum melakukan hal-hal yang melanggar norma di tempat dimaksud. Hal itu saya kira sangat bijak jika dikembalikan kepada masing-masing individunya saja, mengingat di tempat-tempat suci pun rawan kemaksiatan, misalnya di suatu masjid yang saya tahu, pernah kehilangan uang (kas amal jariah), isi kotak amalnya raib digondoli maling pada siang bolong lagi.
Seiring perjalanan waktu, dengan semakin baiknya masyarakat dalam menata peradabannya dan semakin dalam meresapi pesan agamanya, paradigma negatif itu sudah pudar secara perlahan sehingga memunculkan kesan baru bahwa berkunjung ke tempat-tempat wisata seakan-akan “sunnah”, karena masyarakat sudah mampu menyandarkan motifnya untuk ibadah dengan menghayati keindahan ciptaan Tuhan dan keragaman fenomena sosial sebagai anugerah Tuhan yang sangat indah dan penuh makna.
Banyak ayat Al-Qur’an secara tersurat maupun tersirat menganjurkan manusia untuk berwisata sehingga hati mereka tersentuh menjiwai kebenaran, keagungan dan keindahan ayat-ayat Tuhan yang terbentang di jagat raya ini maupun dalam diri mereka sendiri sehingga meneguhkan hatinya tentang kebenaran Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ .
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushshilat [41]: 53).

Ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam semesta ini akan berarti dalam menggugah kesadaran setiap manusia manakala mereka berusaha memanfaatkan segala potensi pancainderanya. Dalam konteks pembahasan ini, manusia semakin mesra dengan Tuhannya apabila mereka beranjak menuju obyek-obyek wisata. Karena aktivitas kehidupan dunia ini diciptakan oleh Tuhan bersifat dinamis dan global. Dunia ini tak sesempit daun kelor. Manusia harus menemukan jati diri dan aktualisasi dirinya sehingga nasib hidupnya tak seperti katak dalam tempurung dan tak bagaikan lalat dalam toples kaca.
Suatu hal yang perlu diperhatikan oleh wisatawan adalah motifnya dalam berwisata, sebagaimana sedikit disentil di atas. Karena tentu banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa berwisata pada hakikatnya jika dilihat dari kacamata tasawuf memiliki makna yang signifikan untuk kemajuan hidupnya lahir batin. Jika motif mereka sekadar ingin berlibur, latah, menghabiskan sekian banyak uang recehan dan motif tak jelas lainnya, tentu aktivitas liburannya sekadar refreshing sebentar, ikut-ikutan orang lain dan menghabiskan sekian banyak pundi-pundi rupiah, setelah itu tidak memiliki pengaruh perubahan spiritual dan kedewasaan sosial. Gambaran kondisi berwisata seperti itu tergolong dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat kualitas dirinya masih rendah. Oret-oretan sederhana ini mengajak kita untuk menjadi wisatawan yang berkualitas tinggi.
Sebelum berpatualangan, kita tentu menyiapkan berbagai bekal. Semakin jauh perjalanan yang akan kita tempuh semakin banyak pula bekal yang harus kita siapkan. Modal utama manusia dalam melakukan safar adalah persiapan bekal dengan berbagai macamnya. Pada era kekinian hal utama yang kita cek kembali ketika dalam detik-detik keberangkatan setelah meluruskan motif (niat) adalah dompet dan isinya (uang, ATM yang ada saldonya), HP lalu dilanjutkan membaca basmalah dan doa perjalanan.
Museum Islam Indonesia KH. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang
Ada kisah hikmah seorang penguasa cerdas dan zuhud yang patut kita simak dengan saksama sebagai bahan permenungan dalam penutupan tahun 2019 berikut ini.
Abdul Aziz bin Abdullah al-Humaidi dalam bukunya, Umar bin Abdul Aziz: Sosok Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas menorehkan kisah dari Ibnu Abdul Hakim bahwa suatu ketika Umar bin Abdul Aziz bersama Sulaiman bin Abdul Malik pergi berwisata. Setibanya di obyek wisata yang dituju, masing-masing mengeluarkan bekal makanan yang dibawa dan masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan. Kebetulan Sulaiman sekamar dengan Umar. Tiba-tiba keberadaan Umar tidak diketahui oleh Sulaiman. Sulaiman yang pada waktu itu menjabat sebagai khalifah memerintahkan pengawalnya untuk mencari. Sang pengawal menemukan Umar sedang berada di bawah pohon dan bersedih.
Berita itu kemudian disampaikan kepada Sulaiman. “Apa yang membuatmu sedih wahai Umar?” tanya Sulaiman. “Yang membuatku sedih adalah aku ingat hari kiamat nanti. Siapa yang membawa bekal maka akan mendapatkan bekalnya, sedangkan aku sekarang tidak membawa bekal maka aku tidak bisa makan,” jawab Umar.
Demikian kecerdasan dan kecepatan Umar mengaitkan situasi yang dia alami dengan kondisi besok pada hari kiamat. Saat itu ia tidak bisa mengeluarkan bekal karena dia tidak membawa, sedangkan teman-temanya mengeluarkan bekal yang mereka bawa. Pikiran Umar lebih cepat terpental menangkap sinyal peristiwa mahadahsyat yang akan terjadi kelak daripada meminta bekal kepada Sulaiman.
Begitulah hati yang bersih selalu ingat keadaan akhirat, terutama saat sedang sulit. Ketika riang gembira di obyek wisata yang eksotis, terbesit dalam lubuk hatinya suatu tanya, akankah kelak ia meraih surga yang keindahannya sungguh tak mampu dibayangkan oleh siapa pun di dunia ini.  Hatinya mampu memaknai kesementaraan sebagai bekal menuju keabadian. Sementara, hati yang buram akan lupa diri dan lupa daratan. Kenikmatan dunia disangka kesenangan di atas segala-galanya, padahal hakikatnya, kata Al-Qur’an, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali sekadar perhiasan yang menipu. Banyak manusia yang terlena dan terpana hingga melupakan kenikmatan dan kepedihan akhirat yang tak bertepi lagi.
La haula wala quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya hamba ini untuk meraih yang terbaik kecuali dengan pertolongan Allah.
Wallah a’lam bis shawab.
***
Sumenep, 28 Desember 2019

No comments:

Post a Comment