Oleh : Masruroh [1])
Foto Masruroh |
Matahari senja itu, hampir
kembali ke peraduaannya . Menyisakan warna keemasannya dan menyemburatkan warna
jingganya. Pada saat itu, aku masih termenung di depan pondokku. Memutar ulang memoriku tentang perjalanan kisah cintaku. Kisah cinta yang
telah lama terbengkalai oleh adanya kesalahpahaman ini. Kesalahpahaman yang tercipta karena ketidaktahuannya mengartikan bisikan
rindu yang kukirimkan lewat angin malam yang syahdu. Rindu yang telah lama kuartikan
sebagai tanda hadirnya rasa itu. Rasa yang selama ini telah bersarang dalam
kalbuku. Rasa yang tidak wajar untuk kurasakan kepadanya. Rasa yang tidak
pantas ada untuk seorang laki-laki yang begitu sempurna seperti dia. Dia memang
tidak pantas untukku. Dia terlalu sempurna untuk mendapatkan wanita sepertiku.
Tapi apa kuasaku untuk menolak semua ini. ‘’Wanita Senja’’ itulah gelar yang diberikannya untukku.
Sudah lama rasa itu terpagut
dalam hatiku, menyusuri setiap celah di hatiku. Menyusup melalui lorong-lorong kecil hingga
sampai pada jantungku. Mengalir bersama aliran darahku. Berhembus bersama setiap
aliran napasku. Dan,
akhirnya kuingat kembali tentang cerita duka itu. Cerita yang telah lama kutinggalkan
dan tak pernah lagi kuberniat untuk mengingatnya. Cerita tentang masa laluku
yang kelam. Tentang seseorang yang telah lama pergi dari hidupku. Aku memang
sengaja mendiaminya, diapun sepertinya sengaja menghindariku, dan akhirnya inilah waktunya roda kehidupan
yang kujalani menemui muaranya. Dia
malah semakin menjauh dan akhirnya pergi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam
masalah ini. Aku ataupun dia hanya menjadi korban ketidakadilan ini. Tuhan pun juga tidak bisa disalahkan dalam masalah ini, karena aku yakin Tuhan
mentakdirkan ini semua demi kebaikanku dan
dirinya.
Terus, siapa yang pantas disalahkan …??
***
Pagiku kian berlalu dengan
tidak begitu cerah. Masih ada segumpal mendung yang menghalangi sinar matahari
untuk menyinari bumiku. Sama halnya seperti hatiku, masih ada segumpal
kekecewaan yang menyelimutinya.
‘’Apa yang kamu lakukan Wanita
Senjaku,’’
ucapnya suatu hari. Aku tak terlalu semangat untuk menggubrisnya. Pikiranku
masih melayang dipermainkan oleh
perasaanku sendiri. Masih terekam jelas dibenakku tentang pengkhianatannya. Jadi, aku
tidak terlalu mempedulikannya walaupun
dalam hati terbesit sebongkah perasaan kasihan. Tapi, rasa sakit mengalahkan
segalanya.
‘’Maafkan aku pangeran malamku. Aku belum bisa melupakan
akan pengkhianatanmu itu. Jadi biarkan aku sendiri dulu untuk mengarungi
bahtera ini. Suatu hari nanti hatiku
pasti akan sembuh dari luka ini. Pasti… Sabarlah wahai pangeran. Akan ada saatnya untukku dapat menyematkan
kembali namamu di dalam hidupku, tapi
tidak sekarang. Jadi,
biarkan saja aku sendiri dulu,” tandasku menanggapi
perkataannya. Aku tidak terlalu bersemangat untuk
menanggapi perkataannya. Hanya itulah suara yang
keluar dari bibirku. Mungkin dia tidak
mendengarnya. Hanya intaian burung-burung yang merekamnya
dengan jelas. Suara itu hanyalah serupa
gumaman kecil yang berdengung dari mulutku. Tidak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Mungkin dia tersinggung dengan ucapanku. Tapi, apa peduliku …? Sebenarnya masih banyak yang ingin kubicarakan dengannya, tapi suaraku tercekat di
kerongkongan hingga keberanianku menguap sudah lalu pergi laksana embun pagi yang tercumbu oleh intaian mentari.
‘’Maafkan aku Wanita Senja, tiada niatan sedikit pun di hatiku
untuk mengkhianatimu. Tapi, sungguh tidak bisa kusangka, aku telah melakukan suatu hal yang sangat aku benci. Maafkan aku Wanita Senja.” [] (MQ).
©2018
No comments:
Post a Comment