Musyfiquddin |
Tentang Peresensi
MUSYFIQUDDIN,
lahir
di Dusun Lembanah Sentol Laok
Pragaan Sumenep, 24 Mei 2003. Riwayat pendidikan dimulai
dari RA Miftahul Huda Tambak Batu Larangan Perreng (lulus, 2009),
MI Miftahul Huda (2015), dan sekarang masih duduk di bangku kelas ix
(sembilan) MTs Al-Wathan dan sekaligus nyantri di
Pondok Pesantren Miftahul Huda. Pengalaman
keorganisasian di antaranya sebagai
Wakil Ketua
OSIS MTs Al-Wathan (2016-2017), Ketua
OSIS (2017-2018).
***
Buku Poligami Berkah ataukah Musibah? |
Judul buku : Poligami, Berkah ataukah Musibah?
Penulis : ‘Iffah Qanita Nailiya
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Kota terbit : Yogyakarta
Tebal buku : 148 halaman
Peresensi : Musyfiquddin
Dalam buku yang berjudul Poligami, Berkah ataukah Musibah? ini mengulas tentang pernikahan,
berpoligami yang adil. Sebelum saya menjelaskan tentang berpoligami dengan
adil, saya akan paparkan terlebih dahulu tentang pernikahan.
Pada umumnya manusia mengalami pernikahan,
hanya beberapa saja yang tidak mengalaminya disebabkan oleh faktor-faktor
tertentu. Menikah adalah sunnah muakkad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Hadits Rasulullah
SAW. “Menikah itu sunnahku. Barang siapa segan mengikuti jejak sunnahku,
maka tiadalah ia termasuk golonganku.” (HR. Muslim).
Dari hadits
tersebut, menggambarkan bahwa Nabi menganjurkan kita untuk melakukan
sunnah-sunnahnya walaupun tidak mampu untuk melakukan semuanya. Hadits
lain yang berkaitan dengan masalah pernikahan yang menjelaskan tentang
kariteria bagi calon istri, di dalam Islam
juga memberikan pertimbangan, apa saja yang harus diperhatikan. Sebagaimana
yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. “Seorang perempuan dinikahi karena empat
perkara; karena harta, keturunan, kecantikan dan
agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama,
niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari
Muslim). (hlm.8).
Sebenarnya hadits
ini tidak hanya tertuju kepada wanita saja, hanya saja karena pada umumnya kaum
lelaki yang melamar. Di antara pertimbangan-pertimbangan yang
telah disebutkan tadi, yang paling dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW
adalah masalah agama, karena jika kita menikah disebabkan oleh harta,
kecantikan dan lain sebagainya, tidak bisa memberikan kenyamanan
dan ketenteraman dalam berumah tangga. Intinya,
jika tidak didasari dengan landasan agama, hanya bisa membuat kesengsaraan dan
penyesalan pada diri kita sendiri.
Meskipun demikian, kita harus
melihat pada diri kita sendiri. Pernikahan
tetap membutuhkan keselarasan. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an: “Perempuan-perempuan
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
perempuan-perempuan yang keji (pula), dan perempuan-perempuan yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. An-Nur).
(hlm.11).
Berdasarkan pada ayat ini, dapat
dipahami bahwa pernikahan adalah pertautan jiwa yang harus diupayakan
berlangsung seumur hidup. Melalui pernikahan, dua
insan akan hidup di bawah satu atap rumah tangga, mengarungi bahtera kehidupan
yang sudah pasti penuh suka dan duka. (hlm.11).
Poligami. Kata
ini agaknya sudah tidak asing lagi, sebagian dari mereka menilai poligami
dengan sedikit tidak baik, karena poligami identik dengan rasa ketamakan
atau kerakusan. Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani,
yakni poli, atau polus, yang berarti
banyak, dan gamein atau gamos, yang berarti perkawinan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
disebutkan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. (hlm.15).
Hal yang menjadi perdebatan dunia pernikahan
adalah berkaitan dengan ketentuan kebolehan laki-laki menikahi lebih dari satu
istri, atau biasa kita kenal dengan poligami. Sebagaimana firman Allah SWT. “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.
An-Nisa’: 3).
(hlm.13).
Ayat tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan para ulama terkait dengan hukum
poligami. Mereka yang mendukung poligami, selain menggunakan dasar ayat
tersebut, juga mengaitkannya dengan poligami Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu, pihak lain yang menolak
poligami juga mendasarkan penolakannya pada syarat yang sepertinya sulit
diterapkan bagi pelaku poligami, yakni bersikap adil dan beberapa pertimbangan
lainnya. (hlm.13).
Di dalam berpoligami, yang perlu digarisbawahi
yaitu sikap adil.
Dalam bersikap adil ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, di antaranya,
pertama, adil dalam
memberikan kebutuhan lahir. Seorang
suami yang memiliki istri lebih dari satu harus memberikan nafkah materi secara
adil kepada semua istrinya. Kedua, adil dalam
memberikan kebutuhan batin. Salah satu
kebutuhan naluri setiap manusia adalah kebutuhan batin, di antaranya adalah kebutuhan seksual.
Selanjutnya, bagaimana tentang
poligaminya Rasulullah? Nah, pertanyaan
ini yang selalu mengganjal di pikiran
kita. Menurut syariat, bahwa cinta pertama Rasulullah tidak lain adalah Khadijah.
Beliau tidak berfikir untuk menikah lagi, namun setelah Abu Thalib dan Khadijah
meninggal dunia, para sahabat bersimpati kepada beliau. Mereka menyarankan agar
Nabi Muhammad SAW menikah lagi.
Ada beberapa hal yang harus dipahami
dalam poligami yang dilakukan Nabi Muhammad,
yaitu poligami Nabi Muhammad bukan berlandaskan syahwat.
Beliau memutuskan berpoligami karena
diperintah oleh Allah SWT serta dorongan beberapa sahabat.
Dorongan para sahabat agar Nabi Muhammad menikah lagi tentu bukan tanpa alasan.
Mereka menyarankan Nabi Muhamad berpoligami dalam rangka membina dan mempererat
hubungan dengan kabilah-kabilah Arab. Istri
Nabi Muhammad lebih banyak para janda, ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad
beristri bukan hasil dorongan syahwat. Kalau
seandainya Nabi Muhammad beristri karena syahwat maka dia akan memilih
perempuan yang masih gadis.
Poligami Nabi Muhammad SAW
bertujuan untuk perdamaian dan persahabatan. Aspek inilah yang dikedepankan dan
menjadi landasan beliau saat berpoligami. Contohnya adalah pernikahan Nabi
Muhammad SAW dengan Juwairiyah binti Harits dan
Shafiyyah binti Huwai. Dari pernikahan tersebut, beliau sedang mengupayakan
perdamaian dan menyelesaikan pertentangan dengan kelompok masyarakat yang
memusuhinya kala itu, terutama dari suku Al-Harits dan Bani Quraidzah. (hlm.70).
Dengan demikian, ada tujuan besar di balik poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW. Tujuan
itu sama sekali bukan untuk kepentingan pribadi beliau, melainkan untuk
kepentingan dakwah dan penyebaran ajaran-ajaran agama Islam.
Demikian penjelasan tentang seluk-beluk
pernikahan.
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menjelaskan
isi buku yang berjudul Poligami, Berkah
ataukah Musibah? ini, yang di
dalamnya berisi tentang kejadian-kejadian yang ada dalam pernikahan,
berpoligami dengan sikap adilnya. Dan juga poligami Rasulullah, yaitu tidak
dilandasi syahwat atau hawa nafsu, dan juga untuk kemaslahatan agama Islam
dan pemeluknya.
Beda dengan kita yang hanya dilandasi
dengan syahwat atau hawa nafsu saja.
Setiap sesuatu di dunia ini pasti
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tak terkecuali juga dengan
buku ini.
Kelebihan buku ini, di antaranya adalah menggunakan bahasa yang
mudah dipahami, tidak banyak istilah-istilah yang sulit yang perlu dicari di kamus. Selain
itu, kertas sampulnya sudah bagus dan isinya
berlandasan dari Al-Qur’an
dan Hadits.
Sebaik-baik karangan yang ditulis tidak
akan kebal pada kritik, komentar, dan kekurangan. Termasuk juga pada buku ini,
seperti tidak sesuainya dengan tanda ejaan, seperti yang tertulis di halaman
46. Selain tanda baca yang tidak sesuai, ada juga salah penulisan seperti yang
tertulis pada halaman 55. Dan juga di dalam buku ini tidak ada kata pengantar.
Meskipun kekurangan buku ini relatif
banyak, tapi buku ini sangat baik untuk dibaca agar bisa menambah wawasan kita
tentang pernikahan, serta tentang cara berpoligami ala Rasulullah SAW
yang sulit kita tiru karena poligami Rasulullah tidak dilandasi oleh
hawa nafsu dan sifat adilnya terhadap istri-istrinya. Anda
juga akan memahami makna adil dalam berpoligami, renungan-renungan, serta etika
yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh suami yang berkeinginan berpoligami.
Sehingga, buku ini wajib anda baca demi terwujudnya keluarga yang tenteram
dan bahagia.
***
Tentang
Penulis
‘IFFAH
QANITA NAILIYA, lahir di Sumenep tahun 1981. Menempuh pendidikan
dasar hingga sekolah tingkat atas di kota kelahirannya, tepatnya di Pondok
Pesantren Nasyi‘atul Muta’allimin. Saat ini, penulis tinggal di Kebumen Jawa
Tengah, setelah menamatkan pendidikan S1-nya di Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir Hadits Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Selama menjadi pelajar, ia aktif di beberapa kegiatan, antara lain: OSIS,
Kajian Remaja Bangsa, Quntum Ilmiah dan PMR.
***
Catatan: Resensi ini merupakan tugas
wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2017/2018. (MQ).
© 2018
No comments:
Post a Comment