Hanifatil Millah |
Tentang Peresensi
HANIFATIL
MILLAH,
lahir di Dusun Langgar Sabidak Sentol Daya Pragaan
Sumenep,
26 Oktober 2003. Riwayat pendidikan dimulai dari RA Miftahul
Huda Tambak Batu Larangan Perreng (lulus, 2009),
MI Miftahul Huda (2015), dan sekarang masih duduk di bangku kelas ix
(sembilan) MTs Al-Wathan. Pengalaman
keorganisasian di antaranya: Organisasi Siswa Intra
Sekolah (Osis) MTs
Al-Wathan, menjabat Anggota
Bidang Kesejahteraan
dan Kesehatan (2016-2017), dan menjadi Koordinator
Bidang Kesejahteraan
dan Kesehatan (2017-2018). Prestasi-prestasi yang pernah diraih:
Juara 1 Lomba Shalat
Subuh
Tingkat Anak-Anak
di MI Miftahul Huda Tambak Batu Larangan Perreng (2011/2012), dan pernah meraih
Juara 1 Lomba Menghafal
Surat Pendek
di Sentol Laok (2015). Saat
ini ia tinggal di Dusun Laggar Sabidak
Sentol Daya Pragaan Sumenep. Ia bisa dihubungi lewat nomor HP.
082302504123 atau lewat facebook Hanifatil Millah, Any dan
lainnya.
***
Buku Testimoni Para Penghafal Al-Qur'an |
Judul Buku : Testimoni Para Penghafal Al-Qur’an
Penulis : Al-Abaa’
Anjuma
Penerbit : DIVA Press
Cetakan :
Pertama, 2016
Kot a terbit : Yogyakarta
Tebal buku : 208 Halaman
Peresensi : Hanifatil
Millah
Buku yang berjudul Testimoni Para Penghafal Al- Qur’an ini mengingatkan kepada kita
bahwa kekurangan fisik tidaklah menjadi masalah untuk menghafal Al-Qur’an. Karena di balik kekurangan itu pasti ada kelebihan bagi seseorang yang berusaha
untuk menghafal Al-Qur’an. Sebab, seseorang
yang bersungguh-sungguh
untuk menghafal Al-Qur’an meskipun
keadaan fisiknya tidak
sempurna,
dia akan dimudahkan
oleh Allah SWT. Bukan hanya sebab kekurangan fisik, tetapi
seseorang yang sudah
lanjut usia juga bisa menghafal Al-Qur’an
dengan mudah jika ia bersungguh-sungguh ingin menjadi hafizh
Al-Qur’an.
Hafizh termuda yang mengharumkan
Indonesia yang belum mampu melafalkan huruf “r”, Musa La Ode
Abu Hanafi
atau karib disapa Musa Hafizh
Cilik, atau Musa saja, merupakan salah satu hafizh
termuda Indonesia. Musa
mampu menuntaskan hafalan Al-Qur’an
30 juz pada usia 6 tahun. Ia
lahir pada tahun 2008 dan menyelesaikan hafalannya pada pertengahan Juni 2014. (hlm
15-16).
Pada
tahun 2015, Musa meraih prestasi pada STQ Nasional
yang berlangsung di Asrama Haji Pondok
Gede. Ia mampu menjawab semua pertanyaan
dengan lancar dan tanpa salah. Musa mendapatkan peringkat ke-5 cabang
30 juz putra. Prestasi ini membuka peluang baginya untuk dapat mengikuti
Musabaqah Hifzil Qur’an (MHQ) Internasional Sharm EL Sheikh,
Mesir, pada 10-14 April 2016. Keberangkatannya
karena ditunjuk oleh Kementerian Agama yang mendapatkan undangan dari Kementrian
Wakaf Mesir. (hlm.16).
Meski menjadi peserta
termuda, Musa mampu memperoleh juara 3 pada MHQ Internasional ini, mengalahkan 60 negara peserta MHQ. Beberapa Negara yang mengikuti acara
ini, antara lain Mesir, Sudan, Arab Saudi,
Kuwait, Maroko, Chad, Al-Jazair, Mauritania, Yaman, Bahrain, Negeria,
Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Australia, Ukraina, dan lain
sebagainya.
Musa satu-satunya
peserta yang dapat menuntaskan enam pertanyaan dengan lancar tanpa salah, lupa,
dan tanpa diberi teguran. Padahal, peserta lomba lainnya rata-rata mengalami
lupa, bahkan diingatkan dan dibetulkan oleh dewan juri. Atas kelancaran dan
ketenangan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an,
Musa mampu membuat Ketua Dewan Juri
Syeikh Helmy Gamal, Wakil
Ketua Persatuan
Qur’an Mesir,
dan sejumlah hadirin meneteskan air mata.Tidak hanya itu, decak kagum terhadap
penampilan hafizh cilik Indonesia ini juga dirasakan oleh
para peserta MHQ lainnya. (hlm, 17-18).
Musa memiliki minat menghafal Al-Qur’an
sejak usia 2 tahun. Setelah genap usia 2 tahun, Hanafi
(ayah Musa) mulai mengajari Musa
menghafal. Dikarenakan Musa belum mampu membaca Mushaf
Al-Qur’an,
Hanafi memilih metode bimbingan talqin (membacakan
hafalan). Ayahnya membacakan ayat yang akan dihafal,
sementara Musa menirukan. Dalam
sekali belajar pada masa belia ini, Musa
hanya belajar dalam waktu singkat, kisaran lima hingga sepuluh menit. (hlm. 20).
Bukan hanya Musa
yang bisa menjadi hafizh Al-Qur’an tetapi
hafizhah cilik dari Benua Hitam
ini juga
mampu menjadi muslimah termuda yang telah
hafal Al-Qur’an. Rukkayatu Fatahu
Umar (biasa dipanggil Rukkayatu). Dia
merupakan gadis berasal dari Negeria,
salah satu negara di Benua Afrika. Cucu ulama terkemuka,
Syekh Dahiru Usman Bauchi ini telah menyelesaikan
hafalan kitab suci sebanyak 30 juz pada usia 3 tahun 8 bulan. Selain membuat
keluarga merasa bahagia atas karunia ini, prestasi gemilang yang diraih oleh
Rukkayatu juga mampu menarik perhatian umat Islam
di seluruh dunia. (hlm. 23).
Bahkan, di setiap
sudut kota terus saja memperbincangkan keberadaan hafizhah muda ini. Maka, saat
acara wisuda dari sekolah Yayasan Syekh Dahiru Usman, Rukkayatu pun unjuk gigi. Saat itulah, Rukayyatu menerima ujian
hafalan perdana.
Kisah perjalanan seorang bocah istimewa
ini tentu tidak seperti anak-anak pada
umumnya.
Ia bisa menjadi seorang hafizhah termuda juga
berkat perjuangan orang tua yang sangat besar. Rukkayatu mulai menghafal al-Qur’an sejak dalam gendongan ibundanya, Maimunatu. (hlm. 24).
Dikisahkan, saat Maimunatu mengajar para
siswa, Rukkayatu selalu berada dalam gendongannya saat Maimunatu mengajar para
siswa di kelas selama seharian penuh,
yakni pukul 7 pagi hingga 6 sore, sepanjang waktu itu pulahlah Rukkayatu
juga berada di kelas menghafal Al-Qur’an.
(hlm. 25).
Selain perhatian yang cukup besar
terhadap proses menghafal Al-Qur’an
yang dilakukan oleh Rukkayatu, hal lain sangat
menentukan keberhasilannya adalah
suri teladan keluarga besarnya. Orang tua Rukkayatu juga memiliki perhatian
terhadap dunia pendidikan yang sangat besar. Bahkan, mereka berani menentang
tradisi keluarga dan masyarakat sekitar. Di daerah Rukkayatu tinggal, anak
perempuan yang berusia kurang dari 10 tahun
tidak banyak yang di sekolahkan. Namun, keluarga Rukkayatu bersepakat bahwa
dunia telah berubah, dan anak perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan semenjak dini. (hlm.
27).
Menghafalkan Al-Qur’an
merupakan suatu upaya yang menakjubkan. Di antara banyaknya para penghafal
Al-Qur’an, Silmi
merupakan gadis belia yang sangat beruntung. Pasalnya, ia mampu menyempurnakan
hafalan Al-Qur’an 30 juz dalam waktu tiga pekan.
Taraf kecepatan menghafal yang dimiliki Silmi
begitu mengagumkan. Atas kemudahan Allah SWT ia
yang sebelumnya telah menghafal 15 juz dapat menggenapkan menjadi 30 juz. Perhitungan
kasar, Silmi merupakan gadis yang cerdas. Kecerdasan merupakan salah satu
faktor pendukung dalam menjalani proses menghafalkan Al-Qur’an.
Setiap individu memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. (hlm. 30).
Keinginan Silmi
untuk menyempurnakan hafalannya bermula ketika Pesantren
Tahfizh Qur’an Al-Hikmah Bogor mengadakan Program
Super Manzil, program akselerasi menghafal Al-Qur’an. Target program ini adalah mencetak
penghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu satu tahun. Bermula dari inilah, Silmi menargetkan dirinya
akan memiliki hafalan Al-Qur’an secara menyeluruh selama satu
tahun. (hlm. 31).
Super Manzil merupakan salah satu metode
yang dirancang untuk menghancurkan metal block,
terutama dalam menghafal. Biasanya, menghalangi keinginan seorang untuk menghafal
Al-Quran. Program Super Manzil diikuti
oleh banyak peserta, dan mulai di-lauching
pada Juni 2009. Super Manzil dikenalkan
sebagai ajang untuk memecahkan rekor cepat dalam menghafal Al-Qur’an.
(hlm. 32).
Silmi memiliki keyakinan bahwa ia mampu
menghafal Al-Qur’an
dalam tempo tak kurang dari setahun. Dan, keyakinan Silmi
pun berubah indah. Bahkan ia mampu menyelesaikan hafalan 30 juz hanya dalam
waktu tiga pekan. Kisah inspiratif yang dialami Silmi
mengajarkan bahwa setiap individu harus meyakini bahwa barang siapa yang
memiliki niat yang baik, tentu akan mendapatkan kemudahan dan pertolongan dari
Allah SWT. (hlm. 34).
Bukan hanya Silmi
yang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu singkat, tetapi
Fadhila anak tukang tambal ban yang mampu menghafal Al-Quran
dalam jangka 16 bulan, yakni sejak Juni
2013 hingga Oktober 2014. Padahal, gadis kelahiran 17
April 2000 ini hanyalah anak seorang
tambal ban. Ayahnya, Poniran, bekerja sebagai tukang tambal ban dan ibunya,
Darmani, berjualan sembako. (hlm. 35).
Menjadi anak seorang tambal ban dan
penjual sembako membuat Dila tidak dapat menikmati fasilitas mewah sebagaimana
teman-temannya. Meskipun demikian, motivasi
kuat untuk bisa bersaing dengan teman-temannya mampu membawanya sebagai seorang
anak yang penuh dengan prestasi. Selain sejak kelas satu hingga kelas lima
menjadi juara satu, ia mampu menghafal Al-Qur’an
saat kelas sembilan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau
setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Di antara
motivasi Dila sehingga dirinya memiliki
keinginan kuat untuk menjadi seorang hafizhah
adalah adanya hadits yang menerangkan bahwa keutamaan menghafal al-Qur’an
adalah mampu menyelamatkan orang tua di akhirat.
(hlm. 37).
Dalam menghafal Al-Quran,
Dila juga menggunakan metode membaca, menghafal dan mengulang. Salah satu
metode yang sering digunakan Dila sehingga menjadikannya sukses meraih
cita-citanya adalah dengan membaca dulu teks Al-Qur’an
secara berulang-ulang hingga lancar, kemudian baru menghafal. (hlm.
39-40).
Bagi Dila, meniatkan menghafalkan Al-Qur’an
dalam rangka berbakti kepada kedua orang tuanya merupaan faktor
yang membuatnya teguh untuk memperjuangkan harapan. (hlm. 41-42).
Ayu Fajar Lestari hafizhah cilik yang
tunanetra sejak lahir juga mampu menjadi seorang penghafal Al-Quran
yang terlahir dari seorang penjual nasi goreng. Nama Ayu Fajar Lestari seketika
menjadi harum manakala gadis tunanetra sejak lahir ini diketahui publik sebagai
hafizhah di usia belianya. Pada usia 12 tahun, Ayu
(begitu sapaan akrab Ayu fajar Lestari) telah menghafal seluruh Al-Qur’an
beserta nomor ayatnya. Kendati Ayu memiliki keterbatasan secara fisik dan keluarga,
namun atas kuasa Allah SWT dirinya dipilih sebagai seorang hafizhah sejak usia
dini. Menjadi Juara 1 MTQ Tingkat Provinsi
Jawa Timur
merupakan prestasi yang tidak dapat dianggap enteng. Dengan kedua matanya yang
buta, atau tepatnya sebelah kanan low vision dan kiri tunanetra sehingga
Ayu tidak bisa belajar Al-Qur’an sebagaimana teman-temannya
seusianya. Atas kehendak Allah SWT Ayu yang sudah berusia 8 tahun dipertemukan
dengan relawan yang mampu menyalurkan ke sebuah
sekolah luar biasa setingkat SD. (hlm. 43-46).
Faza yang tunanetra sejak ia lahir,
akhirnya dia bisa menghafal Al-Qur’an
dengan ingatan yang begitu kuat. Awalnya Faza memiliki keinginan untuk
mengumandangkan adzan di Masjid Agung
Tasikmalaya. Akhirnya Faza memberitahukan keinginan itu, dan ayahnya
pun mulai terbuka dengan keinginan tersebut.
Faza merupakan cermin, betapa kedua
orang tuanya tidak putus asa. Ketika
mengetahui sang putra tidak dapat melihat, kedua orang tuanya
mencari celah bagi Faza. Mereka memberikan dukungan dan fasilitas. Dalam iklim
pengasuhan positif, Faza mampu mengatasi keterbatasan yang ia miliki.
Penerimaan positif tanpa syarat dari kedua orang tuanya
membuat Faza tidak merasa rendah diri. Ia merasa dicintai, dikasihi dan merasa
memiliki peluang untuk berprestasi layaknya anak-anak yang lainnya.
Cinta tanpa syarat berarti menerima dan
mau mengembangkan bakat anak, meski berseberangan
dengan cita-cita orang tua.
Dengan kecerdasan dan keulatan serta dukungan orang tua,
Faza berhasil menjadi hafizh pada usia tujuh
tahun. (hlm. 49-50).
Faza didaulat sebagai hafizh
Al-Qur’an dalam Wisuda
Akbar 6 yang digelar PPPA Darul-Qur’an
pada 22 November 2015. Sebagai
seorang hafizh cilik, Faza mendapat perhatian dari
berbagai pihak. Terlebih, kondisi dirinya yang buta mampu menimbulkan getaran
jiwa dan rasa empati. Keberhasilan Faza memang tak hanya merupakan kerja keras
Faza semata. Di balik
kesuksesannya menghafalkan Al-Qur’an dalam usia
yang sama dengan Imam Syafii, ada peran kedua orang tuanya
yang begitu bermakna. (hlm. 50-51).
Faza mampu menghafal Al-Qur’an
dengan sangat cepat. Tidak sampai sebulan, ia mampu menghafalkan beberapa
bagian surat Al-Qur’an dengan memiliki TPQ (Taman
Pendidikan Al-Qur’an). Awalnya, ia hanya bergurau
bahwa dirinya sangat ingin memiliki pesantren. Demi menjaga perasaan anaknya,
kedua orang tuanya pun mengajak sepupu Faza untuk
mengaji bersama di rumah mereka. Lagi-lagi, impian Faza sudah nyaris terwujud.
(hlm. 54).
Syarif Sayyid Mustaka Hasanin,
hafizh dari Kampong
Sederhana, dia merupakan seorang anak
yang awalnya terlihat tidak memiliki kemampuan menghafal Al-Qur’an.
Ia memulai menghafal Al-Qur’an pada usia tiga tahun. Hanya
saja, setelah lebih dari empat tahun, yakni usia tujuh setengah tahun, dirinya
hanya mampu menghafal empat juz Al-Qur’an.
Capaian yang begitu lambat ini menjadi pukulan bagi Syarif (sapaannya). Karena
teman-teman seperjuangannya sudah hatam. (hlm. 68).
Kisah betapa Syarif yang memiliki
kemampuan luar biasa dalam menghafal ini bisa dinikmati oleh khalayak melalui Program
Wisata Qur’an. Salah satu acara Wisata
Qur’an yang dipandu oleh Syekh Fahd
Al-Kandari, berkunjung ke Mesir untuk
menemui seorang anak yang sangat luar biasa. Satu hal yang membuat Tim
Wisata Qur’an jatuh hati untuk berkunjung
ke Manshint Nasr adalah adanya seorang hafizh
cilik yang juga hafal dua kitab Hadits Shahih, yakni karya Imam Bukhari dan
Muslim. (hlm. 69-70).
Fajar Abdurokhim Wahyudiono (atau sering
dipanggil fajar) merupakan salah
seorang penghafal Al-Qur’an yang mampu menaklukkan
tantangan berat. Sebab, ia menghafal Al-Qur’an
di tengah bertahan menghadapi kelumpuhan otak (cerebral palsy). Menakjubkan, Fajar mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an
saat berusia 4,5 tahun. Kondisi
dan prestasi Fajar, awalnya diketahui
oleh Ustadz Yusuf Mansur. Setelah itu, tersiar
kabar menakjubkan mengenai perjuangan dan pencapaian prestasi yang telah ditorehkan
Fajar.
Di tengah kondisi fisik (dan mungkin
juga psikis) yang tidak normal, Fajar memiliki kegigihan dan semangat
pantang menyerah untuk menghafal Al-Qur’an. (hlm. 75-76).
Kedua orang tua Fajar memiliki rutinitas
Qur’ani untuk Fajar. Dengan penuh kesabaran, sang ayah selalu
membacakan Al-Qur’an setengah juz pada pagi hari dan
setengah juz pada malam hari. Kebiasaan
itu dilakukan sejak Fajar masih bayi dan berada di inkubator. Semakin
hari kedua orang tua Fajar pun semangat meningkatkan intensitas memperdengarkan
ayat-ayat suci kepada Fajar. (hlm. 77).
Seorang pesibuk kuliah juga bisa
menghafal Al-Qur’an. Fadhil
Azman merupakan seorang mahasiswa University
of Jordan yang sukses menghafal Al-Qur’an
30 juz selama 4 bulan di sela-sela kesibukan kuliahnya. Akibat
jitu menghafal Al-Qur’an menurut Fadhil
Azman: Pertama, memurnikan niat,
yaitu salah satu poin penting yang terbaik bahwa seseorang harus selalu
memperhatikan, melakukannya dengan tulus demi Allah. Kedua, mulai sekarang tidak menunda-nunda. Niat anda tidak akan sekuat sekarang
dalam sebulan mendatang. Luangkan
waktu, jangan membuat alasan bertele-tele. “Aku tahu, beberapa orang yang memiliki
niat, tetapi
tidak memiliki motivasi.” Dan masih banyak lagi kiat jitu dari
fadhil Azman. (hlm. 96-105).
Demikian pemaparan tentang testimoni
para penghafal
Al-Qur’an. Menjadi
penghafal Al-Qur’an (hafizh atau hafizhah) adalah impian setiap umat Islam. Dengan
menghafal Al-Qur’an berarti orang tersebut telah
mengantongi tiket kebahagiaan di akhirat kelak, karna hafalan Al-Qur’an
akan memberi syafaat bagi para penghafalnya suatu
ketika tiada lagi penolong selain amal perbuatan baik kala dunia. Selain itu, hafizh
atau hafizhah merupakan orang-orang pilihan Allah SWT yang
mendapat kedudukan tinggi di sisi-Nya.
Buku ini merupakan buku pedoman yang ditulis
oleh Al-Abaa’
Anjuma.
Buku ini memiliki kelebihan tersendiri, di
antaranya memberikan gambaran begitu jelas
kepada para penghafal Al-Qur’an, karena
istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci.
Dan, bahasa yang
digunakan juga sangat komunikatif dan tidak berbelit-belit. Siapa pun yang membacanya akan lebih
mudah memahami isinya.
Di samping kelebihan di atas, ada
beberapa kekurangan yang juga perlu diketahui oleh para pembaca, di antaranya ada beberapa kata yang digunakan dalam buku ini yang tidak sesuai
dengan ejaan bahasa Indonesia, contohnya
dapat dilihat di beberapa halaman, misalnya
halaman 30, 31, dan 47 juga
kover bukunya kurang menarik.
Meskipun kekurangan secara fisik dalam
buku ini relatif ada, akan
tetapi isi buku ini penting untuk diperhatikan oleh para penghafal Al-Qur’an. Dengan memahami isi dari buku ini, kita bisa menerapkan dalam menghafalkan Al-Qur’an.
***
Tentang Penulis
AL-ABAA’ ANJUMA, (kedua
orang tua Anjuma) merupakan nama lain dari Anton Prasetyo
dan Nurul Latifah. Keduanya belajar Al-Qur’an
dan agama di Pondok Pesantren
selama bertahun-tahun. Dari
hasil mengaji dan belajar di lembaga pendidikan formal, keduanya sering kali
menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan sehingga dapat di manfaatkan orang
lain. Beberapa karya Anton dalam bentuk buku
antara lain adalah Materi Khutbah Tematik Terlengkap
(Saufa, 2015), Kumpulan
Khutbah Jumat Pilihan (Bahtera, 2015), Panduan Mengenal
NU: Untuk Pemula
(Pustaka Tebuireng, Proses cetak), dan lainnya. Sementara,
beberapa karya Nurul yang dibukukan, antara lain adalah Menolak Lupa
(2009), Lintang Panjer Wengi:
Kkumpulan Puisi
90 Penyair Yogyakarta
(2014), Dahsyatnya Energi Memaafkan dalam Rumah Tangga
(DIVA Press, proses cetak), dan lain sebagainya.
***
Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2017/2018. (MQ).
© 2018
No comments:
Post a Comment