Saturday, May 5, 2018

PERJUANGAN SANG PENGHAFAL AL-QUR’AN

Hanifatil Millah

Tentang Peresensi

HANIFATIL MILLAH, lahir di Dusun Langgar Sabidak Sentol Daya Pragaan Sumenep, 26 Oktober 2003. Riwayat pendidikan dimulai dari RA Miftahul Huda Tambak Batu Larangan Perreng (lulus, 2009), MI Miftahul Huda (2015), dan sekarang masih duduk di bangku kelas ix (sembilan) MTs Al-Wathan. Pengalaman keorganisasian di antaranya: Organisasi Siswa Intra Sekolah (Osis) MTs Al-Wathan, menjabat Anggota Bidang Kesejahteraan dan Kesehatan (2016-2017), dan menjadi Koordinator Bidang Kesejahteraan dan Kesehatan (2017-2018).  Prestasi-prestasi yang pernah diraih: Juara 1 Lomba Shalat Subuh  Tingkat Anak-Anak di MI Miftahul Huda Tambak Batu Larangan Perreng (2011/2012), dan pernah meraih Juara 1 Lomba Menghafal Surat Pendek di Sentol Laok (2015). Saat ini ia tinggal di Dusun Laggar Sabidak Sentol Daya Pragaan Sumenep. Ia bisa dihubungi lewat nomor HP. 082302504123 atau lewat facebook Hanifatil Millah, Any dan lainnya.   
***
Buku Testimoni Para Penghafal Al-Qur'an
Judul Buku      : Testimoni  Para Penghafal  Al-Qur’an
Penulis             : Al-Abaa’ Anjuma                       
Penerbit           : DIVA Press
Cetakan           : Pertama, 2016
Kot a terbit      : Yogyakarta
Tebal buku      : 208 Halaman
Peresensi         : Hanifatil Millah
                                   
Buku yang berjudul Testimoni Para Penghafal Al- Qur’an ini mengingatkan kepada kita bahwa kekurangan fisik tidaklah menjadi masalah untuk menghafal  Al-Qur’an. Karena di balik  kekurangan itu  pasti ada kelebihan bagi seseorang  yang berusaha  untuk menghafal Al-Qur’an. Sebab,  seseorang  yang bersungguh-sungguh  untuk  menghafal  Al-Qur’an  meskipun  keadaan  fisiknya  tidak  sempurna,  dia  akan  dimudahkan  oleh  Allah SWT. Bukan hanya  sebab kekurangan  fisik, tetapi  seseorang  yang  sudah  lanjut  usia juga bisa menghafal Al-Qur’an dengan mudah jika ia bersungguh-sungguh ingin menjadi hafizh Al-Qur’an.

Hafizh termuda yang mengharumkan Indonesia  yang belum mampu  melafalkan huruf  “r”, Musa  La Ode Abu Hanafi  atau karib  disapa Musa  Hafizh Cilik, atau Musa  saja, merupakan salah satu  hafizh  termuda  Indonesia. Musa mampu  menuntaskan hafalan Al-Qur’an 30 juz pada usia 6 tahun. Ia lahir pada tahun 2008 dan menyelesaikan hafalannya  pada pertengahan  Juni  2014. (hlm 15-16).

Pada  tahun  2015, Musa meraih prestasi pada STQ Nasional yang berlangsung di Asrama  Haji Pondok Gede. Ia mampu menjawab  semua  pertanyaan  dengan lancar  dan tanpa  salah. Musa mendapatkan peringkat ke-5 cabang 30 juz putra. Prestasi ini membuka peluang baginya untuk dapat  mengikuti  Musabaqah Hifzil Qur’an (MHQ)  Internasional  Sharm  EL Sheikh, Mesir, pada 10-14 April 2016. Keberangkatannya  karena  ditunjuk oleh Kementerian  Agama  yang mendapatkan undangan dari Kementrian Wakaf Mesir. (hlm.16).

Meski menjadi  peserta  termuda, Musa mampu memperoleh juara 3 pada MHQ Internasional  ini, mengalahkan 60 negara peserta  MHQ. Beberapa Negara yang mengikuti acara ini, antara lain Mesir, Sudan, Arab Saudi, Kuwait, Maroko, Chad, Al-Jazair, Mauritania, Yaman, Bahrain, Negeria, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Australia, Ukraina, dan lain sebagainya.

Musa satu-satunya peserta yang dapat menuntaskan enam pertanyaan dengan lancar tanpa salah, lupa, dan tanpa diberi teguran. Padahal, peserta lomba lainnya rata-rata mengalami lupa, bahkan diingatkan dan dibetulkan oleh dewan juri. Atas kelancaran dan ketenangan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Musa mampu membuat Ketua Dewan Juri Syeikh Helmy Gamal, Wakil Ketua Persatuan Quran Mesir, dan sejumlah hadirin meneteskan air mata.Tidak hanya itu, decak kagum terhadap penampilan hafizh cilik Indonesia ini juga dirasakan oleh para peserta MHQ lainnya. (hlm, 17-18).

Musa memiliki minat menghafal Al-Qur’an sejak usia 2 tahun. Setelah genap usia 2 tahun, Hanafi (ayah Musa) mulai mengajari Musa menghafal. Dikarenakan Musa belum mampu membaca Mushaf Al-Qur’an, Hanafi memilih metode bimbingan talqin (membacakan hafalan). Ayahnya membacakan ayat yang akan dihafal, sementara Musa menirukan. Dalam sekali belajar pada masa belia ini, Musa hanya belajar dalam waktu singkat, kisaran lima hingga sepuluh menit. (hlm. 20).

Bukan hanya Musa yang bisa menjadi  hafizh  Al-Qur’an  tetapi  hafizhah  cilik  dari  Benua  Hitam ini  juga  mampu  menjadi muslimah termuda  yang telah  hafal Al-Qur’an. Rukkayatu  Fatahu Umar (biasa dipanggil  Rukkayatu). Dia merupakan gadis berasal dari Negeria,  salah satu negara di Benua Afrika. Cucu ulama terkemuka, Syekh Dahiru Usman Bauchi ini telah menyelesaikan hafalan kitab suci sebanyak 30 juz pada usia 3 tahun 8 bulan. Selain membuat keluarga merasa bahagia atas karunia ini, prestasi gemilang yang diraih oleh Rukkayatu juga mampu menarik perhatian umat Islam di seluruh dunia. (hlm. 23).

Bahkan, di setiap sudut kota terus saja memperbincangkan keberadaan hafizhah muda ini. Maka, saat acara wisuda dari sekolah  Yayasan  Syekh Dahiru Usman, Rukkayatu pun unjuk  gigi. Saat itulah, Rukayyatu menerima ujian hafalan perdana.

Kisah perjalanan seorang bocah istimewa ini tentu tidak seperti anak-anak pada umumnya. Ia bisa menjadi seorang hafizhah termuda juga berkat perjuangan orang tua yang sangat besar. Rukkayatu mulai menghafal  al-Qur’an sejak dalam gendongan ibundanya, Maimunatu. (hlm. 24).

Dikisahkan, saat Maimunatu mengajar para siswa, Rukkayatu selalu berada dalam gendongannya saat Maimunatu mengajar para siswa di kelas selama seharian penuh,  yakni pukul 7 pagi hingga 6 sore, sepanjang waktu itu pulahlah Rukkayatu juga berada di kelas menghafal Al-Qur’an. (hlm. 25).
 
Selain perhatian yang cukup besar terhadap proses menghafal Al-Qur’an yang dilakukan  oleh Rukkayatu, hal lain sangat menentukan keberhasilannya adalah suri teladan keluarga besarnya. Orang tua Rukkayatu juga memiliki perhatian terhadap dunia pendidikan yang sangat besar. Bahkan, mereka berani menentang tradisi keluarga dan masyarakat sekitar. Di daerah Rukkayatu tinggal, anak perempuan yang berusia kurang dari 10 tahun tidak banyak yang di sekolahkan. Namun, keluarga Rukkayatu bersepakat bahwa dunia telah berubah, dan anak perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan semenjak dini. (hlm. 27).
       
Menghafalkan Al-Qur’an merupakan suatu upaya yang menakjubkan. Di antara banyaknya para penghafal Al-Qur’an, Silmi merupakan gadis belia yang sangat beruntung. Pasalnya, ia mampu menyempurnakan hafalan Al-Qur’an 30 juz dalam waktu tiga pekan.

Taraf kecepatan menghafal yang dimiliki Silmi begitu mengagumkan. Atas kemudahan Allah SWT ia yang sebelumnya telah menghafal 15 juz dapat menggenapkan menjadi 30 juz. Perhitungan kasar, Silmi merupakan gadis yang cerdas. Kecerdasan merupakan salah satu faktor pendukung dalam menjalani proses menghafalkan Al-Qur’an. Setiap individu memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. (hlm. 30).

Keinginan Silmi untuk menyempurnakan hafalannya bermula ketika Pesantren Tahfizh Qur’an Al-Hikmah Bogor mengadakan Program Super Manzil, program akselerasi menghafal Al-Qur’an. Target program ini adalah mencetak penghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu satu tahun. Bermula dari inilah, Silmi menargetkan dirinya akan memiliki hafalan Al-Qur’an secara menyeluruh selama satu tahun. (hlm. 31).

Super Manzil merupakan salah satu metode yang dirancang untuk menghancurkan metal block, terutama dalam menghafal. Biasanya, menghalangi keinginan seorang untuk menghafal Al-Quran. Program Super Manzil diikuti oleh banyak peserta, dan mulai di-lauching pada Juni 2009. Super Manzil dikenalkan sebagai ajang untuk memecahkan rekor cepat dalam menghafal Al-Qur’an. (hlm. 32).

Silmi memiliki keyakinan bahwa ia mampu menghafal Al-Quran dalam tempo tak kurang dari setahun. Dan, keyakinan Silmi pun berubah indah. Bahkan ia mampu menyelesaikan hafalan 30 juz hanya dalam waktu tiga pekan. Kisah inspiratif yang dialami Silmi mengajarkan bahwa setiap individu harus meyakini bahwa barang siapa yang memiliki niat yang baik, tentu akan mendapatkan kemudahan dan pertolongan dari Allah SWT. (hlm. 34).

Bukan hanya Silmi yang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu singkat, tetapi Fadhila anak tukang tambal ban yang mampu menghafal Al-Quran dalam jangka 16 bulan, yakni sejak Juni 2013 hingga Oktober 2014. Padahal, gadis kelahiran 17 April 2000 ini hanyalah anak seorang tambal ban. Ayahnya, Poniran, bekerja sebagai tukang tambal ban dan ibunya, Darmani, berjualan sembako. (hlm. 35).

Menjadi anak seorang tambal ban dan penjual sembako membuat Dila tidak dapat menikmati fasilitas mewah sebagaimana teman-temannya. Meskipun demikian, motivasi kuat untuk bisa bersaing dengan teman-temannya mampu membawanya sebagai seorang anak yang penuh dengan prestasi. Selain sejak kelas satu hingga kelas lima menjadi juara satu, ia mampu menghafal Al-Quran saat kelas sembilan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Di antara motivasi Dila sehingga dirinya memiliki keinginan kuat untuk menjadi seorang hafizhah adalah adanya hadits yang menerangkan bahwa keutamaan menghafal al-Quran adalah mampu menyelamatkan orang tua di akhirat. (hlm. 37).

Dalam menghafal Al-Quran, Dila juga menggunakan metode membaca, menghafal dan mengulang. Salah satu metode yang sering digunakan Dila sehingga menjadikannya sukses meraih cita-citanya adalah dengan membaca dulu teks Al-Quran secara berulang-ulang hingga lancar, kemudian baru menghafal. (hlm. 39-40).

Bagi Dila, meniatkan menghafalkan Al-Quran dalam rangka berbakti kepada kedua orang tuanya merupaan faktor yang membuatnya teguh untuk memperjuangkan harapan. (hlm. 41-42).

Ayu Fajar Lestari hafizhah cilik yang tunanetra sejak lahir juga mampu menjadi seorang penghafal Al-Quran yang terlahir dari seorang penjual nasi goreng. Nama Ayu Fajar Lestari seketika menjadi harum manakala gadis tunanetra sejak lahir ini diketahui publik sebagai hafizhah di usia belianya. Pada usia 12 tahun, Ayu (begitu sapaan akrab Ayu fajar Lestari) telah menghafal seluruh Al-Qur’an beserta nomor ayatnya. Kendati Ayu memiliki keterbatasan secara fisik dan keluarga, namun atas kuasa Allah SWT dirinya dipilih sebagai seorang hafizhah sejak usia dini. Menjadi Juara 1 MTQ Tingkat Provinsi Jawa Timur merupakan prestasi yang tidak dapat dianggap enteng. Dengan kedua matanya yang buta, atau tepatnya sebelah kanan low vision dan kiri tunanetra sehingga Ayu tidak bisa belajar Al-Qur’an sebagaimana teman-temannya seusianya. Atas kehendak Allah SWT Ayu yang sudah berusia 8 tahun dipertemukan dengan relawan yang mampu menyalurkan ke sebuah sekolah luar biasa setingkat SD. (hlm. 43-46).

Faza yang tunanetra sejak ia lahir, akhirnya dia bisa menghafal Al-Qur’an dengan ingatan yang begitu kuat. Awalnya Faza memiliki keinginan untuk mengumandangkan adzan di Masjid Agung Tasikmalaya. Akhirnya Faza memberitahukan keinginan itu, dan ayahnya pun mulai terbuka dengan keinginan tersebut.

Faza merupakan cermin, betapa kedua orang tuanya tidak putus asa. Ketika mengetahui sang putra tidak dapat melihat, kedua orang tuanya mencari celah bagi Faza. Mereka memberikan dukungan dan fasilitas. Dalam iklim pengasuhan positif, Faza mampu mengatasi keterbatasan yang ia miliki. Penerimaan positif tanpa syarat dari kedua orang tuanya membuat Faza tidak merasa rendah diri. Ia merasa dicintai, dikasihi dan merasa memiliki peluang untuk berprestasi layaknya anak-anak yang lainnya.

Cinta tanpa syarat berarti menerima dan mau mengembangkan bakat anak, meski berseberangan dengan cita-cita orang tua. Dengan kecerdasan dan keulatan serta dukungan orang tua, Faza berhasil menjadi hafizh pada usia tujuh tahun. (hlm. 49-50).

Faza didaulat sebagai hafizh Al-Qur’an dalam Wisuda Akbar 6 yang digelar PPPA Darul-Qur’an pada 22 November 2015. Sebagai seorang hafizh cilik, Faza mendapat perhatian dari berbagai pihak. Terlebih, kondisi dirinya yang buta mampu menimbulkan getaran jiwa dan rasa empati. Keberhasilan Faza memang tak hanya merupakan kerja keras Faza semata. Di balik kesuksesannya menghafalkan Al-Qur’an dalam usia yang sama dengan Imam Syafii, ada peran kedua orang tuanya yang begitu bermakna. (hlm. 50-51).

Faza mampu menghafal Al-Qur’an dengan sangat cepat. Tidak sampai sebulan, ia mampu menghafalkan beberapa bagian surat Al-Qur’an dengan memiliki TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Awalnya, ia hanya bergurau bahwa dirinya sangat ingin memiliki pesantren. Demi menjaga perasaan anaknya, kedua orang tuanya pun mengajak sepupu Faza untuk mengaji bersama di rumah mereka. Lagi-lagi, impian Faza sudah nyaris terwujud. (hlm. 54).

Syarif Sayyid Mustaka Hasanin, hafizh dari Kampong Sederhana, dia merupakan seorang anak yang awalnya terlihat tidak memiliki kemampuan menghafal Al-Qur’an. Ia memulai menghafal Al-Qur’an pada usia tiga tahun. Hanya saja, setelah lebih dari empat tahun, yakni usia tujuh setengah tahun, dirinya hanya mampu menghafal empat juz Al-Qur’an. Capaian yang begitu lambat ini menjadi pukulan bagi Syarif (sapaannya). Karena teman-teman seperjuangannya sudah hatam. (hlm. 68).

Kisah betapa Syarif yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menghafal ini bisa dinikmati oleh khalayak melalui Program Wisata Qur’an. Salah satu acara Wisata Qur’an yang dipandu oleh Syekh Fahd Al-Kandari, berkunjung ke Mesir untuk menemui seorang anak yang sangat luar biasa. Satu hal yang membuat Tim Wisata Qur’an jatuh hati untuk berkunjung ke Manshint Nasr adalah adanya seorang hafizh cilik yang juga hafal dua kitab Hadits Shahih, yakni karya Imam Bukhari dan Muslim. (hlm. 69-70).

Fajar Abdurokhim Wahyudiono (atau sering dipanggil fajar) merupakan salah seorang penghafal Al-Qur’an yang mampu menaklukkan tantangan berat. Sebab, ia menghafal Al-Qur’an di tengah bertahan menghadapi kelumpuhan otak (cerebral palsy). Menakjubkan, Fajar mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an saat berusia 4,5 tahun. Kondisi dan prestasi Fajar, awalnya diketahui oleh Ustadz Yusuf Mansur. Setelah itu, tersiar kabar menakjubkan mengenai perjuangan dan pencapaian prestasi yang telah ditorehkan Fajar.
          
Di tengah kondisi fisik (dan mungkin juga psikis) yang tidak normal, Fajar memiliki kegigihan dan semangat pantang menyerah untuk menghafal Al-Qur’an. (hlm. 75-76).
       
Kedua orang tua Fajar memiliki rutinitas Qur’ani untuk Fajar. Dengan penuh kesabaran, sang ayah selalu membacakan Al-Qur’an setengah juz pada pagi hari dan setengah juz pada malam hari. Kebiasaan itu dilakukan sejak Fajar masih bayi dan berada di inkubator. Semakin hari kedua orang tua Fajar pun semangat meningkatkan intensitas memperdengarkan ayat-ayat suci kepada Fajar. (hlm. 77).

Seorang pesibuk kuliah juga bisa menghafal Al-Qur’an. Fadhil Azman merupakan seorang mahasiswa University of Jordan yang sukses menghafal Al-Qur’an 30 juz selama 4 bulan di sela-sela kesibukan kuliahnya. Akibat jitu menghafal Al-Qur’an menurut Fadhil Azman: Pertama, memurnikan niat, yaitu salah satu poin penting yang terbaik bahwa seseorang harus selalu memperhatikan, melakukannya dengan tulus demi Allah. Kedua, mulai sekarang tidak menunda-nunda. Niat anda tidak akan sekuat sekarang dalam sebulan mendatang. Luangkan waktu, jangan membuat alasan bertele-tele. Aku tahu, beberapa orang yang memiliki niat, tetapi tidak memiliki motivasi. Dan masih banyak lagi kiat jitu dari fadhil Azman. (hlm. 96-105).

Demikian pemaparan tentang testimoni para penghafal Al-Qur’an. Menjadi penghafal Al-Qur’an (hafizh atau hafizhah) adalah impian setiap umat Islam. Dengan menghafal Al-Qur’an berarti orang tersebut telah mengantongi tiket kebahagiaan di akhirat kelak, karna hafalan Al-Qur’an akan memberi syafaat bagi para penghafalnya suatu ketika tiada lagi penolong selain amal perbuatan baik kala dunia. Selain itu, hafizh atau hafizhah merupakan orang-orang pilihan Allah SWT yang mendapat kedudukan tinggi di sisi-Nya.

Buku ini merupakan buku pedoman yang ditulis oleh Al-Abaa Anjuma. Buku ini memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya memberikan gambaran begitu jelas  kepada para penghafal Al-Qur’an, karena istilah-istilah penting dalam buku ini sudah dijelaskan dengan rinci. Dan, bahasa yang digunakan juga sangat komunikatif dan tidak berbelit-belit. Siapa pun yang membacanya akan lebih mudah memahami isinya.

Di samping kelebihan di atas, ada beberapa kekurangan yang juga perlu diketahui oleh para pembaca, di antaranya ada beberapa kata yang digunakan dalam buku ini yang tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia, contohnya dapat dilihat di beberapa halaman, misalnya halaman 30, 31, dan 47 juga kover bukunya kurang menarik.

Meskipun kekurangan secara fisik dalam buku ini relatif ada, akan tetapi isi buku ini penting untuk diperhatikan oleh para penghafal Al-Qur’an. Dengan memahami isi dari buku ini, kita bisa menerapkan dalam menghafalkan Al-Qur’an.
***
Tentang Penulis

            AL-ABAA ANJUMA, (kedua orang tua Anjuma) merupakan nama lain dari Anton Prasetyo dan Nurul Latifah. Keduanya belajar Al-Qur’an dan agama di Pondok Pesantren selama bertahun-tahun. Dari hasil mengaji dan belajar di lembaga pendidikan formal, keduanya sering kali menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan sehingga dapat di manfaatkan orang lain. Beberapa karya Anton dalam bentuk buku antara lain adalah Materi Khutbah Tematik Terlengkap (Saufa, 2015), Kumpulan Khutbah Jumat Pilihan (Bahtera, 2015), Panduan Mengenal NU: Untuk Pemula (Pustaka Tebuireng, Proses cetak), dan lainnya. Sementara, beberapa karya Nurul yang dibukukan, antara lain adalah Menolak Lupa (2009), Lintang Panjer Wengi: Kkumpulan Puisi 90 Penyair Yogyakarta (2014), Dahsyatnya Energi Memaafkan dalam Rumah Tangga (DIVA Press, proses cetak), dan lain sebagainya.
***
Catatan: Resensi ini merupakan tugas wajib bagi siswa kelas akhir MTs Al-Wathan tahun pelajaran 2017/2018. (MQ).
© 2018 

No comments:

Post a Comment