Saturday, July 7, 2018

ASAL SEHAT WAL AFIAT DAN MASUK SURGA (Sisi Humoristis Ketika Mencapai Titik Jenuh Belajar)


M. Khaliq Shalha


Tak semua murid memiliki multitalenta dalam menguasai banyak mata pelajaran. Matematika bagi satu murid menarik dan mudah dipahami, bagi murid yang lain sungguh menjemukan dan menyebalkan. Demikian juga belajaran bahasa asing, bahasa Arab dan Inggris, misalnya. Dari sekian banyak pelajaran yang menjemukan, matematika lazimnya kurang diminati oleh mayoritas murid. Belajar matematika itu menarik bagi murid yang paham, ringan bagi murid yang tidak mengerti sama sekali, dan berat bagi murid yang tanggung antara mengerti dan tidak. Tipe pertama dan kedua sama-sama dapat disebut paham di luar kepala: tipe pertama mahir betul, dan tipe kedua tak ada bekas sama sekali di kepala, alias bleng.

Diminati atau tidak, matematika tetap wajib diajarkan, karena materi ini masuk pada kurikulum sekolah/madrasah. Di samping itu pula, matematika memiliki peranan fital dalam kehidupan. Konsekuensinya, semua murid wajib mengikuti pelajaran tersebut. Matematika tergolong pengetahuan dasar yang digunakan dalam kehidupan, hampir dalam semua aktivitas. Target minimalnya dalam pembelajaran ini, murid mahir tambahan, kurangan, perkalian dan pembagian. Hal tersebut diajarkan kepada murid sejak di bangku RA. Tingkatan selanjutnya mengembangkan pelajaran dari tingkatan sebelumnya. Dalam pengembangan inilah, titik jenuh mulai dirasakan oleh murid, misalnya pada tingkat MTs dan MA.

Tugas guru matematika—atau mata pelajaran lainnya—bisa menyajikan materi yang bisa memantik murid belajar secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Metode, teknik, dan taktik mengajar perlu dikuasi secara mumpuni. Kesabaran, ketelatenan jangan sampai pudar di benak guru. Kata-kata sarkatisme hendaknya di buang jauh-jauh, seperti goblok, otak udang dan sejenisnya. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah kementokan dan kegalauan murid dalam pengembangan berhitung.

Guru harus tetap fokus memberikan pembelajaran secara efektif. Murid berkewajiban belajar aktif, baik pelajarannya menarik atau menjemukan. Modal utama dan pertama bagi guru adalah mengajar dengan baik, sedangkan bagi murid belajar dengan baik pula. Perkara murid mengerti atau tidak, itu urusan Tuhan. Secara logika, bila guru bisa menyampaikan dengan baik, dan murid menyimak dengan saksama, kemungkinan besar ilmu murid akan bertambah, baik murid dapat menyerap secara sempurna apa yang disampaikan, atau beberapa persennya saja.

Ada nasihat berharga dari KH. Maimun Zubair (lahir 28 Oktober 1928)Pengasuh PP. Al-Anwar, Sarang Rembang Jawa Tengah: “Jadi guru tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridnya tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak menjadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”

“Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji, namun hadirkanlah gambaran bahwa di antara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga.”[1]

Memaksakan kehendak untuk mencekoki mata pelajaran yang nyaris tak bisa di tampung di otak para murid, rupanya tidak bijak juga. Yang penting sudah ada usaha serius, perkara masih mentok, tawakal saja kepada Allah. Barangkali pada bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya murid itu bisa paham. Apa yang pernah didengar, dibaca dan dilihat seseorang, sebenarnya terrekam di memori otaknya. Rekaman itu sewaktu-waktu bisa diputar dalam ingatannya. Ada kemungkinan pula apa yang belum bisa dipahami, pada waktunya nanti menjadi bisa dipahami. Dalam khazanah budaya religi kita, ada keyakinan tentang ilmu yang berkah. Salah satu indikasinya, ilmu yang kita pelajari bisa berkembang di kemudian hari.

Saya punya guru matematika yang bijak sekaligus sabar. Beliau adalah Pak Afifi, asal Prenduan Sumenep. Masih segar dalam ingatan saya waktu saya masih duduk di bangku MAK (Madrasah Aliah Keagamaan) Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, tepatnya kelas dua, bahwa beliau perhatian pada para murid. Salah satu buktinya, ketika teman saya ngantuk bahkan sampai tertidur (sampai fana’, kalau dalam istilah tasawuf), beliau sontak secara tegas menyuruh teman saya tersebut untuk berwudu. Tertidur sama halnya memutuskan komunikasi antara guru dan murid. Tentu merugikan kedua belah pihak. Guru sudah mapan menyampaikan materi, sementara murid tidak bisa menerima apa yang disampaikan, tentu buang-buang energi begitu saja. Sementara murid yang tidur, jelas tidak akan paham pada materi yang disampaikan. Jangankan tidur di kelas, tidak tidur pun belum tentu paham.

Dalam kesempatan yang lain, setelah beliau menyampaikan materi matematika panjang lebar, komplet dengan contoh-contohnya, beliau coba bertanya kepada salah satu murid yang sudah biasa menjadi sasaran pertanyaan yang rada-rada guyon. “Kamu mengerti? Kalau belum mengerti, sudahlah, yang penting sehat wal afiat dan masuk surga.” Kurang lebih begitu kelakar akhir beliau pada salah satu episode pertemuan dalam kegiatan belajar mengajar. Kondisi titik jenuh seperti ini tak menarik kiranya bila ditutup dengan kata-kata marah, meledek dan semacamnya. Lebih baik tawakal kepada Tuhan. Hah!!  Wallah a’lam.

Sumenep, 15 April 2016


[1] http://www.khutbahppsh.com/2015/12/nasehat-dari-syikhunaa-hadlratus-syech.html?m=1Sumber nasihat ini saya peroleh dari situs internet tersebut. Teman-teman facebook banyak mengunggahnya pula. Alangkah lebih berharganya bila kita mendapatkan sumber aslinya. 

No comments:

Post a Comment