Oleh Uswatun Faizah *) |
Semburat senja sudah menghilang sejak beberapa jam yang
lalu. Matahari sudah benar-benar istirahat atau mungkin masih berkelana pada
belahan dunia yang lain. Maklumlah, ia tak mudah berputus asa seperti aku yang
sering kelelahan.
Aku lirik jarum jam paling buntet di pergelangan
tanganku. Sudah menunjuk pada angka 9. Sudah 5 jam rupanya aku menyepi di tempat
paling tak disenangi orang ini. Disebuah gardu reot di pojok tembok jembatan di
atas sungai berair keruh. Tempat yang bagi kebanyakan orang adalah penyakit.
Benar juga sih, sejak 5 jam yang lalu, sudah berapa ratus ekor nyamuk yang
kubunuh. Mereka nyaris semuanya sempurna menghisap darahku dengan kapasitas
penuh perutnya. Tak cukup darahku saja yang menyusut, bahkan betis dan
pergelangan tanganku penuh dengan bentol-bentol sebesar biji kacang ijo. Tempat
yang menyakitkan!
Tapi aku ingin tetap di sini. Aku enggan pulang ke rumah
menemui istri dan anak-anakku. Bukan cinta
yang mulai luntur termakan usia. Tapi aku hanya tidak tahan saja mendengar
omelan-omelan istriku setiap aku pulang kerja. Senyum dan tawa riang anak-anakku
yang mampu untuk tidak menggubris celoteh Istri. Tapi tidak dengan sore ini.
Sepulang kerja dari tempat di mana aku bermesra dengan asa. Teh hangat dan
sapaan ramah, "Mari istirahat segera Pa!" Hanya sebuah hayalan
belaka.
3 bulan terakhir hubunganku dengan istri kurang
membaik. Bukan karena aku tak sehangat dulu, tapi di antara kita yang tak
saling mengerti. Tapi aku tidak mau disalahkan, semua ini lebih berujung pada
kesalahannya. Dia yang mulai tidak mengerti dengan kondisi dan nasib yang
menimpaku. Dia terlalu egois, mungkin sudah menjadi wataknya sejak kecil, lahir
dan dibesarkan di kota besar sehingga tidak mau tahu akan derita yang dialami orang.
Seperti kebanyakan orang-orang kota yang lain. Termasuk pada suaminya
sekalipun!
3 bulan sudah gajiku tidak keluar. Kebutuhan rumah
tangga kian menggunung. Sedang kebutuhan rumah tangga kami hanya berkiblat pada
gajiku yang tak begitu besar jumlahnya. Banjir keringat dari sebuah otot yang
dipaksakan seperti robot. Selama 7 jam setiap hari dalam sebulan hanya
kukantongi gaji senilai Rp2.050.000.
Apalah arti dari rupiah segitu? Sedang kebutuhan kami
begitu meningkat. Anak pertamaku tahun ini duduk di bangku sekolah kelas 7.
Sedang yang bungsu bulan ini hendak memasuki usia genap 4 tahun.
Kebutuhan sehari-hari saja sudah cukup banyak menguras
isi kantong, mulai dari belanja Isi dapur, uang jajan untuk sekolah, uang jajan
anak kami yang masih kecil, belum lagi kalau ada undangan hajatan mendadak dan kebutuhan serba-serbi
yang lain.
Aku berpikir, andai saja sejak menikah aku bawa isteriku
ke desa, mungkin hidup kami tak sesulit ini. Setiap hari hidup bertani,
memelihara itik seperti saudara-saudaraku yang lain. Bila sedang kejepit
seperti sekarang pastilah ada mereka untuk memberikan pinjaman atau sekadar
mencarikan solusi jalan keluar.
Hidup di Jakarta, bagai meniti di atas sebilah bambu.
Yah, jika beruntung bisa sampai di ujung dengan selamat. Jika tidak, entahlah
apa yang akan terjadi.
Ijazah sarjana dari sebuah universitas swasta tidak
mampu membawaku kepada takdir yang lebih baik. Bekerja sebagai karyawan pabrik milik
warga asing hanya menyisakan luka yang mendalam. Oh Tuhan, apa yang hendak aku
perbuat. Jika hari ini saja aku sudah menjadi budak di negeri sendiri?!
Aku mengambil napas dalam-dalam. 2 hari lagi adalah
hari terakhir pembayaran SPP anakku yang
pertama. Satu hari setelahnya, tiba tagihan listrik dan air. Belum lagi minggu
depan istriku merencanakan pesta perayaan ulang tahun yang ke-4 anak kita yang bungsu. Meskipun sebenarnya
aku kurang setuju dengan rencana itu, apa sih sebenarnya makna dari perayaan
itu. Bernyanyi bersama, tiup lilin, pemotongan kue, gelar tawa bebas, acara
makan-makan, atau yang lain? Entahlah, istriku tidak berpihak padaku yang berusaha
berhemat atas segala pengeluaran.
Suasana semakin hening, jam sudah menunjukkan pukul 22.45 waktu Indonesia bagian barat.
Tapi tidak ada jerit dari handphone-ku sekali saja. Atau seseorang yang
memanggilku dari kejauhan. Memang sudah benar rupanya, istriku lebih sibuk
mengurusi agendanya sendiri daripada sekadar mengirimkan pesan singkat untuk suaminya
yang sedang tidak ada di rumah.
Aku mengerti sekarang, mengapa dahulu ibu ingin sekali
menjodohkan aku dengan Latifa, putri guru ngaji kami di kampung.
***
Serang, 04 Februari 2017
_____________
*) Penulis adalah alumni MTs Al-Wathan tahun 2012.
Cerpen ini ditulis sepenuh hati ketika di perantauan, di Serang Banten.
No comments:
Post a Comment