Sunday, July 22, 2018

LUKA DALAM

Oleh Uswatun Faizah *)
Semburat senja sudah menghilang sejak beberapa jam yang lalu. Matahari sudah benar-benar istirahat atau mungkin masih berkelana pada belahan dunia yang lain. Maklumlah, ia tak mudah berputus asa seperti aku yang sering kelelahan.

Aku lirik jarum jam paling buntet di pergelangan tanganku. Sudah menunjuk pada angka 9. Sudah 5 jam rupanya aku menyepi di tempat paling tak disenangi orang ini. Disebuah gardu reot di pojok tembok jembatan di atas sungai berair keruh. Tempat yang bagi kebanyakan orang adalah penyakit. Benar juga sih, sejak 5 jam yang lalu, sudah berapa ratus ekor nyamuk yang kubunuh. Mereka nyaris semuanya sempurna menghisap darahku dengan kapasitas penuh perutnya. Tak cukup darahku saja yang menyusut, bahkan betis dan pergelangan tanganku penuh dengan bentol-bentol sebesar biji kacang ijo. Tempat yang menyakitkan!

Tapi aku ingin tetap di sini. Aku enggan pulang ke rumah menemui istri dan anak-anakku. Bukan  cinta yang mulai luntur termakan usia. Tapi aku hanya tidak tahan saja mendengar omelan-omelan istriku setiap aku pulang kerja. Senyum dan tawa riang anak-anakku yang mampu untuk tidak menggubris celoteh Istri. Tapi tidak dengan sore ini. Sepulang kerja dari tempat di mana aku bermesra dengan asa. Teh hangat dan sapaan ramah, "Mari istirahat segera Pa!" Hanya sebuah hayalan belaka.

3 bulan terakhir hubunganku dengan istri kurang membaik. Bukan karena aku tak sehangat dulu, tapi di antara kita yang tak saling mengerti. Tapi aku tidak mau disalahkan, semua ini lebih berujung pada kesalahannya. Dia yang mulai tidak mengerti dengan kondisi dan nasib yang menimpaku. Dia terlalu egois, mungkin sudah menjadi wataknya sejak kecil, lahir dan dibesarkan di kota besar sehingga tidak mau tahu akan derita yang dialami orang. Seperti kebanyakan orang-orang kota yang lain. Termasuk pada suaminya sekalipun!

3 bulan sudah gajiku tidak keluar. Kebutuhan rumah tangga kian menggunung. Sedang kebutuhan rumah tangga kami hanya berkiblat pada gajiku yang tak begitu besar jumlahnya. Banjir keringat dari sebuah otot yang dipaksakan seperti robot. Selama 7 jam setiap hari dalam sebulan hanya kukantongi gaji senilai Rp2.050.000.

Apalah arti dari rupiah segitu? Sedang kebutuhan kami begitu meningkat. Anak pertamaku tahun ini duduk di bangku sekolah kelas 7. Sedang yang bungsu bulan ini hendak memasuki usia genap 4 tahun.

Kebutuhan sehari-hari saja sudah cukup banyak menguras isi kantong, mulai dari belanja Isi dapur, uang jajan untuk sekolah, uang jajan anak kami yang masih kecil, belum lagi kalau ada  undangan hajatan mendadak dan kebutuhan serba-serbi yang lain.


Aku berpikir, andai saja sejak menikah aku bawa isteriku ke desa, mungkin hidup kami tak sesulit ini. Setiap hari hidup bertani, memelihara itik seperti saudara-saudaraku yang lain. Bila sedang kejepit seperti sekarang pastilah ada mereka untuk memberikan pinjaman atau sekadar mencarikan solusi jalan keluar.

Hidup di Jakarta, bagai meniti di atas sebilah bambu. Yah, jika beruntung bisa sampai di ujung dengan selamat. Jika tidak, entahlah apa yang akan terjadi.

Ijazah sarjana dari sebuah universitas swasta tidak mampu membawaku kepada takdir yang lebih baik. Bekerja sebagai karyawan pabrik milik warga asing hanya menyisakan luka yang mendalam. Oh Tuhan, apa yang hendak aku perbuat. Jika hari ini saja aku sudah menjadi budak di negeri sendiri?!

Aku mengambil napas dalam-dalam. 2 hari lagi adalah hari terakhir pembayaran SPP anakku  yang pertama. Satu hari setelahnya, tiba tagihan listrik dan air. Belum lagi minggu depan istriku merencanakan pesta perayaan ulang tahun yang  ke-4 anak kita yang bungsu. Meskipun sebenarnya aku kurang setuju dengan rencana itu, apa sih sebenarnya makna dari perayaan itu. Bernyanyi bersama, tiup lilin, pemotongan kue, gelar tawa bebas, acara makan-makan, atau yang lain? Entahlah, istriku tidak berpihak padaku yang berusaha berhemat atas segala pengeluaran.

Suasana semakin hening, jam sudah menunjukkan  pukul 22.45 waktu Indonesia bagian barat. Tapi tidak ada jerit dari handphone-ku sekali saja. Atau seseorang yang memanggilku dari kejauhan. Memang sudah benar rupanya, istriku lebih sibuk mengurusi agendanya sendiri daripada sekadar mengirimkan pesan singkat untuk suaminya yang sedang tidak ada di rumah.

Aku mengerti sekarang, mengapa dahulu ibu ingin sekali menjodohkan aku dengan Latifa, putri guru ngaji kami di kampung.
***
Serang, 04 Februari 2017
_____________
*) Penulis adalah alumni MTs Al-Wathan tahun 2012. Cerpen ini ditulis sepenuh hati ketika di perantauan, di Serang Banten.

No comments:

Post a Comment