Saturday, July 7, 2018

MERINTIS PERPUSTAKAAN MADRASAH

Perpustakaan MTs Al-Wathan 2018

M. Khaliq Shalha


A.    PENDAHULUAN
Merintis dan mengembangkan perpustakaan madrasah sangat mudah dan murah apabila didasarkan pada keinginan tulus, tidak setengah hati, tidak asal ada dan jadi. Sangat tergantung pada personal orang yang punya hak untuk mengelolanya. Apakah dia punya minat tinggi untuk menyediakan media belajar yang murah meriah serta menyenangkan pada anak didik, atau tidak begitu punya gairah? Tipe pertama sangat menjanjikan, dan tipe kedua tidak banyak bisa diharapkah. Bahkan saya yakin perjalanan perpustakaan nanti tidak begitu hidup dan tidak begitu mati, la yamutu wa la yahya.
Terkait dengan hal tipe pengelola perpustakaan madrasah, kepala madrasah perlu selektif dan tepat mengangkat pengelola perpustakaan, karena sebagai penentu nasib perpustakaan ke depan. Bernasib baik atau buruk.
Merintis perpustakaan jangan sampai dibayang-bayangi oleh minimnya penguasaan teori untuk mengelolnya. Teori memang penting, tapi keinginan kuat untuk memajukan perpustakaan jauh lebih penting. Bermodalkan keinginan kuat, langkah-langkah yang akan ditempuh akan tergambar lebar dalam pikiran kita. Inspirasi (ilham)  akan mengalir deras.
Dalam kesempatan ini, saya akan berbagi pengalaman pada Anda mengenai pengelolaan perpustakaan yang sudah saya jalani sejak tahun 2005 sampai sekarang. Mengapa saya berminat mengelola perpustakaan madrasah? Karena perpustakaan sangat menentukan terhadap perkembangan dan keluasan wawasan anak didik sejak dini. Perpustakaan adalah ajang pameran intelektual yang sangat mungkin menggugah kesadaran anak didik untuk punya minat baca.
Di samping itu, saya punya alasan pribadi mengapa saya sangat antusias mengembangkan perpustakaan. Bermula dari sebuah kekecewaan. Saya pernah kecewa pada diri saya karena sangat minim pengetahuan pada macam-macam buku, khususnya buku monumintal yang sering dijadikan rujukan di madrasah, misalnya dalam pelajaran bahasa Indonesia. Suatu contoh, buku fiksi karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Derwijck. Waktu saya mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah, ketika belajaran bahasa Indonesia, guru saya menjelaskan karya sastra yang contohnya buku itu. Teman-teman saya begitu mengenal dan mahir dengan isi buku itu, baik pemerennya, alur ceritanya, dan endingnya. Mungkin hanya saya sendiri yang geleng-geleng kepala, jangankan isi buku, kulitnya saja saya tidak pernah tahu. Andai keadaan saya diketahui oleh guru balaghah saya, mungkin beliau akan heran dan mengatakan, “Subhanallah ya walad!”
Saya tidak lantas menyalahkan orangtua, guru bahasa Indonesia, dan madrasah tsanawiyah tempat saya belajar sebelumnya. Persoalan ini saya sadari sebagai suatu keterbatasan di mana saya dibesarkan, dan selanjutnya menjadi tanggung jawab saya untuk ikut membenahinya di kemudian hari. Saya punya keinginan untuk mengubah keadaan generasi berikutnya. Anak didik saya jangan sampai picik seperti saya tentang literasi. Keinginan itu pada akhirnya bertemu dengan kesempatan.
Sekitar tahun 2005, teman seperjuangan saya, Durhan Ariev menggagas perpustakaan madrasah tempat saya belajar dulu dan tempat saya mengajar kini. Dengan modal sekitar Rp325.000,00 (tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah), memperoleh beberapa buku, tak berat bila dijinjing. Berupa cerita Abu Nawas dan sejenisnya. Masih baru, diletakkan di lemari karbot. Melihat buku-buku baru itu, saya merasa terpanggil untuk berpartisipasi mengelolanya. Saya izin dulu kepada beliau, lalu ia mempersilakan saya untuk mengelolanya.
Dalam pengelolaan buku perpustakaan, ada ketentuan yang harus dipenuhi menurut ilmu perpustakaan, seperti nomor klasifikasi buku berdasarkan jenisnya. Misalnya jenis buku filsafat, agama, sosial, bahasa dan lain-lain. Dengan demikian, saya harus pandai mencari tahu tentang standar itu. Saya datangi pengurus perpustakaan pondok pesantren tempat saya menimba ilmu. Panjang lebar dia menjelaskan. Bila ingin lebih jelas lagi, ia menyuruh saya bertanya ke perpustakaan umum daerah kabupaten, karena dia memperoleh ilmu itu dari perpustakaan umum. Saran tersebut memantik saya untuk datang. Berkali-kali saya datang ke perpustakaan umum menimba ilmu tentang cara mengelola perpustakaan. Intinya, saya mengelola perpustakaan madrasah modal awalnya adalah semangat, bukan teori, lalu ditindaklanjuti dengan pendalaman tata cara pengelolaannya secara standar.

B.     LANGKAH-LANGKAH MERINTIS PERPUSTAKAAN MADRASAH
1.      Ruangan Perpustakaan
Modal awal yang harus ada adalah ruangan perpustakaan. Sebelum ruangan ada, sebaiknya jangan menggarap kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kondisi ruangan disesuaikan dengan kemampuan madrasah. Bila memungkinkan sebaiknya membuat ruangan yang kondusif. Tempat rak cukup dan ruang baca juga cukup. Penting pula dipertimbangkan ruangan tersebut aman dari berbagai hal, seperti kebocoran, tak terjangkau rayap, dan aman dari orang yang tidak berkepentingan. Ruangan perpustakaan adalah tempat khusus yang tidak boleh sembarang orang masuk ke dalamnya.

2.      Rak Buku
Rak buku (lemari) adalah kebutuhan kedua setelah ruangan. Minimal rak yang dibuat kuat menahan beban buku yang lumayan berat. Rak bisa dari kayu atau rangkaian dari besi siku. Orang toko menyebutnya, rak siku.
Di perpustakaan yang saya kelola sudah punya empat buah rak. Tiga rak berbahan kayu dan satu rak terbaru, tahun 2014, menggunakan rak siku. Ternyata rak siku lebih murah biayanya ketimbang rak kayu dan penampilannya modis juga. Rak siku dijual di toko bangunan berupa batangan. Ukuran perbatangnya tiga meter. Bisa dipotong-potong sesuai keinginan dan kebutuhan. Praktis.

3.      Koleksi Buku
Buku apa yang seharusnya dikoleksi oleh perpustakaan madrasah agar bisa menarik minat baca siswa? Sesuaikan dengan tingkatan madrasahnya; MI, MTs atau MA. Jenis buku yang dikoleksi tidak lepas dari dua jenis; fiksi dan nonfiksi. Dari dua jenis ini banyak ragam yang bisa dikoleksi. Pengelola perpustakaan harus pandai membaca selera siswa dan harus pandai pula memancing minat baca.
Koleksi buku perpustakaan mencakup buku-buku pelajaran dan bukan buku pelajaran. Menurut saya, prosentasinya 25 % buku pelajaran, 75 % bukan buku pelajaran. Buku pelajaran secukupnya saja, tapi buku bukan pelajaran harus lebih mendominasi. Koleksi buku perpustakaan bila dimonopoli dengan buku pelajaran bisa dipastikan tidak akan menarik minat baca siswa. Siswa sudah jenuh dengan buku pelajaran di dalam kelas. Koleksi buku perpustakaan yang bukan buku pelajaran akan memberikan motivasi kepada siswa untuk membacanya sehingga nuansanya rekreatif, mengusir rasa jenuh siswa. Bahkan di perpustakaan di madrasah saya koleksi buku pelajaran sekitar 10 % saja.
Pengelola perpustakaan harus peka menyiasati kebosanan siswa terhadap koleksi buku yang ada. Caranya adalah selalu menambah koleksi buku terbaru, khususnya buku-buku best seller. Pihak pengelola dituntut untuk kaya informasi tentang perkembangan buku terbaru.

4.      Sumber Dana
Banyak jalan untuk memperoleh asupan dana. Pengelola perpustakaan dituntut peka membaca berbagai macam potensi sumber dana. Di antaranya dari anggaran madrasah yang sudah disusun dalam RAPBM (Rencana Anggaran dan Pendapatan Madrasah), alumni, dermawan, sumbangan sukarela siswa dan sumber dana lainnya.
Menurut pengalaman saya, banyak cara yang saya lakukan dan berjalan lancar. Pertama, dari anggaran madrasah sekitar Rp500.000,00 tiap tahun.
Kedua, dari dermawan. Saya mengajukan permohonan tiap tahun kepada mantan gubernur Jawa Timur, Bapak Mohammad Noor. Beliau sangat dermawan. Perpustakaan saya pernah diberi Rp300.000,00, Rp500.000,00 dan Rp1.000.000,00. Beliau sekarang sudah wafat. Semoga pahala amal jariah beliau tetap mengalir deras ke alam kubur sana. Berkat kedermawanan beliau para tunas bangsa (siswa) bisa membaca buku.
Ketiga, dari kelas akhir. Di lembaga saya sudah diagendakan bahwa setiap kelas akhir yang akan menyudahi studinya mereka diwajibkan memberikan kenang-kenangan pada lembaga. Biasanya merupa uang tunai yang dialokasikan salah satunya untuk pembelian buku perpustakaan dan penambahan rak buku. Setiap akhir tahun pelajaran dana terkumpul hampir dua juta.
Keempat, sumbangan sukarela dari siswa. Setiap akan membeli buku, saya informasikan dulu pada siswa di setiap kelas. Mereka dihimbau untuk bisa dermawan dengan menyumbangkan sebagian uang sakunya untuk pembelian buku baru. Selang tiga hari dari pemberangkatan, mereka sudah dihimbau untuk menyumbangkan uang yang dikumpulkan kepada ketua kelasnya. Biasanya yang terkumpul hampir seratus lima puluh ribu. Dengan cara ini sebenarnya juga mendidik siswa untuk bersikap dermawan menurut kemampuan dan keikhlasannya. Dan, bisa mengaktivasi minat baca mereka karena merasa punya ikut adil di dalamnya.
Kelima, uang kas perpustakaan yang diperoleh dari penjualan kartu perpustakaan. Harga awal kartu perpustakaan Rp1.000,00 dan untuk sekarang Rp2.000,00. Harga BBM naik, minat baca siswa makin meningkat maka harga kartu juga dinaikkan. Untuk siswa baru di awal-awal tahun pelajaran, kartu digratiskan sebagai promosi. Setelah terisi semua kartunya, siswa harus membelinya.
Kelima, masih sebatas rencana, pengumpulan dana dari alumni. Apabila ini terlaksana maka sangat prospek untuk sumplai dana tidak akan kesulitan. Cara ini bisa dilakukan tiap tahun sekali. Rencana ini  masih belum terlaknana karena berbagai kendala. Semoga selanjutkan akan bisa dilaksanakan.
Seterusnya, sumber dana lain yang tidak mengikat kadang bisa diperoleh. Sepengalama saya, penghimpunan dana selalu digampangkan oleh Allah SWT. Setiap rencana pembelian buku baru selalu ada jalan untuk memperoleh pundi-pundi rupiah.

5.      Cara Mendapatkan Buku
Banyak cara juga untuk mendapatkan buku. Bisa dengan cara membeli, hibah dari penerbit juga perorangan atau pemerintah.
Ada banyak cara yang sudah saya lakukan. Pertama, membeli di tempat yang murah dengan buku-buku berkualitas. Taruhlah berstandar SNI yang diterbitkan oleh penerbit profesional. Perpustakaan yang saya tangani minim dana, maka menuntut saya untuk punya prinsip ekonomi, yaitu dengan modal sedikit tapi mendapatkan buku banyak yang berkualitas. Berbagai usaha saya tempuh. Hampir setiap toko buku di dua kebupaten terdekat saya kunjungi untuk mengetahui perbandingan harga. Toko buku tetaplah harga toko. Saya coba membeli lima ratus ribu, hanya memperoleh beberapa buku, ditenteng tidak berat. Saya belum habis pikir, bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan buku murah.
Mendengar informasi dari salah seorang teman bahwa di Jogjakarta dijual buku murah dalam momen bazar buku yang sering digelar oleh perkumpulan penerbit dan agen. Pada waktu saya masih di pesantren, tahun 2006, teman-teman saya bilang bahwa akan pergi ke Jogjakarta, ke bazar buku dan mau potokopi buku referensi. Di Jogjakarta kan kualitas potokopi sangat bagus, persis terbitan aslinya, murah lagi. Mendengan kabar itu, saya mau pesan buku murah kepadanya. Waktu itu perpustakaan punya uang Rp300.000,00 bantuan dari Bapak Mohammad Noor. Tapi teman saya tidak mau dengan alasan tidak kuat membawanya karena akan membeli banyak buku, dan sudah pesan beberapa set buku potokopi berupa tafsir Al-Mishbah 15 jilid karya M. Quraish Shihab, ulama tafsir Indonesia. Teman saya menyarankan agar saya ikut ke Jogjakarta saja. Saya pikir-pikir sampai agak lama. Dapat dari mana biaya transportasi dan makan? Uang tiga ratus ribu hanya untuk dibelikan buku, selebihnya saya tidak punya. Untungnya teman saya bermurah hati memberikan talangan, ongkos kendaraan, uang makan dan bahkan kalau mau membeli oleh-oleh dia siap meminjamkan uang. Bayarnya ketemu setelah datang dari Jogja. Dengan tidak begitu rasional saya mengiyakan, sambil kurang begitu percaya pada kemampuan saya nanti. Dapat dari mana saya uang untuk bayar hutang. Berkat kemauan tinggi untuk kemajuan umat, perjalanan saya berjalan lancar, tanpa hambatan. Lumayan, sebagai orang desa bisa tahu kota pendidikan dan budaya, Jogjakarta. Kedua kalinya saya berkunjung ke Jogja tahun 2008 dalam momen Islamic Book Fair. Sudah bisa mandiri dan bisa mengajak teman pengurus perpustakaan yang lain.
Harga buku di bazar dua variasi; harga obral dari Rp2.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00 dan seterusnya, dan ada juga harga diskon. Strategi yang saya gunakan setelah sampai di lokasi, melihat semua harga yang dipajang di setiap stand. Setelah diketahui lokasi dengan harga termurah, baru saya melakukan aksi pembelian. Luar biasa senangnya mendapatkan buku-buku murah yang masih gres dan bersegel. Sepertinya benakku mengatakan, “Selamat tinggal toko-toko buku dengan harga mahalnya.”
Perjalanan ke Jogja lumayan jauh. Dengan membawa beban berat butuh mental dan tenaga yang kuat. Saya berpikir, adakah di tempat lain yang dekat dari rumah digelar bazar buku yang harganya sama dengan di Jojga? Tahun 2010 waktu saya ke rumah paman di Malang bersama teman, teman saya mendapat SMS dari temannya bahwa kalau ada di Malang sempatkan ke bazar buku di aula Skodam, dekat balai kota Malang, di sana sedang digelar Islamic Book Fair. Kala itu saya sempatkan mampir ke bazar itu dengan membeli banyak buku. Harganya persis dengan di Jogja. Harga obral mulai dari Rp5.000,00. Para penjual buku di acara ini memang banyak yang datang dari Jogja.
Pagelaran bazar di Malang diselenggarakan dua kali atau tiga kali setahun. Pagelaran bazar di Malang bisa dikatakan rutin ada dan selalu besar, bahkan terbesar dan tersering di Jawa Timur. Mengingat obset yang diperoleh dari bazar itu katanya tertinggi, mengungguli Surabaya. Biasanya akhir Novermber ke awal Desember, bulan Mei atau April, kadang bulan Juli ada juga. Untuk mengetahui informasinya, cukup Anda buka internet sekitar bulan-bulan itu.
Setalah akrab dengan informasi bazar buku di Malang, Islamic Book Fair Malang menjadi langganan saya untuk mendapatkan buku murah meriah dan berkualitas. Kesempatan ini saya gunakan juga untuk memotivasi pustakawan dengan mengajak salah satu karyawan secara bergiliran agar bisa menyegarkan pikiran ke kota dingin Malang dan bisa menggugah kegemarannya pada dunia buku ketika melihat hamparan bazar digelar.
Tempat buku murah selain di Malang, ada juga di Surabaya, tapatnya di Kampung Ilmu jalan Semarang. Buku-buku novel best seller banyak dengan harga murah ketimbang toko buku biasa. Di samping itu, buku komek sangat murah, pereksemplarnya Rp2.000,00. Tapi buku-bukunya banyak terbitan lama. Buku lama dan bekas relatif memonopoli.
Selain dengan cara membeli, bisa juga mendapatkan buku dengan mengajukan permohonan ke penertbit. Tapi agak sulit meraihnya, kecuali ada program khusus dari penertbit. Saya banyak mengirimkan permohonan. Satu kali mendapat balasan sekadar mohon maaf tidak bisa membantu, yang lainnya tidak ada tanggapan. Selain meminta ke penerbit, bisa menghubungi teman-teman yang berkompeten di bidang literasi. Saya pernah satu kali dikirimi teman di Jogjakarta.

6.      Mengelola Buku
Setelah buku didapat, langkah selanjutnya mengelolanya sebelum diluncurkan ke perpustakaan. Agar buku awet, disteples terlebih dahulu, dilabel, disampul, distempel halaman depan-tengah-belakang, diregister ke buku inventaris agar jumlah buku yang ada diketahui, lalu siap diluncurkan ke perpustakaan.

7.      Peraturan Peminjaman
Pengelola perpustakaan harus membuat peraturan yang mengikat pada setiap pihak yang akan meminjam buku, baik siswa atau guru. Peraturan dimaksud memberikan kepastian kepada peminjam tentang kewajiban-kewajibannya. Dari alokasi waktu pinjamnya, misalnya siswa diberi waktu meminjam dua hari satu buku dan boleh diperpanjang dengan melapor ke pustakawan. Guru diberi alokasi waktu satu minggu. Peraturan ini harus dijalankan secara disiplin agar sirkulasi buku lancar dan antisipasi agar buku tidak hilang.
Penegakan aturan pada siswa jauh lebih mudah ketimbang pada guru. Buku rawan hilang apabila dipinjam guru, karena guru merasa lebih punya kuasa untuk meminjam tanpa mengindahkan peraturan. Akhirnya koleksi buku perpustakaan makin lama makin surut, tidak diketahui di mana rimbanya. Kebiasaan buruk ini harus dimusnahkan. Kepala perpustakaan selaku pemegang hak preoregatif sebagai penentu maju-mundurnya perpustakaan harus memberlakukan peraturan tanpa tebang pilih, baik untuk siswa atau guru. Pengalaman saya, penegakan peraturan kepada semua pihak bisa berjalan lancar.

8.      Kegiatan Penunjang
Kegiatan perpustakaan bukan hanya sebatas meminjamkan buku, tapi harus lebih jauh dari itu. Di samping kegiatan pokoknya meminjamkan buku, kegiatan perpustakaan juga harus bervariasi untuk menunjang tercapainya tujuan perpustakaan. Di antara kegiatan penunjang yang dapat dilakukan misalnya, diadakan lomba resensi tiap akhir semester, diskusi buku yang populer dengan sebutan bedah buku, kerja sama dengan guru terkait agar guru yang bersangkutan memberikan tugas kepada siswa dengan mencari referensi di perpustakaan.
Di samping itu pula, setelah kesadaran siswa terbangun tentang pentingnya membaca dan minat baca siswa sudah menjadi kebiasaan, langkah selanjutnya adalah memfasilitasi siswa untuk belajar menulis. Cara yang bisa digunakan misalnya, siswa disuruh mencatat pada buku khusus setiap hal penting dari buku yang mereka baca, lalu menambahkan dengan gagasan pribadi terhadap apa yang mereka catat. Kegiatan ini bila bisa bertahan lama akan lebih mudah bagi siswa untuk membuat suatu karangan dengan ide-ide yang sudah mulai tumbuh dari hasil membaca dan penguasaan bahasa yang semakin mapan. Dalam kondisi seperti ini, perpustakaan bukan sekadar penyedia bahan bacaan untuk menggugah minat baca siswa, tapi juga mengkader para penulis masa depan.

9.      Promosi Perpustakaan
Pengelola perpustakaan dituntut untuk kreatif, inovatif dan motivatif untuk menjalankan kegiatan perpustakaan. Indikasi utama suksesnya perpustakaan apabila minat baca tumbuh pesat. Menumbuhkan minat baca perlu stategi, metode, teknis dan taktik yang semua itu saya istilahkan dengan ajang promosi. Membuat gerakan dan gebrakan agar siswa punya minat untuk membaca. Di antara usaha yang bisa dilakukan adalah menata ruang perpustakaan menjadi menarik, selalu ditambah koleksi buku baru yang bisa menarik selera siswa, membuat informasi sensasi seputar perpustakaan; bisa lewat papan info, corong madrasah atau lewat jejaring sosial, penobatan siswa terajin meminjam buku tiap tengah semester dan akhir semester dengan kemasan acara misalnya penobatan putra-puri buku dengan hadiah beasiswa dan hadiah menarik lainnya, dan lain-lain.
Istilah “putra buku” dan “putri buku” saya gunakan sebagai ganti dari “kutu buku”, karena istilah ini sepertinya kurang bersahabat dan kurang apresiatif terhadap predikit yang mulia ini. Ibarat pria diumpamakan denga “kumbang”. Kumbang kan tidak menawan. Sedangkan wanita diumpamakan dengan “bunga”, sangat indah. Laki-laki lebih menarik bila diibaratkan kupu-kupu saja ketimbag kumbang.
Promosi perpustakaan sangat dibutuhkan untuk mengekspos sisi menariknya pada siswa sehingga tanda-tanda kehidupan perpustakaan tersebut dikenal akrab, akhirnya bisa memantik mereka berminat untuk membaca.

C.    PENUTUP
Merintis perpustakaan madrasah sangat mudah dan murah, bila sudah punya modal keinginan kuat untuk mengelolanya. Keinginan kuat sungguh tak bisa ditukar dengan materi berlimpah. Bermodalkan materi semata, tidak akan berjalan kondusif. Pada akhirnya akan terseok-seok. Perpustakaan sekadar ada. Sungguh ironis. Padahal peranan perpustakaan sangat vital dalam mengembangkan wawasan siswa secara mumpuni.
Paparan di atas lebih pada berbagi pengalaman saya dalam mengelola perpustakaan madrasah sejak 2005 sampai sekarang. Dengan modal materi yang pas-pasan, tapi masih tetap eksis bisa berjalan dengan lancar berkat adanya kesungguhan. Data terakhir yang tercatat dalam buku inventaris, perpustakaan madrasah yang saya kelola sudah memiliki buku sebanyak 1342 eksemplar dan 4 rak buku.
Bagi Anda yang ingin merintis perpustakaan madrasah atau mengembangkannya, bila ada masalah bisa tukar pengalaman dengan saya.  
Wallah a’lam.   
*****

No comments:

Post a Comment