Perpustakaan MTs Al-Wathan 2018 |
M. Khaliq Shalha
A. PENDAHULUAN
Merintis dan
mengembangkan perpustakaan madrasah sangat mudah dan murah apabila didasarkan
pada keinginan tulus, tidak setengah hati, tidak asal ada dan jadi. Sangat
tergantung pada personal orang yang punya hak untuk mengelolanya. Apakah dia
punya minat tinggi untuk menyediakan media belajar yang murah meriah serta
menyenangkan pada anak didik, atau tidak begitu punya gairah? Tipe pertama
sangat menjanjikan, dan tipe kedua tidak banyak bisa diharapkah. Bahkan saya
yakin perjalanan perpustakaan nanti tidak begitu hidup dan tidak begitu
mati, la yamutu wa la yahya.
Terkait dengan hal
tipe pengelola perpustakaan madrasah, kepala madrasah perlu selektif dan tepat
mengangkat pengelola perpustakaan, karena sebagai penentu nasib perpustakaan ke
depan. Bernasib baik atau buruk.
Merintis perpustakaan
jangan sampai dibayang-bayangi oleh minimnya penguasaan teori untuk
mengelolnya. Teori memang penting, tapi keinginan kuat untuk memajukan perpustakaan
jauh lebih penting. Bermodalkan keinginan kuat, langkah-langkah yang akan
ditempuh akan tergambar lebar dalam pikiran kita. Inspirasi (ilham) akan
mengalir deras.
Dalam kesempatan ini,
saya akan berbagi pengalaman pada Anda mengenai pengelolaan perpustakaan yang
sudah saya jalani sejak tahun 2005 sampai sekarang. Mengapa saya berminat
mengelola perpustakaan madrasah? Karena perpustakaan sangat menentukan terhadap
perkembangan dan keluasan wawasan anak didik sejak dini. Perpustakaan adalah
ajang pameran intelektual yang sangat mungkin menggugah kesadaran anak didik
untuk punya minat baca.
Di samping itu, saya
punya alasan pribadi mengapa saya sangat antusias mengembangkan perpustakaan.
Bermula dari sebuah kekecewaan. Saya pernah kecewa pada diri saya karena sangat
minim pengetahuan pada macam-macam buku, khususnya buku monumintal yang sering
dijadikan rujukan di madrasah, misalnya dalam pelajaran bahasa Indonesia. Suatu
contoh, buku fiksi karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Derwijck. Waktu
saya mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah, ketika belajaran bahasa
Indonesia, guru saya menjelaskan karya sastra yang contohnya buku itu.
Teman-teman saya begitu mengenal dan mahir dengan isi buku itu, baik
pemerennya, alur ceritanya, dan endingnya. Mungkin hanya saya sendiri yang
geleng-geleng kepala, jangankan isi buku, kulitnya saja saya tidak pernah tahu.
Andai keadaan saya diketahui oleh guru balaghah saya, mungkin beliau akan heran
dan mengatakan, “Subhanallah ya walad!”
Saya tidak lantas
menyalahkan orangtua, guru bahasa Indonesia, dan madrasah tsanawiyah tempat
saya belajar sebelumnya. Persoalan ini saya sadari sebagai suatu keterbatasan
di mana saya dibesarkan, dan selanjutnya menjadi tanggung jawab saya untuk ikut
membenahinya di kemudian hari. Saya punya keinginan untuk mengubah keadaan
generasi berikutnya. Anak didik saya jangan sampai picik seperti saya tentang
literasi. Keinginan itu pada akhirnya bertemu dengan kesempatan.
Sekitar tahun 2005,
teman seperjuangan saya, Durhan Ariev menggagas perpustakaan madrasah tempat
saya belajar dulu dan tempat saya mengajar kini. Dengan modal sekitar
Rp325.000,00 (tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah), memperoleh
beberapa buku, tak berat bila dijinjing. Berupa cerita Abu Nawas dan
sejenisnya. Masih baru, diletakkan di lemari karbot. Melihat buku-buku baru
itu, saya merasa terpanggil untuk berpartisipasi mengelolanya. Saya izin dulu
kepada beliau, lalu ia mempersilakan saya untuk mengelolanya.
Dalam pengelolaan buku
perpustakaan, ada ketentuan yang harus dipenuhi menurut ilmu perpustakaan,
seperti nomor klasifikasi buku berdasarkan jenisnya. Misalnya jenis buku
filsafat, agama, sosial, bahasa dan lain-lain. Dengan demikian, saya harus
pandai mencari tahu tentang standar itu. Saya datangi pengurus perpustakaan
pondok pesantren tempat saya menimba ilmu. Panjang lebar dia menjelaskan. Bila
ingin lebih jelas lagi, ia menyuruh saya bertanya ke perpustakaan umum daerah
kabupaten, karena dia memperoleh ilmu itu dari perpustakaan umum. Saran
tersebut memantik saya untuk datang. Berkali-kali saya datang ke perpustakaan
umum menimba ilmu tentang cara mengelola perpustakaan. Intinya, saya mengelola
perpustakaan madrasah modal awalnya adalah semangat, bukan teori, lalu
ditindaklanjuti dengan pendalaman tata cara pengelolaannya secara standar.
B. LANGKAH-LANGKAH
MERINTIS PERPUSTAKAAN MADRASAH
1. Ruangan Perpustakaan
Modal awal yang harus
ada adalah ruangan perpustakaan. Sebelum ruangan ada, sebaiknya jangan
menggarap kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kondisi ruangan disesuaikan dengan
kemampuan madrasah. Bila memungkinkan sebaiknya membuat ruangan yang kondusif.
Tempat rak cukup dan ruang baca juga cukup. Penting pula dipertimbangkan
ruangan tersebut aman dari berbagai hal, seperti kebocoran, tak terjangkau
rayap, dan aman dari orang yang tidak berkepentingan. Ruangan perpustakaan
adalah tempat khusus yang tidak boleh sembarang orang masuk ke dalamnya.
2. Rak Buku
Rak buku (lemari)
adalah kebutuhan kedua setelah ruangan. Minimal rak yang dibuat kuat menahan
beban buku yang lumayan berat. Rak bisa dari kayu atau rangkaian dari besi
siku. Orang toko menyebutnya, rak siku.
Di perpustakaan yang
saya kelola sudah punya empat buah rak. Tiga rak berbahan kayu dan satu rak
terbaru, tahun 2014, menggunakan rak siku. Ternyata rak siku lebih murah
biayanya ketimbang rak kayu dan penampilannya modis juga. Rak siku dijual di
toko bangunan berupa batangan. Ukuran perbatangnya tiga meter. Bisa
dipotong-potong sesuai keinginan dan kebutuhan. Praktis.
3. Koleksi Buku
Buku apa yang seharusnya
dikoleksi oleh perpustakaan madrasah agar bisa menarik minat baca siswa?
Sesuaikan dengan tingkatan madrasahnya; MI, MTs atau MA. Jenis buku yang
dikoleksi tidak lepas dari dua jenis; fiksi dan nonfiksi. Dari dua jenis ini
banyak ragam yang bisa dikoleksi. Pengelola perpustakaan harus pandai membaca
selera siswa dan harus pandai pula memancing minat baca.
Koleksi buku
perpustakaan mencakup buku-buku pelajaran dan bukan buku pelajaran. Menurut
saya, prosentasinya 25 % buku pelajaran, 75 % bukan buku pelajaran. Buku
pelajaran secukupnya saja, tapi buku bukan pelajaran harus lebih mendominasi.
Koleksi buku perpustakaan bila dimonopoli dengan buku pelajaran bisa dipastikan
tidak akan menarik minat baca siswa. Siswa sudah jenuh dengan buku pelajaran di
dalam kelas. Koleksi buku perpustakaan yang bukan buku pelajaran akan
memberikan motivasi kepada siswa untuk membacanya sehingga nuansanya rekreatif,
mengusir rasa jenuh siswa. Bahkan di perpustakaan di madrasah saya koleksi buku
pelajaran sekitar 10 % saja.
Pengelola perpustakaan
harus peka menyiasati kebosanan siswa terhadap koleksi buku yang ada. Caranya
adalah selalu menambah koleksi buku terbaru, khususnya buku-buku best
seller. Pihak pengelola dituntut untuk kaya informasi tentang perkembangan
buku terbaru.
4. Sumber Dana
Banyak jalan untuk
memperoleh asupan dana. Pengelola perpustakaan dituntut peka membaca berbagai
macam potensi sumber dana. Di antaranya dari anggaran madrasah yang sudah
disusun dalam RAPBM (Rencana Anggaran dan Pendapatan Madrasah), alumni,
dermawan, sumbangan sukarela siswa dan sumber dana lainnya.
Menurut pengalaman
saya, banyak cara yang saya lakukan dan berjalan lancar. Pertama,
dari anggaran madrasah sekitar Rp500.000,00 tiap tahun.
Kedua, dari dermawan. Saya
mengajukan permohonan tiap tahun kepada mantan gubernur Jawa Timur, Bapak
Mohammad Noor. Beliau sangat dermawan. Perpustakaan saya pernah diberi
Rp300.000,00, Rp500.000,00 dan Rp1.000.000,00. Beliau sekarang sudah wafat.
Semoga pahala amal jariah beliau tetap mengalir deras ke alam kubur sana.
Berkat kedermawanan beliau para tunas bangsa (siswa) bisa membaca buku.
Ketiga, dari kelas akhir. Di
lembaga saya sudah diagendakan bahwa setiap kelas akhir yang akan menyudahi
studinya mereka diwajibkan memberikan kenang-kenangan pada lembaga. Biasanya
merupa uang tunai yang dialokasikan salah satunya untuk pembelian buku
perpustakaan dan penambahan rak buku. Setiap akhir tahun pelajaran dana
terkumpul hampir dua juta.
Keempat, sumbangan sukarela
dari siswa. Setiap akan membeli buku, saya informasikan dulu pada siswa di
setiap kelas. Mereka dihimbau untuk bisa dermawan dengan menyumbangkan sebagian
uang sakunya untuk pembelian buku baru. Selang tiga hari dari pemberangkatan,
mereka sudah dihimbau untuk menyumbangkan uang yang dikumpulkan kepada ketua
kelasnya. Biasanya yang terkumpul hampir seratus lima puluh ribu. Dengan cara
ini sebenarnya juga mendidik siswa untuk bersikap dermawan menurut kemampuan
dan keikhlasannya. Dan, bisa mengaktivasi minat baca mereka karena merasa punya
ikut adil di dalamnya.
Kelima, uang kas
perpustakaan yang diperoleh dari penjualan kartu perpustakaan. Harga awal kartu
perpustakaan Rp1.000,00 dan untuk sekarang Rp2.000,00. Harga BBM naik, minat
baca siswa makin meningkat maka harga kartu juga dinaikkan. Untuk siswa baru di
awal-awal tahun pelajaran, kartu digratiskan sebagai promosi. Setelah terisi
semua kartunya, siswa harus membelinya.
Kelima, masih sebatas
rencana, pengumpulan dana dari alumni. Apabila ini terlaksana maka sangat
prospek untuk sumplai dana tidak akan kesulitan. Cara ini bisa dilakukan tiap
tahun sekali. Rencana ini masih belum terlaknana karena berbagai
kendala. Semoga selanjutkan akan bisa dilaksanakan.
Seterusnya, sumber
dana lain yang tidak mengikat kadang bisa diperoleh. Sepengalama saya,
penghimpunan dana selalu digampangkan oleh Allah SWT. Setiap rencana pembelian
buku baru selalu ada jalan untuk memperoleh pundi-pundi rupiah.
5. Cara Mendapatkan Buku
Banyak cara juga untuk
mendapatkan buku. Bisa dengan cara membeli, hibah dari penerbit juga perorangan
atau pemerintah.
Ada banyak cara yang
sudah saya lakukan. Pertama, membeli di tempat yang murah dengan
buku-buku berkualitas. Taruhlah berstandar SNI yang diterbitkan oleh penerbit
profesional. Perpustakaan yang saya tangani minim dana, maka menuntut saya
untuk punya prinsip ekonomi, yaitu dengan modal sedikit tapi mendapatkan buku
banyak yang berkualitas. Berbagai usaha saya tempuh. Hampir setiap toko buku di
dua kebupaten terdekat saya kunjungi untuk mengetahui perbandingan harga. Toko
buku tetaplah harga toko. Saya coba membeli lima ratus ribu, hanya memperoleh
beberapa buku, ditenteng tidak berat. Saya belum habis pikir, bagaimana caranya
untuk bisa mendapatkan buku murah.
Mendengar informasi
dari salah seorang teman bahwa di Jogjakarta dijual buku murah dalam momen
bazar buku yang sering digelar oleh perkumpulan penerbit dan agen. Pada waktu
saya masih di pesantren, tahun 2006, teman-teman saya bilang bahwa akan pergi
ke Jogjakarta, ke bazar buku dan mau potokopi buku referensi. Di
Jogjakarta kan kualitas potokopi sangat bagus, persis terbitan
aslinya, murah lagi. Mendengan kabar itu, saya mau pesan buku murah kepadanya.
Waktu itu perpustakaan punya uang Rp300.000,00 bantuan dari Bapak Mohammad
Noor. Tapi teman saya tidak mau dengan alasan tidak kuat membawanya karena akan
membeli banyak buku, dan sudah pesan beberapa set buku potokopi berupa
tafsir Al-Mishbah 15 jilid karya M. Quraish Shihab, ulama
tafsir Indonesia. Teman saya menyarankan agar saya ikut ke Jogjakarta saja.
Saya pikir-pikir sampai agak lama. Dapat dari mana biaya transportasi dan
makan? Uang tiga ratus ribu hanya untuk dibelikan buku, selebihnya saya tidak
punya. Untungnya teman saya bermurah hati memberikan talangan, ongkos
kendaraan, uang makan dan bahkan kalau mau membeli oleh-oleh dia siap
meminjamkan uang. Bayarnya ketemu setelah datang dari Jogja. Dengan tidak begitu
rasional saya mengiyakan, sambil kurang begitu percaya pada kemampuan saya
nanti. Dapat dari mana saya uang untuk bayar hutang. Berkat kemauan tinggi
untuk kemajuan umat, perjalanan saya berjalan lancar, tanpa hambatan. Lumayan,
sebagai orang desa bisa tahu kota pendidikan dan budaya, Jogjakarta. Kedua
kalinya saya berkunjung ke Jogja tahun 2008 dalam momen Islamic Book
Fair. Sudah bisa mandiri dan bisa mengajak teman pengurus perpustakaan yang
lain.
Harga buku di bazar
dua variasi; harga obral dari Rp2.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00 dan
seterusnya, dan ada juga harga diskon. Strategi yang saya gunakan setelah
sampai di lokasi, melihat semua harga yang dipajang di setiap stand. Setelah
diketahui lokasi dengan harga termurah, baru saya melakukan aksi pembelian.
Luar biasa senangnya mendapatkan buku-buku murah yang masih gres dan bersegel.
Sepertinya benakku mengatakan, “Selamat tinggal toko-toko buku dengan harga
mahalnya.”
Perjalanan ke Jogja
lumayan jauh. Dengan membawa beban berat butuh mental dan tenaga yang kuat.
Saya berpikir, adakah di tempat lain yang dekat dari rumah digelar bazar buku
yang harganya sama dengan di Jojga? Tahun 2010 waktu saya ke rumah paman di
Malang bersama teman, teman saya mendapat SMS dari temannya bahwa kalau ada di
Malang sempatkan ke bazar buku di aula Skodam, dekat balai kota Malang, di sana
sedang digelar Islamic Book Fair. Kala itu saya sempatkan mampir ke
bazar itu dengan membeli banyak buku. Harganya persis dengan di Jogja. Harga
obral mulai dari Rp5.000,00. Para penjual buku di acara ini memang banyak yang
datang dari Jogja.
Pagelaran bazar di
Malang diselenggarakan dua kali atau tiga kali setahun. Pagelaran bazar di
Malang bisa dikatakan rutin ada dan selalu besar, bahkan terbesar dan tersering
di Jawa Timur. Mengingat obset yang diperoleh dari bazar itu katanya tertinggi,
mengungguli Surabaya. Biasanya akhir Novermber ke awal Desember, bulan Mei atau
April, kadang bulan Juli ada juga. Untuk mengetahui informasinya, cukup Anda
buka internet sekitar bulan-bulan itu.
Setalah akrab dengan
informasi bazar buku di Malang, Islamic Book Fair Malang
menjadi langganan saya untuk mendapatkan buku murah meriah dan berkualitas.
Kesempatan ini saya gunakan juga untuk memotivasi pustakawan dengan mengajak
salah satu karyawan secara bergiliran agar bisa menyegarkan pikiran ke kota
dingin Malang dan bisa menggugah kegemarannya pada dunia buku ketika melihat
hamparan bazar digelar.
Tempat buku murah
selain di Malang, ada juga di Surabaya, tapatnya di Kampung Ilmu jalan
Semarang. Buku-buku novel best seller banyak dengan harga
murah ketimbang toko buku biasa. Di samping itu, buku komek sangat murah,
pereksemplarnya Rp2.000,00. Tapi buku-bukunya banyak terbitan lama. Buku lama
dan bekas relatif memonopoli.
Selain dengan cara
membeli, bisa juga mendapatkan buku dengan mengajukan permohonan ke penertbit.
Tapi agak sulit meraihnya, kecuali ada program khusus dari penertbit. Saya
banyak mengirimkan permohonan. Satu kali mendapat balasan sekadar mohon maaf
tidak bisa membantu, yang lainnya tidak ada tanggapan. Selain meminta ke
penerbit, bisa menghubungi teman-teman yang berkompeten di bidang literasi.
Saya pernah satu kali dikirimi teman di Jogjakarta.
6. Mengelola Buku
Setelah buku didapat,
langkah selanjutnya mengelolanya sebelum diluncurkan ke perpustakaan. Agar buku
awet, disteples terlebih dahulu, dilabel, disampul, distempel halaman
depan-tengah-belakang, diregister ke buku inventaris agar jumlah buku yang ada
diketahui, lalu siap diluncurkan ke perpustakaan.
7. Peraturan Peminjaman
Pengelola perpustakaan
harus membuat peraturan yang mengikat pada setiap pihak yang akan meminjam
buku, baik siswa atau guru. Peraturan dimaksud memberikan kepastian kepada
peminjam tentang kewajiban-kewajibannya. Dari alokasi waktu pinjamnya, misalnya
siswa diberi waktu meminjam dua hari satu buku dan boleh diperpanjang dengan
melapor ke pustakawan. Guru diberi alokasi waktu satu minggu. Peraturan ini
harus dijalankan secara disiplin agar sirkulasi buku lancar dan antisipasi agar
buku tidak hilang.
Penegakan aturan pada
siswa jauh lebih mudah ketimbang pada guru. Buku rawan hilang apabila dipinjam
guru, karena guru merasa lebih punya kuasa untuk meminjam tanpa mengindahkan
peraturan. Akhirnya koleksi buku perpustakaan makin lama makin surut, tidak
diketahui di mana rimbanya. Kebiasaan buruk ini harus dimusnahkan. Kepala
perpustakaan selaku pemegang hak preoregatif sebagai penentu maju-mundurnya
perpustakaan harus memberlakukan peraturan tanpa tebang pilih, baik untuk siswa
atau guru. Pengalaman saya, penegakan peraturan kepada semua pihak bisa
berjalan lancar.
8. Kegiatan Penunjang
Kegiatan perpustakaan
bukan hanya sebatas meminjamkan buku, tapi harus lebih jauh dari itu. Di
samping kegiatan pokoknya meminjamkan buku, kegiatan perpustakaan juga harus
bervariasi untuk menunjang tercapainya tujuan perpustakaan. Di antara kegiatan
penunjang yang dapat dilakukan misalnya, diadakan lomba resensi tiap akhir
semester, diskusi buku yang populer dengan sebutan bedah buku, kerja sama
dengan guru terkait agar guru yang bersangkutan memberikan tugas kepada siswa
dengan mencari referensi di perpustakaan.
Di samping itu pula,
setelah kesadaran siswa terbangun tentang pentingnya membaca dan minat baca
siswa sudah menjadi kebiasaan, langkah selanjutnya adalah memfasilitasi siswa
untuk belajar menulis. Cara yang bisa digunakan misalnya, siswa disuruh
mencatat pada buku khusus setiap hal penting dari buku yang mereka baca, lalu
menambahkan dengan gagasan pribadi terhadap apa yang mereka catat. Kegiatan ini
bila bisa bertahan lama akan lebih mudah bagi siswa untuk membuat suatu
karangan dengan ide-ide yang sudah mulai tumbuh dari hasil membaca dan
penguasaan bahasa yang semakin mapan. Dalam kondisi seperti ini, perpustakaan
bukan sekadar penyedia bahan bacaan untuk menggugah minat baca siswa, tapi juga
mengkader para penulis masa depan.
9. Promosi Perpustakaan
Pengelola perpustakaan
dituntut untuk kreatif, inovatif dan motivatif untuk menjalankan kegiatan
perpustakaan. Indikasi utama suksesnya perpustakaan apabila minat baca tumbuh
pesat. Menumbuhkan minat baca perlu stategi, metode, teknis dan taktik yang
semua itu saya istilahkan dengan ajang promosi. Membuat gerakan dan gebrakan
agar siswa punya minat untuk membaca. Di antara usaha yang bisa dilakukan adalah
menata ruang perpustakaan menjadi menarik, selalu ditambah koleksi buku baru
yang bisa menarik selera siswa, membuat informasi sensasi seputar perpustakaan;
bisa lewat papan info, corong madrasah atau lewat jejaring sosial, penobatan
siswa terajin meminjam buku tiap tengah semester dan akhir semester dengan
kemasan acara misalnya penobatan putra-puri buku dengan hadiah beasiswa dan
hadiah menarik lainnya, dan lain-lain.
Istilah “putra buku”
dan “putri buku” saya gunakan sebagai ganti dari “kutu buku”, karena istilah
ini sepertinya kurang bersahabat dan kurang apresiatif terhadap predikit yang
mulia ini. Ibarat pria diumpamakan denga “kumbang”. Kumbang kan tidak
menawan. Sedangkan wanita diumpamakan dengan “bunga”, sangat indah. Laki-laki
lebih menarik bila diibaratkan kupu-kupu saja ketimbag kumbang.
Promosi perpustakaan
sangat dibutuhkan untuk mengekspos sisi menariknya pada siswa sehingga
tanda-tanda kehidupan perpustakaan tersebut dikenal akrab, akhirnya bisa
memantik mereka berminat untuk membaca.
C. PENUTUP
Merintis perpustakaan
madrasah sangat mudah dan murah, bila sudah punya modal keinginan kuat untuk
mengelolanya. Keinginan kuat sungguh tak bisa ditukar dengan materi berlimpah.
Bermodalkan materi semata, tidak akan berjalan kondusif. Pada akhirnya akan
terseok-seok. Perpustakaan sekadar ada. Sungguh ironis. Padahal peranan
perpustakaan sangat vital dalam mengembangkan wawasan siswa secara mumpuni.
Paparan di atas lebih
pada berbagi pengalaman saya dalam mengelola perpustakaan madrasah sejak 2005
sampai sekarang. Dengan modal materi yang pas-pasan, tapi masih tetap eksis
bisa berjalan dengan lancar berkat adanya kesungguhan. Data terakhir yang
tercatat dalam buku inventaris, perpustakaan madrasah yang saya kelola sudah
memiliki buku sebanyak 1342 eksemplar dan 4 rak buku.
Bagi Anda yang ingin
merintis perpustakaan madrasah atau mengembangkannya, bila ada masalah bisa
tukar pengalaman dengan saya.
Wallah
a’lam.
*****
No comments:
Post a Comment