Saturday, July 7, 2018

MENDIDIK DENGAN KASIH SAYANG (Memutar Kembali Memori Masa Lalu)

Bersama Murid-murid di Objek Wisata Paralayang Malang 2018
M. Khaliq Shalha

Salah satu komponen dalam diri manusia adalah afeksi berupa rasa kasih sayang atau perasaan dan emosi yang lunak. Perasaan ini mengambil peranan penting dalam menyerap pendidikan yang diberikan guru. Komponen ini perlu diaktivasi oleh guru baik secara verbal, perilaku dan lebih-lebih batin seorang guru bahwa setiap didikan yang diberikan guru seyogianya didasarkan pada rasa kasih sayang. Mendidik tanpa didasari kasih sayang efeknya akan lemah dalam membangun jiwa besar anak didik. Retorika guru menjadi tumpul. Teknik dan taktik tak banyak berpengaruh.

Dalam sebuah hadits begitu menarik menggambarkan cara Rasulullah mendidik umatnya dengan penuh kasih sayang sekalipun yang dihadapi beliau adalah orang yang sedang khilaf. Inilah peran pendidikan yang nyata. Di samping mendidik manusia yang baik menjadi lebih baik juga mengentaskan manusia yang tidak baik menjadi baik. Kondisi terakhir ini jauh lebih sulit ketimbang kondisi manusia pertama tersebut. Dan, terbukti Rasulullah SAW berhasil mengentaskan manusia tipe kedua sekalipun.

Sahabat Abu Umamah menceritakan bahwa ada seorang pemuda menghadap Nabi SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” Mendengar ucapan pemuda itu, orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, dan berkata: “Anda sungguh celaka, dan tidak punya rasa malu!” Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya (kemudian terjadilah dialog panjang antara pemuda dan Rasulullah).

Rasulullah: “Hai anak muda, maukan engkau jika ibumu dizinahi oleh seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika putrimu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau putrinya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ayahmu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ayahnya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ibumu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ibunya dizinahi.”

Kemudian Rasulullah memegang pemuda tersebut seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.”

Setelah itu, pemuda tersebut tidak pernah melakukan hubungan seksual terlarang.

Hadits riwayat Imam Ahmad tadi memberikan pendidikan bagi para pendidik tentang cara yang efektif dalam mendidik dengan penuh kasih sayang. Hasilnya jelas. Caranya santun. Tak terlalu banyak menghabiskan energi.

Di lapangan, kita dihadapkan dengan banyak tipe anak didik. Ada yang responsif, setengah-setengah dan ada pula yang mbeling. Tipe terakhir menyebalkan dan menjengkelkan. Demikian pula tingkat intelektualitasnya, ada yang di atas rata-rata, standar dan di bawah rata-rata. Dari sekian tipe yang ada, mendidik anak yang mbeling membutuhkan energi lebih banyak dan kesabaran yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) ketimbang anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan bibit unggul.

Ada sebagian anggapan bahwa tidak ada anak yang nakal, tapi hanya ada sebagian anak yang membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain. Pernyataan “membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain” adalah bahasa halus dari anak yang “mbeling”. Mengentaskan anak yang mbeling membutuhkan strategi dan metode khusus pula. Banyak cara perlu dicoba. Cara yang satu gagal dapat diganti dengan cara yang lain. Cara lemah lembut perlu diutamakan tapi jika cara ini mandul perlu menggunakan cara yang tegas (bahkan cara yang kasar atau keras, tapi dalam koridor “mendidik”). Menghadapi ragam kepribadian anak didik, ibarat dokter menghadapi masyarakat binaannya dengan ragam kekebalan tubuh. Jika kondisi kesehatan mereka normal, dokter cukup memberikan asupan vitamin untuk menjaga kekebalan tubuh mereka dari serangan penyakit. Berbeda jika yang dihadapi pasien yang mengidap penyakit serius. Membutuhkan penanganan khusus dengan dosis obat tertentu pula.

Cara mendidik dengan kekerasan hanyalah sebagai cara alternatif. Mendidik dengan kekerasan tidaklah identik dengan tindakan yang membayakan, baik secara mental maupun fisik. Tetapi harus terukur pula dengan kondisi anak didik sehingga tindakan tersebut dapat merubah anak dari nakal menjadi taat, dari malas menjadi semangat. Dalam koridor seperti ini, Islam melegalkan mendidik anak dengan cara “kekerasan”. Sangat populer dalam kitab-kitab fiqih pada bab-bab awal bahwa kewajiban orang tua adalah mengajak anaknya sejak dini untuk melaksanakan shalat. Jika anak sudah berumur sepuluh tahun masih saja tidak mengerjakan shalat, hendaknya orang tua memukul anaknya dengan maksud mendidiknya supaya disiplin shalat, bukan untuk mencelakakannya.

Pada tahun 1990-an, waktu saya masih mengenyam pendidikan di tingkat madrasah ibtidaiyah, cara-cara kekerasan (ketegasan) sering digunakan. Misalnya, jika murid tidak hapal pada pelajaran yang sudah ditentukan oleh guru untuk dihapalkan, murid disuruh berdiri di depan murid-murid yang lain. Hal yang masih teringat dengan baik di benak dan terngiang di kepalaku (sekaligus menjadi kenangan indah) sewaktu saya kelas dua MI ketika guru bahasa Arab mewajibkan murid-murid untuk menyetor hapalan mufradat (kosakata) bahasa Arab setiap minggu sebanyak lima mufradat yang telah ditulis di papan tulis sebelumnya. Jika murid tidak hapal langsung berdiri. Setelah satu persatu teman-teman selesai menyetor hapalan, giliran murid yang tidak hapal mendapatkan bonus berupa pukulan dengan menggunakan sapu yang dijatuhkan pada betis teman-teman yang tidak hapal. Seingat saya, satu kali saya tidak hapal. Dengan penuh menyesal saya berdiri dan mendapat pukulan dari guru.

Setelah sekian lama, saya baru menyadari bahwa cara kasar yang dilakukan guru itu merupakan salah satu bentuk pendidikan kasih sayang luar biasa yang terselubung. Saya sering terharu dengan cara guru bahasa Arab ini ketika saya berkesempatan menelaah buku-buku berbahasa Arab. Salah satunya, ketika saya tergopoh-gopoh dalam kondisi terdesak untuk menyelesaikan makalah sebagai materi diskusi kelas pada Program Magister di IAIN Sunan Ampel Surabaya (seputar 2009-2011), waktu menelaah buku-buku berbahasa Arab di perpustakaan pascasarjana, secara tiba-tiba saya ingat guru bahasa Arab ini. Berkat ketegasan plus ketelatenannya mendidik, saya relatif paham teks-teks berbahasa Arab hingga dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas kuliah.

Perlu menjadi catatan kita di era digital sekarang bahwa orang-orang besar senior kita sekarang ini rata-rata mereka alumni lembaga pendidikan yang mengetrapkan cara seperti yang saya contohkan di atas. Mereka mengenyam pendidikan dengan keterbatasan sarana belajar. Debu-debu kapur tulis sangat akrab dengan baju guru dan murid. Para murid cepat mandiri. Siap pakai dan siap hidup. Kesalehan tersemat mendalam pada diri mereka. Apa rahasianya? Mereka dididik dengan kasih sayang.

Cara apapun yang digunakan untuk mendidik, baik dengan lemah lembut atau dengan “kekerasan” (jika dibutuhkan) hendaknya tetap dilandaskan pada rasa kasih sayang secara tulus yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam pada setiap guru. Kita optimis bahwa akan tetap muncul generasi terbaik (khaira ummah) pada masa berikutnya. Wallah a’lam.

1 comment:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete