Bersama Murid-murid di Objek Wisata Paralayang Malang 2018 |
M. Khaliq Shalha
Salah satu komponen dalam diri manusia
adalah afeksi berupa rasa kasih sayang atau perasaan dan emosi yang lunak.
Perasaan ini mengambil peranan penting dalam menyerap pendidikan yang diberikan
guru. Komponen ini perlu diaktivasi oleh guru baik secara verbal, perilaku dan
lebih-lebih batin seorang guru bahwa setiap didikan yang diberikan guru
seyogianya didasarkan pada rasa kasih sayang. Mendidik tanpa didasari kasih sayang
efeknya akan lemah dalam membangun jiwa besar anak didik. Retorika guru menjadi
tumpul. Teknik dan taktik tak banyak berpengaruh.
Dalam sebuah hadits begitu menarik
menggambarkan cara Rasulullah mendidik umatnya dengan penuh kasih sayang
sekalipun yang dihadapi beliau adalah orang yang sedang khilaf. Inilah peran
pendidikan yang nyata. Di samping mendidik manusia yang baik menjadi lebih baik
juga mengentaskan manusia yang tidak baik menjadi baik. Kondisi terakhir ini
jauh lebih sulit ketimbang kondisi manusia pertama tersebut. Dan, terbukti
Rasulullah SAW berhasil mengentaskan manusia tipe kedua sekalipun.
Sahabat Abu Umamah menceritakan bahwa
ada seorang pemuda menghadap Nabi SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah,
izinkan aku berzina.” Mendengar ucapan pemuda itu, orang yang ada di
sekitarnya menghampiri dan memaki, dan berkata: “Anda sungguh celaka, dan tidak
punya rasa malu!” Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya
(kemudian terjadilah dialog panjang antara pemuda dan Rasulullah).
Rasulullah: “Hai anak muda, maukan
engkau jika ibumu dizinahi oleh seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah
menjadikanku sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka
demikian pula orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi.”
Rasulullah: “Maukah engkau jika putrimu
dizinahi seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah
menjadikanku sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka
demikian pula orang lain pun tidak mau putrinya dizinahi.”
Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari
ayahmu dizinahi seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah
menjadikanku sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka
demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ayahnya dizinahi.”
Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari
ibumu dizinahi seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah
menjadikanku sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka
demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ibunya dizinahi.”
Kemudian Rasulullah memegang pemuda
tersebut seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan
peliharalah kemaluannya.”
Setelah itu, pemuda tersebut tidak
pernah melakukan hubungan seksual terlarang.
Hadits riwayat Imam Ahmad tadi
memberikan pendidikan bagi para pendidik tentang cara yang efektif dalam
mendidik dengan penuh kasih sayang. Hasilnya jelas. Caranya santun. Tak terlalu
banyak menghabiskan energi.
Di lapangan, kita dihadapkan dengan
banyak tipe anak didik. Ada yang responsif, setengah-setengah dan ada pula yang
mbeling. Tipe terakhir menyebalkan dan menjengkelkan. Demikian pula tingkat
intelektualitasnya, ada yang di atas rata-rata, standar dan di bawah rata-rata.
Dari sekian tipe yang ada, mendidik anak yang mbeling membutuhkan energi lebih
banyak dan kesabaran yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) ketimbang
anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan bibit unggul.
Ada sebagian anggapan bahwa tidak
ada anak yang nakal, tapi hanya ada sebagian anak yang membutuhkan perhatian
lebih ketimbang yang lain. Pernyataan “membutuhkan perhatian lebih ketimbang
yang lain” adalah bahasa halus dari anak yang “mbeling”. Mengentaskan anak yang
mbeling membutuhkan strategi dan metode khusus pula. Banyak cara perlu dicoba.
Cara yang satu gagal dapat diganti dengan cara yang lain. Cara lemah lembut
perlu diutamakan tapi jika cara ini mandul perlu menggunakan cara yang tegas
(bahkan cara yang kasar atau keras, tapi dalam koridor “mendidik”). Menghadapi
ragam kepribadian anak didik, ibarat dokter menghadapi masyarakat binaannya
dengan ragam kekebalan tubuh. Jika kondisi kesehatan mereka normal, dokter
cukup memberikan asupan vitamin untuk menjaga kekebalan tubuh mereka dari
serangan penyakit. Berbeda jika yang dihadapi pasien yang mengidap penyakit
serius. Membutuhkan penanganan khusus dengan dosis obat tertentu pula.
Cara mendidik dengan kekerasan hanyalah
sebagai cara alternatif. Mendidik dengan kekerasan tidaklah identik dengan
tindakan yang membayakan, baik secara mental maupun fisik. Tetapi harus terukur
pula dengan kondisi anak didik sehingga tindakan tersebut dapat merubah anak
dari nakal menjadi taat, dari malas menjadi semangat. Dalam koridor seperti
ini, Islam melegalkan mendidik anak dengan cara “kekerasan”. Sangat populer
dalam kitab-kitab fiqih pada bab-bab awal bahwa kewajiban orang tua adalah
mengajak anaknya sejak dini untuk melaksanakan shalat. Jika anak sudah berumur
sepuluh tahun masih saja tidak mengerjakan shalat, hendaknya orang tua memukul
anaknya dengan maksud mendidiknya supaya disiplin shalat, bukan untuk
mencelakakannya.
Pada tahun 1990-an, waktu saya masih
mengenyam pendidikan di tingkat madrasah ibtidaiyah, cara-cara kekerasan
(ketegasan) sering digunakan. Misalnya, jika murid tidak hapal pada pelajaran
yang sudah ditentukan oleh guru untuk dihapalkan, murid disuruh berdiri di
depan murid-murid yang lain. Hal yang masih teringat dengan baik di benak dan
terngiang di kepalaku (sekaligus menjadi kenangan indah) sewaktu saya kelas dua
MI ketika guru bahasa Arab mewajibkan murid-murid untuk menyetor hapalan
mufradat (kosakata) bahasa Arab setiap minggu sebanyak lima mufradat yang telah
ditulis di papan tulis sebelumnya. Jika murid tidak hapal langsung berdiri.
Setelah satu persatu teman-teman selesai menyetor hapalan, giliran murid yang
tidak hapal mendapatkan bonus berupa pukulan dengan menggunakan sapu yang
dijatuhkan pada betis teman-teman yang tidak hapal. Seingat saya, satu kali
saya tidak hapal. Dengan penuh menyesal saya berdiri dan mendapat pukulan dari
guru.
Setelah sekian lama, saya baru menyadari
bahwa cara kasar yang dilakukan guru itu merupakan salah satu bentuk pendidikan
kasih sayang luar biasa yang terselubung. Saya sering terharu dengan cara guru
bahasa Arab ini ketika saya berkesempatan menelaah buku-buku berbahasa Arab.
Salah satunya, ketika saya tergopoh-gopoh dalam kondisi terdesak untuk
menyelesaikan makalah sebagai materi diskusi kelas pada Program Magister di
IAIN Sunan Ampel Surabaya (seputar 2009-2011), waktu menelaah buku-buku
berbahasa Arab di perpustakaan pascasarjana, secara tiba-tiba saya ingat guru
bahasa Arab ini. Berkat ketegasan plus ketelatenannya mendidik, saya relatif
paham teks-teks berbahasa Arab hingga dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas
kuliah.
Perlu menjadi catatan kita di era
digital sekarang bahwa orang-orang besar senior kita sekarang ini rata-rata
mereka alumni lembaga pendidikan yang mengetrapkan cara seperti yang saya
contohkan di atas. Mereka mengenyam pendidikan dengan keterbatasan sarana
belajar. Debu-debu kapur tulis sangat akrab dengan baju guru dan murid. Para
murid cepat mandiri. Siap pakai dan siap hidup. Kesalehan tersemat mendalam
pada diri mereka. Apa rahasianya? Mereka dididik dengan kasih sayang.
Cara apapun yang digunakan untuk
mendidik, baik dengan lemah lembut atau dengan “kekerasan” (jika dibutuhkan)
hendaknya tetap dilandaskan pada rasa kasih sayang secara tulus yang muncul
dari lubuk hati yang paling dalam pada setiap guru. Kita optimis bahwa akan
tetap muncul generasi terbaik (khaira ummah) pada masa berikutnya. Wallah
a’lam.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^