Lokasi di Masjid Cheng Ho Pasuruan 2018 |
M. Khaliq Shalha
Kata amal berasal dari
bahasa Arab, sedangkan kerja bahasa Indonesia. Makna keduanya
kurang lebih sama: berbuat, mengerjakan, melakukan atau sejenisnya. Meliputi
hal-hal baik dan buruk. Amal sering dikonotasikan dengan perilaku yang
menghasilkan pahala, sedangkan kerja dikonotasikan dengan aktivitas yang
menghasilkan uang. Amal berarti aktivitas ibadah, balasannya pahala, sedangkan
kerja aktivitas ekonomi, hasilnya uang. Pemetakan seperti ini kadang tidak
menguntungkan bila dihitung-hitung dari entri ajaran Islam (akidah, fiqih dan
tasawuf), karena tiga ajaran pokok tersebut melingkupi semua bentuk amal
(kerja/aktivitas) manusia, tanpa ada dikotomi.
Pendikotomian yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat kita, berdampak pada besar-kecilnya apresiasi mereka pada
amal-kerja tersebut. Yang paling mencolok—sependek pengamatan saya—ekspresi
orang tua ketika anaknya melanjutkan pendidikan. Mereka melihat secara kasat
mata pada jurusan yang akan diampu, bukan pada niat yang harus ditambatkan.
Salah satu contoh, orang tua yang fanatik sempit pada agama, akan mengapresiasi
anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliah (MA), yang bercitrakan
agama, dan kurang memberi restu bila melanjutkan ke Sekolah Teknik Mesin (STM)
atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berorientasi pada keterampilan kerja.
Hal demikian, saya kira kurang tepat. Apapun sekolah yang dipilih dan jurusan
yang diampu, tidak menjadi soal. Tidak mengurangi kualitas pahala di sisi
Allah, asal niatnya baik.
Alasan orang tua mungkin khawatir
terhadap penghayatan keagamaan anaknya kurang mapan. Jika itu alasannya, ada
alternatif lain, dengan memberikan tambahan belajar di luar sekolah.. Bahkan
sekarang begitu mudah didapat SMK plus yang dimiliki pondok pesantren. Di
samping para murid dibekali keterampilan kerja sesuai jurusannya, mereka juga
diwajibkan mengikuti kajian kitab kuning secara intens. Dalam suatu kesempatan,
saya pernah berbincang dengan guru tugas dari salah satu pondok pesantren terkemuka
di Pamekasan. Ketepatan dia alumni SMK pesantren dimaksud. Saya bertanya
tentang pengajaran kitab kuning bagi murid-murid SMK. Dia menuturkan bahwa di
lembaganya, kitab kuning tetap menjadi program wajib secara intens. Alumni di
lembaga ini bisa siap kerja dan siap pakai, termasuk pula kehandalan kitab
kuningnya. Mantap!!
Suatu hal yang menurut saya juga kurang
tepat dalam pemetakan sekolah yang berorientasi amal atau kerja. Sekolah yang
berorientasi keterampilan kerja bukan berarti kering spiritual dan pahala.
Demikian pula, sekolah agama bukan berarti pula subur spiritual dan kaya
pahala. Kedua-duanya tergantung pada niat para orang tua dan murid. Syekh
Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’limul Muta’allim, menuturkan
secara gamlang niat yang benar dalam menuntut ilmu, yaitu untuk mendapat rida
Allah, selamat di akhirat, menghilangkan kebodohan diri sendiri dan orang lain,
juga menghidupkan dan melanggengkan agama. Merawat agama, zuhud dan takwa bisa
dicapai bila punya landasan ilmu. Niat ini harus menjadi motivasi setiap murid
dari lembaga pendidikan apapun, baik MA, SMK dan lainnya.
Tipe dan jurusan lembaga pendidikan
hanyalah sekadar mengasah kompetensi murid sesuai bidangnya supaya fokus, bukan
sebagai penentu bernilai ibadah atau tidak. Semuanya akan bernilai ibadah bila
niatnya tepat. Demikian pula, apapun jurasannya jika niatnya tidak tepat, hanya
mungkin mendapat prestasi pragmatis dan kesementaraan.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ
يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ». (رواه البخارى و مسلم)
.
Dari Ibn Umar berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap
orang (tergantung) pada apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan,
barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena
seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa dia
niatkan.” (HR. Bukhari Muslim).
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, menyitir bahwa hadits tersebut dilatari oleh seseorang yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah dengan maksud untuk menikah dengan seorang perempuan bernama Ummu Qais, bukan bermaksud mendapat fadilah hijrah. Dari itulah, menjadi jelas bahwa tuntunan niat karena Allah dalam setiap aktivitas apapun menjadi urgen dan penentu kualitas keberagamaan seseorang. Ada sandaran vertikal yang pertama dan utama dalam membangun kesempurnaan hidup dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam hal mencari jodoh dan nafkah.
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, menyitir bahwa hadits tersebut dilatari oleh seseorang yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah dengan maksud untuk menikah dengan seorang perempuan bernama Ummu Qais, bukan bermaksud mendapat fadilah hijrah. Dari itulah, menjadi jelas bahwa tuntunan niat karena Allah dalam setiap aktivitas apapun menjadi urgen dan penentu kualitas keberagamaan seseorang. Ada sandaran vertikal yang pertama dan utama dalam membangun kesempurnaan hidup dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam hal mencari jodoh dan nafkah.
Iman Nawawi mengatakan dalam Syarh
An-Nawai ‘ala Muslim, bahwa kandungan hadits ini mencakup perang dan
perbuatan-perbuatan lainnya. Lebih lanjut beliau mengatakan, ulama telah
sepakat (ijmak) bahwa hadits ini memiliki obyek yang besar dan sarat faedah melimpah.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, hadits ini meliputi
sepertiga ajaran Islam, dan 70 bab fiqih dilingkupinya.
Niat adalah pembeda dari setiap
aktivitas seseorang. Iman Suyuthi telah membahasnya dalam kitab Al-Asybah
wa An-Nazhair bahwa fungsi niat setidaknya ada dua. Pertama,
memperjelas atau membedakan antara perbuatan ibadah dengan tradisi. Kedua,
membedakan rangkaian suatu ibadah dengan ibadah lain sesuai dengan urutan dan
batas-batas yang ditentukan dalam hukum Islam. Salah satu contoh, tidak makan
dan minum di siang hari ada kemungkinan karena puasa, pantangan atau untuk
diet. Hal tersebut dapat dibedakan dengan niat. Anjuran saya, sekalian bila
anda ingin diet, sebaiknya berpuasa saja agar dapat pahala puasa dan secara
otomatis diet juga terlaksana. Contoh lainnya, duduk di dalam masjid kadang
untuk iktikaf atau untuk beristirahat, tergantung pada niatnya.
Mengenai perkara makna kerja yang
berorientasi mencari uang atau nafakah, bukanlah hal yang tercela dan kering pahala.
Hal itu tergolong amal saleh pula. Amal saleh bukan hanya terbatas pada ibadah
ritual (mahdhah), tapi juga segala kegiatan untuk memenuhi hajat hidup.
Hadits berikut memberi spirit kerja, dalam artian mencari nafakah dengan pahala
yang menggiurkan
عن أبي هريرة قال قال رسول الله : إن من الذنوب ذنوبا لا يكفرها الصلاة ولا
الصيام ولا الحج ولا العمرة قالوا فما يكفرها يا رسول الله قال الهموم في طلب
المعيشة . (رواه الطبرانى) .
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah
SAW bersabda: “Ada dosa dari sekian banyak dosa yang tak terampuni dengan
shalat, puasa, haji dan umrah. Para sahabat bertanya: ‘Apa yang bisa
mengampuninya wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Kesengsaraan dalam mencari
penghidupan.’” (HR. At-Thabrani).
Amal sama dengan kerja. Jika keduanya
dikonotasikan berbeda oleh sebagian masyarakat, tidak masalah. Yang penting
kita punya prinsip bahwa amal dan kerja sama-sama bernilai ibadah bila dibangun
di atas niat yang baik. Setiap amal (kerja) yang kita lakukan, sandaran
utamanya adalah rida Tuhan. Setiap aktivitas yang kita lakukan harus mengandung
kemaslahatan dunia akhirat. Ingat, tak ada nilai amal akhirat bila keliru niat,
dan tak akan sia-sia kerja dunia bila dilandasi niat baik. Wallah
a’lam.
No comments:
Post a Comment