Saturday, July 7, 2018

WISATA PUSTAKA DI MALANG

Depan Aula Skodam, Tugu Kota Malang
M. Khaliq Shalha

Menjelang keberangkatan ke Malang, tanggal 4 Desember 2014 dalam rangka berburu buku-buku murah pada pagelaran Malang Islamic Book Fair 2014 ke-21 tanggal 5-11 Desember 2014, SMS dan telpon masuk dari teman-teman yang akan ikut ke acara ini. Intinya menanyakan, jam berapa akan berangkat. Saya jawab, persiapan jam 21.00 WIB. Tak lama dari komunikasi dengan teman, ada telpon masuk dari sepupu bahwa keponakan sepupu saya yang masih kecil sedang sawan dan memaksa saya untuk menjenguknya segera, dan belum ada solusi untuk menyembuhkannya. Saya segera mengiyakan untuk menjenguk. Dalam benakku mengatakan, ini lagi masalah! Tergolong tak disangka-sangka, kalau bahasa santrinya, min haitsu la yahtasib.

Saya bingung, apa yang akan saya lakukan dan berikan untuk kesembuhan keponakan kecil itu? Spontan saya ambil air mineral botolan, saya bacakan Al-Fatihah dengan harapan Allah menjadikannya obat untuk kesembuhan keponakan. Sebenarnya air botolan itu saya konversi dari tujuan awal buat persiapan untuk dibawa ke Malang, mengingat membeli air di terminal harganya luar dari kewajaran, dari Rp1.000,00 di rumah menjadi Rp3.000,00. Sungguh bisnis yang kurang berkah. Sekitar jam 20.30 saya berangkat ke rumah keponakan. Sesampainya di rumahnya ternyata sudah di bawa ke rumah sakit Polindes desa sebelah, langsung saya kejar. Sampai di Polindes, melihat keponakan makin ada perkembangan positif. Bibi butuh air buat kompres si sakit, langsung saya berikan air botolan yang saya bawa tersebut. Saya hanya bisa memberikan sugesti pada para keluarga, Insya Allah sembuh.

Jam 21.00 teman sudah telpon bahwa sudah sampai di rumah. Saya jawab untuk ditunggu sebentar sambil santai di kantor madrasah. Sebenarnya saya getar-getir, jadi apa tidak ke Malang? Sementara sebelumnya saya sudah mencapai kata sepakat dengan tiga teman untuk berangkat malam itu. Saya punya pegangan perkataan seorang guru bahwa apabila punya tujuan baik lalu dalam perjalanannya ada hambatan, itu pertanda akan sukses. Saya pegangi petuah itu. Alhamdulillah, keponakan sudah bisa tidur nyenyak. Teman masih telpon lagi dengan nada sinis, jadi nggak ke Malang? Saya jawab, jadi, tunggu sebentar. Tak lama dari itu saya pamitan pulang.

Menunggu adalah perbuatan yang membosankan. Begitulah kira-kira yang ada di pikiran teman-teman. Mereka khawatir ketinggalan bis malam. Saya sendiri tidak khawatir karena lumayan hapal jadwal bis berdasarkan pengalaman saya sewaktu kuliah ke Surabaya tahun 2009 sampai 2011 pulang-pergi.

Sekitar jam 23 kami sampai di jalan raya yang jaraknya ± 1 km dari rumah. Menunggu bis malam lumayan lama, sampai jam 00.00 lewat sedikit baru datang dari arah timur, Prenduan Sumenep. Kami naik. Tarif bis sudah naik, semula trayek Prenduan-Surabaya Rp36.000,00 perorang menjadi Rp40.000,00. Gara-gara BBM dinaikkan oleh pemerintah. Tapi kata Jokowi, BBM tidak dinaikkan hanya memindahkan subsidi. Itu namanya racun bermerek madu. Ada status lucu dari teman, ada oknum TNI menembak mati warga. Dia katanya tidak membunuh tapi memindahkan kehidupannya dari dunia ke alam kubur. Kacau kalau begini su, kata murid-murid. Jam tigaan kami sampai di terminal terbesar Jawa Timur, Bungurasih Surabaya. Dari segala penjuru, sayup-sayup kiraah mulai terdengar sebagai pertanda waktu Subuh segera tiba. Kami persiapan salat di mushalla pojok barat terminal bagian utara, di belakang tempat antre bis patas jurusan Madura. Mushalla langganan saya ini menunya lengkap, ada kamar mandi, ces HP., dan warung makan. Kami salat Subuh di tempat ini.

Usai salat, teman ngajak cari makan. Saya ajak cari-cari warung di terminal dengan harga termurah. Mutar-mutar sampai agak lama, akhirnya tidak dapat yang cocok. Saya ajak saja teman-teman menuju stasiun kerata api Waru yang tak jauh dari terminal Bungurasih. Ke timur sedikit. Urusan makan nanti saja di kereta atau di Malang. Sesampainya di stasiun Waru saya agak bingung karena jadwal keberangkatan sepertinya ada perubahan. Papan informasinya sepertinya berubah dari sebelumnya. Saya tidak cukup paham dengan jadwal yang ada. Memaksa saya bertanya pada calon penumpang dan petugas. Ternyata jadwal tidak berubah. Langsung saya beli tiket dengan tujuan Malang Kota Baru dengan tarif kelas ekonomi Rp5.500,00 perorang. Hanya naik Rp1.500,00 dari sebelumnya. Kereta berangkat jam 05.00 sampai di Malang jam 07.30. Jadwal keberangkatan dan kedatangan Surabaya-Malang relatif padat, hampir tiap tiga jam.

Biasanya di kereta banyak lalu lalang penjual nasi dan air, ternyata mereka tak satupun ada. Mungkin ada peraturan baru yang melarang pedagang asongan keluar masuk kereta. Saya sangat setuju karena kebersihan lebih terjamin dan suasana lebih kondusif. Sesampainya di stasiun Kota Baru masih cukup waktu untuk mencari makan. Saya mencari warung murah yang kelas ekonomi. Sesuai prinsip dalam perjalanan wisata literasi ini, yaitu berprinsip ekonomi. Semuanya harus serba ekonomi, dari kendaraan, makan dan buku, yang penting tujuan tercapai, yaitu mendapatkan buku-buku murah yang berkualitas. Kami mendapati warung makan di deretan stasiun lengkap dengan menu dan harganya. Nasi pecel dan sejenisnya Rp8.500,00. Kami pesan nasi pecel empat porsi. Pagi-pagi dirasa sangat pas makan yang hangat-hangat apalagi di Kota Malang. Nasi pecel sangat aktual. Semuanya menikmatinya dengan kepedasan, haheho bunyinya. Kami sepakat nanti sore jelang pulang kalau makan lagi pesan selain nasi pecel. Tidak kuat pedasnya.

Beranjak dari warung makan menuju lokasi bazar buku, tepatnya di Aula Skodam Brawijaya, berhadapan dengan Balai Kota Malang. Dari stasiun kami cukup berjalan kaki. Jam masih menunjukkan pukul 8, bazar biasanya buka pukul 9. Kami gunakan waktu buat foto-foto di taman kota yang begitu indah dengan hiasan bunga teratai dan monumen Kota Malang yang menjulang. Sambil saya lihat baleho dan umbul-umbul bazar mengecek kebenarannya, ternyata benar-benar ada. Saya tahu informasi momen ini lewat internet.
Taman, Tugu Kota Malang
Setelah dari taman kota, kami beranjak ke lokasi bazar buku. Para penjual sudah mulai mempersiapkan dagangannya. Di halaman aula didirikan tarup untuk menjual baju-baju dan aneka aksesoris, juga makanan seperti bakso dan lainnya. Di dalam gedung digelar bazar buku. Jam masih belum pukul 9, saya menuju mushalla di pojok barat bagian selatan sambil mengintip-intip harga obral buku, rupanya ada yang Rp5.000,00. Sound sudah mulai berbunyi untuk aneka acara yang akan digelar panitia. Dalam pagelaran Islamic Book Fair aneka ragam acara digelar di pentas utama, seperti lomba kiraah, pentas seni untuk anak-anak, forum kajian ilmiah dan lainnya.
Salah Satu Stan Bazar Buku
Setalah bazar buku di buka, kami seharian mencari buku. Jelang salat Jumat kami berhenti dulu untuk salat. Setelah selesai salat pembelian dimemulai lagi. Saya membeli buku dalam kesempatan ini untuk perpustakaan madrasah yang saya tangani. Harga perbuku yang saya beli dari Rp3.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00, dan  Rp15.000,00 dapat dua. Saya belanja dua jutaan dapat lima kardus dan teman saya belanja satu jutaan dapat dua kardus besar. Jadi, semuanya tiga jutaan dapat tujuh kardus.

Suatu hal yang terkesan dalam acara ini bagi saya, selain berbelanja buku dengan harga yang memuaskan, juga nuansanya menyejukkan hati. Sesuai label dari acara ini, Islamic, acara yang disugungkan panitia bernuansa islami. Didukung para pengunjung dan para peserta yang hadir dalam acara yang di gelar setiap sekmennya, mereka menunjukkan manusia yang berperadaban mulia. Seperti inilah contoh kongkret manusia yang berperadaban. Cara berpakaian, bertutur dan berperilaku sampai pada anak kecil sekalipun. Suatu indikasi yang sempat saya baca penuh berkesan, ketika azan Asar tiba, para pengunjung bergegas menuju mushalla untuk salat jamaah. Karena mushallanya kecil sehingga harus antre. Salat Asar digelar empat kali jamaah. Anak-anak kecilpun yang sedang ikut lomba Juz ‘Amma di situ kompak berjamaah. Orangtua dan guru mereka peduli mendidiknya untuk melaksanakan salat jamaah. Di lokasi ini mushalla pria dan wanitia beda tempat. Persediaan air terjamin. Di sinilah enaknya berkunjung ke bazar ini. Saya sudah empat kali hadir ke momen seperti ini. Insya Allah pada acara-acara yang akan datang saya akan hadir untuk tetap menambah koleksi buku perpustakaan dan pribadi.

Jam 16.00 kami sudah mengemas buku-buku ke dalam kardus untuk segera menuju stasiun, karena jadwal kereta tujuan Surabaya jam 17.00. Kala itu hujan turun membasahi persada Kota Malang. Rencana awal buku-buku yang dibeli akan dibawa sendiri ke stasiun untuk menghemat biaya, akhrinya diangkut menggunakan becak karena hujan betah berlama-lama, tak kunjung reda. Di samping itu, kardus yang akan di bawa terlalu banyak, tujuh kardus, sementara kami hanya empat orang. Bukunya saja satu becak penuh ditambah satu orang, Moh. Yusuf. Saya bertiga, Moh. Imron dan Syafi’ie mengendarai becak lain. Tumpang tindih dalam satu becak, semoga becaknya tidak penyok. Ongkos becak yang mengangkut buku plus satu orang Rp15.000,00 dan yang ditumpangi kami Rp10.000,00.

Sesampainya di stasiun kami segera membeli tiket, karena tidak begitu lama lagi kereta akan tiba. Tiket sudah dibeli namun sial, tidak punya jatah tempat duduk. Sudah dipesan oleh para calon penumpang lainnya yang lebih awal. Di Kota Baru Malang memang bisa dibilang stasiun terramai untuk jalur ke selatan Surabaya. Kami pasrah sudah. Selesai beli tiket kami segera mengisi perut, kembali ke warung yang tadi pagi dikujungi dengan memesan nasi campur, tobat dulu untuk sementara nasi pecel. Jam di HP selalu saya perhatikan khawatir ketinggalan kereta. Setelah makan kami langsung bergegas ke stasiun, siap-siap menuju peron. Tak lama pintu masuk ke peron di buka. Kami segera mengangkut buku tujuh kardus itu tergopoh-gopoh. Satu orang ada yang membawa dua kardus dan ada yang satu kardus besar. Siap-siap menunggu kedatangan kereta di jalur tiga. Untuk menuju jalur tiga ini kami dan penumpang lainnya lewat terongongan. Sejauh mata memandang, para calon penumpang di stasiun ini memang ramai, bejibun. Kami sudah siap-siap berdiri sepanjang perjalanan Malang-Surabaya karena tidak dapat jatah tempat duduk.

Jam 17 lewat sedikit kereta Penataran kelas ekonomi yang ditunggu-tunggu datang. Kami siap-siap masuk kereta, memilih gerbong tengah karena kami bebas memilih gerbong yang mana saja karena tidak dapat jatah tempat duduk. Setelah masuk di kereta kursi masih banyak yang kosong. Para penumpang lainnya masih lalu-lalang mencari nomor kursinya. Kami berdiri dulu khawatir diusir orang yang punya jatah tempat duduk. Setelah semuanya tenang, saya lihat di dekat saya kursi masih ada yang kosong, langsung saya duduk, teman saya juga duduk sambil tertawa. Nanti kalau ada orang mengusir kami siap berdiri. Sepanjang berjalanan tidak ada orang yang mencari kursi tempat kami duduk. Artinya, kami dari Malang-Surabaya duduk santai dan kadang terlelap tidur. Kadang antara tidur dan tidak, khawatir kelewat stasiun Waru Sidoarjo.

Sampai di stasiun Waru setelah azan Isyak. Buku dimuat becak dengan Moh. Yusuf. Kami bertiga jalan kaki menuju pintu keluar bis yang tak jauh dari stasion. Sampai di pintu keluar, bis jurusan Madura bergerak dari arah barat. Kami segera mencegatnya. Kardus dimasukkan ke bagasi dan kami naik. Bis Akas ini penuh sesak penumpang. Moh. Imron dan Moh. Yusuf duduk di kursi belakang, saya dan Syafi’ie duduk di kursi bantalan atas mesin, dekat sopir. Baru sampai di Sampang bisa duduk dikursi yang layak karena penumpang sudah mulai banyak yang turun. Sampai di pertigaan selatan rumah sekitar jam 24.00. Syafi’ie segera memarani sepedanya di tempat parkir. Sepedanya setelah dinyalakan sedang ngambek. Agak lama untuk bisa menyala. Maklum sepeda perjuangan yang sudah peteran. Akhirnya menyala juga. Selain itu, seorang teman menjemput kami bolak-balik dua kali. Kami pulang sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah!

Sebuah perjalanan bisa menarik bila diniati dan dinikmati. Semoga memberikan inspirasi positif kepada Anda. Harapan inilah yang menjadi dasar dari penulisan catatan perjalanan kami, Wisata Literasi di Malang.

*****
Sumenep, 13 Desember 2014

No comments:

Post a Comment