Tuesday, July 24, 2018

CINTA SANG LONTE

Uswatun Faizah *)

Hari ini Bahtera merasa benar-benar sendiri. Melihat teman sepermainannya gelar tawa, mengoceh tentang kebahagiaan sisa semalam bersama mama papa. Tahun baru yang mengesankan bagi mereka yang pergi berlibur ke luar kota. Bagi Mereka yang bebas bermain pasir putih di tepi pantai. Bagi mereka yang menghabiskan malamnya dengan pesta kembang api ditemani trompet. Tapi bagi Bahtera, bahagia di malam tahun baru adalah ketika dirinya dapat tidur nyenyak dengan bantal lusuh dan selimut yang memprihatinkan. Selimut dengan lumayan banyak bolong yang disisakan sang wirok yang kejam.

Bahtera hadir ke dunia ini, hidup bersama keluarga tersayang, ayah ibu yang dibanggakan. Hidup sederhana dengan gaji ayah yang pas-pasan. Tapi harta bukanlah penyulit dari segalanya. Keluarga Bahtera senantiasa bahagia dengan rahmat Tuhan Sang Pencipta. Tapi semuanya berubah sejak 2 tahun yang lalu.

Ketika orang tua Bahtera diharuskan menjadi TKI demi menyambung hidup keluarga. Dalam perjalanan menuju negeri tetangga, sungguh nahas, musibah tak dapat dielakkan. Pesawat yang mengangkut beribu harap mereka, harus memutus mimpi-mimpi para penumpangnya.  Mereka termasuk dalam korban yang tak bisa diselamatkan.
***
Langit cerah dengan goresan awan menumpuk. Hantarkan sejuk pada jiwa yang menikmati. Bahtera duduk di sebuah tembok rumah kontrakan sederhana. Menanti sang dewi keluar dari balik pintu kayu bercat merah hati. Bagi Bahtera, dia adalah sang dewi kesayangan Tuhan. Perempuan yang  terbiasa dengan make up tebal. Bibir yang dipoles dengan gincu merah  merekah. Bulu mata yang lentik sulapan alat rias berjuluk Maskara. Alis yang tak pernah ada alasan untuk tidak rapi. Sungguh perempuan yang diharuskan bersolek mewah.

"Tante Kemala," begitu Bahtera memanggilnya. Perempuan PSK (Pekerja Seks Komersial) yang menjadi tempat berlindungnya. Sejak empat bulan yang lalu, Bahtera pertama kali mengenalinya. Mereka berjumpa secara tak sengaja di sebuah stasiun kereta dekat rumahnya. Ketika Bahtera menjajakan dagangan asongan yang menjadi satu-satunya harapan penyambung hidup. Entah ada apa dengan mereka, Kemala sangat menyayanginya bagai keluarga sendiri. Begitu pun dengan Bahtera, dia senantiasa berlindung pada sang Lonte.

Sejak pertemuan itu, Bahtera biasa bermain ke kontrakan Kemala. Sebelum berangkat menyisir kerasnya hidup di antara gerbong-gerbong angkuh, Bahtera biasa disediakan susu putih kental manis yang menjadi penyemangatnya untuk 10 jam ke depan. Berangkat jam 7 sehabis matahari terbit hingga tiba di rumah setelah metahari berpamitan untuk kembali esok.

"Ada hadiah untuk Bahtera." Senyum yang benar-benar tulus di bibir Tante Kemala. Dia menyerahkan bingkisan  berwarna gold.

"Bukalah," sambungnya.

Bahtera mengangguk. Matanya memerah.

"Kenapa engkau menangis?"

"Tante sangat baik pada Bahtera, bahkan lebih baik dari keluarga sendiri."

"Untuk apa engkau bersedih atas hal yang tidak berguna nak, bahkan tante lebih bahagia memiliki engkau. Seandainya Tuhan mentakdirkan kita menjadi anak dan Ibu, maka orang paling bahagia di dunia ini adalah tante." Kemala mengelus rambut Bahtera.

"Tapi kenapa tante sayang Bahtera?"

Kemala terkejut mendengar pertanyaannya. Sungguh dirinya tak memiliki jawaban atas pertanyaan Bahtera. Sebab dia tidak tahu tentang alasan mengapa dia sangat menyayangi anak itu. Tapi Tuhan sudah mengirimkannya. Sungguh tak ada hal yang dapat disangka jika Tuhan sudah menginginkan. Perempuan yang paling rendah di mata masyarakat tapi dia berhati malaikat. Perempuan yang tidak pernah menemukan tempat di hati masyarakat tapi dia mampu menjadi seorang peri pelindung bagi bocah yang hidup melarat.

"Nanti malam temui tante di stasiun biasa ya,  nanti tante ajak kamu ke resto terdekat. Kita makan-makan enak di sana." Kemala membuat perjanjian.

Bahtera tersenyum kegirangan.

"Tapi kenapa bertemunya tidak di sini saja Tante?"

"Jangan, tante masih ada janji siang ini, mungkin pulangnya sampai nanti malam sebelum kita berangkat. Jadi bertemunya di stasiun saja. Lagian biar tidak ada yang lihat kita. Takut disangka kita pacaran."

Bahtera tertawa terpingkal  mendengar guyonan Kemala.

"Kalau Bahtera pacaran sama tante nantinya dikirain cucu sama nenek." Bahtera menambahkan.

Mereka berdua Kembali tertawa.
***
Malam yang dinantikan.

Malam ke-2 di tahun yang anyar akan menjadi sejarah untuk pertama kalinya Bahtera bisa makan enak setelah kepergian orang tua tersayang. Maklumlah, sejak itu Bahtera hidup sendirian di rumah peninggalan orang tuanya. Kakek nenek dari ayah dan ibu sudah lama tiada, bahkan orang tua  dari ayahnya sudah meninggal dunia sebelum Bahtera lahir ke dunia. Keluarga yang lain entah ke mana,  bagi mereka seakan tidak pernah ada kisah Bahtera kecil hadir ke dunia. Hidup seperti ini terlalu berat baginya. Diusianya yang masih menginjak angka ke-10 harus menjalani getirnya hidup. Tapi masih beruntunglah dia, ada Kemala yang menyayanginya meski mereka tak hidup serumah. Paling tidak ada tempat untuk sekadar berbagi menghapus lara.

"Tante Kemala," Bahtera memanggil Kemala dari Kejauhan.

Mereka sampai di stasiun hampir bersamaan, namun dari arah yang berbeda. Bahtera yang  berusaha tampil rapi dengan baju seadanya. Kemala dengan riasan seperti biasa, sebagaimana dia menemui para tamunya.

Di pojok proyek stasiun yang belum rampung, ada rahasia di balik amanah negeri ini yang tak sengaja mereka dengar. Rupanya, kekayaan negeri ini menjadi kesempatan bagi mereka yang berbuat curang. Pembangunan serentak di mana-mana, berpuluh tahun tak kunjung usai. Rupiah yang tak sedikit jumlahnya dihabiskan, tapi satu proyek pun tak kelar. Ada pula yang kelar tapi sepuluh tahun saja berdiri sudah harus diperbaiki. Entah sudah berapa banyak hutang negeri ini.

Perempuan berkepala 4 dengan jaz berwarna hitam di padukan dengan rok panjang beserta kerudung panjang hingga menutupi hampir sebagian jaznya. Sebuah aksesoris hitam dipasang di kedua matanya, sedang bersama kedua rekannya yang berbeda jenis kelamin. Mereka ternyata menjadi dalang dari sebuah proyek stasiun yang tak kunjung selesai. Rupanya benar kata banyak orang bahwa di negeri ini begitu krisis kejujuran dari para pengendalinya.

"Rupanya kalian dalang dari proyek yang tak kunjung kelar ini?" Kemala memergoki mereka yang tengah berencana untuk perihal selanjutnya.

Mereka terkejut ada yang mengetahuinya, tapi begitulah orang-orang tak bertanggung jawab, bukan mengakui kesalahan tapi melawan kebenaran.

"Apa yang engkau lakukan di sini?"

"Seharusnya saya yang bertanya kepada Nyonya. Apakah Nyonya mandor dari proyek ini? Tapi bukankah pekerja sudah kembali sejak jam 5 sore?"

"Engkau siapa?"

"Maaf, aku hanya rakyat kecil dari desa ini yang tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian bahwa kalian adalah termasuk dari salah satu parasit negeri ini."

"Oh, aku tahu. Dilihat dari penampilannya rupanya engkau yang bernama Kemala, sang pelacur ulung di desa ini. Rupanya pelangganmu dari para kelas elite. Bukankah engkau yang sering menjadi pemuas nafsu para pejabat tak bertanggung jawab itu?"

"Wah Nyonya, rupanya Nyonya mengakui bahwa rekan-rekan Nyonya menyukai perihal serendah itu."

"Sebenarnya apa maumu? Engkau mau uang? Katakan saja asal engkau tutup mulut tentang apa yang engkau dengar, dan bocah ini, aku bisa belikan apa saja yang dia mau. Rupanya dia anak melarat." Perempuan yang sudah merasa keselamatan dirinya terancam menawarkan banyak hal pada Kemala dan  Bahtera.

"Rupanya orang-orang seperti tante yang menjadikan negeri ini begitu banyak orang melarat. Bahkan Bahtera harus menderita sejak kecil. Jangankan untuk melanjutkan sekolah, untuk makan saja Bahtera harus berjualan dulu. Untung jika ada yang laku, jika tidak, Bahtera harus berpuasa."

Ternyata Bahtera pun mengerti apa yang sedang dilakukan perempuan itu kepada negeri ini. Dia melawan dengan kepolosannya tapi ambisi tidak cukup jika hanya dilawan kelemahan.

Perempuan itu mengalihkan pembicaraan, bermodal rok panjang dan tudung panjangnya dia mulai berdalih.

"Mau jadi apa negeri ini jika pemerintah membiarkan perempuan hina sepertimu berkeliaran di negeri yang mayoritas bangsanya beragama Islam. Sungguh tidak ada tempat bagi perempuan sepertimu. Dan, negeri ini tidak akan pernah maju jika membiarkan bocah berkeliaran tak sekolah, bocah-bocah kumuh seperti Bahtera adalah penghambat majunya negeri ini." Perempuan berkaca mata hitam itu mengoceh tentang Islam dan negeri ini. Betapa tidak sakitnya hati Kemala mendengarnya.

"Maaf Nyonya, dengan hormat saya mengatakan bahwa selama masih ada orang-orang seperti Nyonya, negeri ini tidak akan pernah maju, perusak yang mengatasnamakan agama, orang-orang besar yang tidak pernah memperdulikan bocah yang entah hidupnya bagaimana, apa yang dia makan, apa yang dia pakai, apa yang dia rasa." Kemala membela diri atas penghinaannya.

"Jangan pernah engkau mengajari aku, perempuan penggoda, apa yang engkau tahu tentang negeri ini, tentang Islam dan kaum yang tersampingkan?" Dia mengangkat alisnya.

"Apa pantas seorang muslimah dengan pakaian tertutup beserta tudung lebarnya berbicara sekeras itu. Saya asli putri dari negeri ini. Keluarga saya semuanya Islam. Tapi tidak pernah mengajarkan bahwa Islam menjadi pencuri di negeri sendiri."

"Dan, sangat tidak terhormat, seorang muslimah mencaci maki  anak yatim piatu seperti Bahtera. Bukankah dalam Kitab Suci Nyonya sudah dijelaskan bahwa anak yatim itu harus disayangi, salah satunya sudah dijelaskan dalam Surat Al-Ma'un, begitu bukan?"

"Nyonya, saya mengakui bahwa saya bukan perempuan suci, tapi saya lebih terhormat daripada Nyonya. Sudah jelas jika saya seorang pekerja seks komersial, tapi, Nyonya seorang muslimah secara penampilan, namun menjadi parasit di negeri sendiri. Sudah berapa banyak uang bangsa yang Nyonya lahap sendiri?"

Perdebatan mereka terus berlanjut hingga larut malam. Di depan proyek pembangunan stasiun yang belum rampung ini Kemala seakan dihakimi untuk suatu kesalahan. Kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Tapi apa hendak dikata, begitu banyaknya orang-orang yang tak berpihak pada kejujuran di negeri ini. Kemala harus mengakhiri perjuangannya dengan pasrah pada Tuhan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang tak bertanggung jawab main hakim sendiri. Demi kesalahan yang ditutupi, mereka kehilangan kesadaran bahwa sesama manusia bersaudara. Tapi Semua itu hanya menjadi kisah yang pernah didengar saja bagi mereka. Selebihnya, siapa yang kuat dia yang dapat. Penyimpangan sulit terungkap, sebab terbalut rapi dalam penampilan.
***
Matahari gagah di atas kepala Bahtera. Dia tidak mengetahui apa yang semalam terjadi antara Kemala dan para penjahat itu. Dia dipaksa pergi ketika perdebatan memanas. Hari ini dia ingin menemui Kemala di rumah kontrakannya. Tapi, langkahnya terhenti ketika seorang pengantar koran melempar koran terbaru ke depan sebuah rumah. Tidak sengaja Bahtera melihat topik utama hari ini: "DITEMUKAN SEORANG MAYAT PSK DI PINGGIR REL KERETA. DIDUGA KORBAN PEMBUNUHAN DENGAN LUKA BACOK DI TUBUHNYA."

Kakinya tak mampu lagi digerakkan. Bersama siapa dia akan hidup selanjutnya. Bahtera benar-benar sendiri. Tuhan sungguh menguji kekuatannya.

Lonteku ...
Terima kasih ...
Atas pertolonganmu di malam itu.
Lonteku...
Mari kita lanjutkan cerita hari esok ...
Tapi hanya Tuhan yang mendengar rintihannya.*
***
Serang, 03 Januari 2017
__________
*) Penulis adalah alumni MTs Al-Wathan tahun 2012. Cerpen ini ditulis di perantauan di Serang Banten.
* Lagu Iwan Fals.

No comments:

Post a Comment