Uswatun Faizah *)
|
Hari ini Bahtera merasa benar-benar sendiri. Melihat
teman sepermainannya gelar tawa, mengoceh tentang kebahagiaan sisa semalam
bersama mama papa. Tahun baru yang mengesankan bagi mereka yang pergi berlibur
ke luar kota. Bagi Mereka yang bebas bermain pasir putih di tepi pantai. Bagi mereka
yang menghabiskan malamnya dengan pesta kembang api ditemani trompet. Tapi bagi
Bahtera, bahagia di malam tahun baru adalah ketika dirinya dapat tidur nyenyak
dengan bantal lusuh dan selimut yang memprihatinkan. Selimut dengan lumayan
banyak bolong yang disisakan sang wirok yang kejam.
Bahtera hadir ke dunia ini, hidup bersama keluarga
tersayang, ayah ibu yang dibanggakan. Hidup sederhana dengan gaji ayah yang
pas-pasan. Tapi harta bukanlah penyulit dari segalanya. Keluarga Bahtera
senantiasa bahagia dengan rahmat Tuhan Sang Pencipta. Tapi semuanya berubah
sejak 2 tahun yang lalu.
Ketika orang tua Bahtera diharuskan menjadi TKI demi
menyambung hidup keluarga. Dalam perjalanan menuju negeri tetangga, sungguh
nahas, musibah tak dapat dielakkan. Pesawat yang mengangkut beribu harap
mereka, harus memutus mimpi-mimpi para penumpangnya. Mereka termasuk dalam korban yang tak bisa
diselamatkan.
***
Langit cerah dengan goresan awan menumpuk. Hantarkan
sejuk pada jiwa yang menikmati. Bahtera duduk di sebuah tembok rumah kontrakan
sederhana. Menanti sang dewi keluar dari balik pintu kayu bercat merah hati.
Bagi Bahtera, dia adalah sang dewi kesayangan Tuhan. Perempuan yang terbiasa dengan make up tebal. Bibir
yang dipoles dengan gincu merah merekah.
Bulu mata yang lentik sulapan alat rias berjuluk Maskara. Alis yang tak pernah
ada alasan untuk tidak rapi. Sungguh perempuan yang diharuskan bersolek mewah.
"Tante Kemala," begitu Bahtera memanggilnya.
Perempuan PSK (Pekerja Seks Komersial) yang menjadi tempat berlindungnya. Sejak
empat bulan yang lalu, Bahtera pertama kali mengenalinya. Mereka berjumpa
secara tak sengaja di sebuah stasiun kereta dekat rumahnya. Ketika Bahtera
menjajakan dagangan asongan yang menjadi satu-satunya harapan penyambung hidup.
Entah ada apa dengan mereka, Kemala sangat menyayanginya bagai keluarga
sendiri. Begitu pun dengan Bahtera, dia senantiasa berlindung pada sang Lonte.
Sejak pertemuan itu, Bahtera biasa bermain ke
kontrakan Kemala. Sebelum berangkat menyisir kerasnya hidup di antara gerbong-gerbong
angkuh, Bahtera biasa disediakan susu putih kental manis yang menjadi penyemangatnya
untuk 10 jam ke depan. Berangkat jam 7 sehabis matahari terbit hingga tiba di rumah
setelah metahari berpamitan untuk kembali esok.
"Ada hadiah untuk Bahtera." Senyum yang
benar-benar tulus di bibir Tante Kemala. Dia menyerahkan bingkisan berwarna gold.
"Bukalah," sambungnya.
Bahtera mengangguk. Matanya memerah.
"Kenapa engkau menangis?"
"Tante sangat baik pada Bahtera, bahkan lebih
baik dari keluarga sendiri."
"Untuk apa engkau bersedih atas hal yang tidak
berguna nak, bahkan tante lebih bahagia memiliki engkau. Seandainya Tuhan mentakdirkan
kita menjadi anak dan Ibu, maka orang paling bahagia di dunia ini adalah tante."
Kemala mengelus rambut Bahtera.
"Tapi kenapa tante sayang Bahtera?"
Kemala terkejut mendengar pertanyaannya. Sungguh
dirinya tak memiliki jawaban atas pertanyaan Bahtera. Sebab dia tidak tahu
tentang alasan mengapa dia sangat menyayangi anak itu. Tapi Tuhan sudah
mengirimkannya. Sungguh tak ada hal yang dapat disangka jika Tuhan sudah
menginginkan. Perempuan yang paling rendah di mata masyarakat tapi dia berhati malaikat.
Perempuan yang tidak pernah menemukan tempat di hati masyarakat tapi dia mampu
menjadi seorang peri pelindung bagi bocah yang hidup melarat.
"Nanti malam temui tante di stasiun biasa
ya, nanti tante ajak kamu ke resto
terdekat. Kita makan-makan enak di sana." Kemala membuat perjanjian.
Bahtera tersenyum kegirangan.
"Tapi kenapa bertemunya tidak di sini saja
Tante?"
"Jangan, tante masih ada janji siang ini, mungkin
pulangnya sampai nanti malam sebelum kita berangkat. Jadi bertemunya di stasiun
saja. Lagian biar tidak ada yang lihat kita. Takut disangka kita pacaran."
Bahtera tertawa terpingkal mendengar guyonan Kemala.
"Kalau Bahtera pacaran sama tante nantinya dikirain
cucu sama nenek." Bahtera menambahkan.
Mereka berdua Kembali tertawa.
***
Malam yang dinantikan.
Malam ke-2 di tahun yang anyar akan menjadi sejarah
untuk pertama kalinya Bahtera bisa makan enak setelah kepergian orang tua
tersayang. Maklumlah, sejak itu Bahtera hidup sendirian di rumah peninggalan
orang tuanya. Kakek nenek dari ayah dan ibu sudah lama tiada, bahkan orang tua dari ayahnya sudah meninggal dunia sebelum
Bahtera lahir ke dunia. Keluarga yang lain entah ke mana, bagi mereka seakan tidak pernah ada kisah
Bahtera kecil hadir ke dunia. Hidup seperti ini terlalu berat baginya. Diusianya
yang masih menginjak angka ke-10 harus menjalani getirnya hidup. Tapi masih
beruntunglah dia, ada Kemala yang menyayanginya meski mereka tak hidup serumah.
Paling tidak ada tempat untuk sekadar berbagi menghapus lara.
"Tante Kemala," Bahtera memanggil Kemala
dari Kejauhan.
Mereka sampai di stasiun hampir bersamaan, namun dari arah
yang berbeda. Bahtera yang berusaha
tampil rapi dengan baju seadanya. Kemala dengan riasan seperti biasa,
sebagaimana dia menemui para tamunya.
Di pojok proyek stasiun yang belum rampung, ada rahasia
di balik amanah negeri ini yang tak sengaja mereka dengar. Rupanya, kekayaan negeri
ini menjadi kesempatan bagi mereka yang berbuat curang. Pembangunan serentak di
mana-mana, berpuluh tahun tak kunjung usai. Rupiah yang tak sedikit jumlahnya
dihabiskan, tapi satu proyek pun tak kelar. Ada pula yang kelar tapi sepuluh
tahun saja berdiri sudah harus diperbaiki. Entah sudah berapa banyak hutang negeri
ini.
Perempuan berkepala 4 dengan jaz berwarna hitam di padukan
dengan rok panjang beserta kerudung panjang hingga menutupi hampir sebagian jaznya.
Sebuah aksesoris hitam dipasang di kedua matanya, sedang bersama kedua rekannya
yang berbeda jenis kelamin. Mereka ternyata menjadi dalang dari sebuah proyek stasiun
yang tak kunjung selesai. Rupanya benar kata banyak orang bahwa di negeri ini
begitu krisis kejujuran dari para pengendalinya.
"Rupanya kalian dalang dari proyek yang tak
kunjung kelar ini?" Kemala memergoki mereka yang tengah berencana untuk
perihal selanjutnya.
Mereka terkejut ada yang mengetahuinya, tapi begitulah
orang-orang tak bertanggung jawab, bukan mengakui kesalahan tapi melawan
kebenaran.
"Apa yang engkau lakukan di sini?"
"Seharusnya saya yang bertanya kepada Nyonya.
Apakah Nyonya mandor dari proyek ini? Tapi bukankah pekerja sudah kembali sejak
jam 5 sore?"
"Engkau siapa?"
"Maaf, aku hanya rakyat kecil dari desa ini yang
tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian bahwa kalian adalah termasuk dari
salah satu parasit negeri ini."
"Oh, aku tahu. Dilihat dari penampilannya rupanya
engkau yang bernama Kemala, sang pelacur ulung di desa ini. Rupanya pelangganmu
dari para kelas elite. Bukankah engkau yang sering menjadi pemuas nafsu para
pejabat tak bertanggung jawab itu?"
"Wah Nyonya, rupanya Nyonya mengakui bahwa rekan-rekan
Nyonya menyukai perihal serendah itu."
"Sebenarnya apa maumu? Engkau mau uang? Katakan
saja asal engkau tutup mulut tentang apa yang engkau dengar, dan bocah ini, aku
bisa belikan apa saja yang dia mau. Rupanya dia anak melarat." Perempuan
yang sudah merasa keselamatan dirinya terancam menawarkan banyak hal pada
Kemala dan Bahtera.
"Rupanya orang-orang seperti tante yang
menjadikan negeri ini begitu banyak orang melarat. Bahkan Bahtera harus
menderita sejak kecil. Jangankan untuk melanjutkan sekolah, untuk makan saja Bahtera
harus berjualan dulu. Untung jika ada yang laku, jika tidak, Bahtera harus
berpuasa."
Ternyata Bahtera pun mengerti apa yang sedang
dilakukan perempuan itu kepada negeri ini. Dia melawan dengan kepolosannya tapi
ambisi tidak cukup jika hanya dilawan kelemahan.
Perempuan itu mengalihkan pembicaraan, bermodal rok panjang
dan tudung panjangnya dia mulai berdalih.
"Mau jadi apa negeri ini jika pemerintah
membiarkan perempuan hina sepertimu berkeliaran di negeri yang mayoritas bangsanya
beragama Islam. Sungguh tidak ada tempat bagi perempuan sepertimu. Dan, negeri
ini tidak akan pernah maju jika membiarkan bocah berkeliaran tak sekolah,
bocah-bocah kumuh seperti Bahtera adalah penghambat majunya negeri ini." Perempuan
berkaca mata hitam itu mengoceh tentang Islam dan negeri ini. Betapa tidak
sakitnya hati Kemala mendengarnya.
"Maaf Nyonya, dengan hormat saya mengatakan bahwa
selama masih ada orang-orang seperti Nyonya, negeri ini tidak akan pernah maju,
perusak yang mengatasnamakan agama, orang-orang besar yang tidak pernah
memperdulikan bocah yang entah hidupnya bagaimana, apa yang dia makan, apa yang
dia pakai, apa yang dia rasa." Kemala membela diri atas penghinaannya.
"Jangan pernah engkau mengajari aku, perempuan
penggoda, apa yang engkau tahu tentang negeri ini, tentang Islam dan kaum yang
tersampingkan?" Dia mengangkat alisnya.
"Apa pantas seorang muslimah dengan pakaian tertutup
beserta tudung lebarnya berbicara sekeras itu. Saya asli putri dari negeri ini.
Keluarga saya semuanya Islam. Tapi tidak pernah mengajarkan bahwa Islam menjadi
pencuri di negeri sendiri."
"Dan, sangat tidak terhormat, seorang muslimah
mencaci maki anak yatim piatu seperti
Bahtera. Bukankah dalam Kitab Suci Nyonya sudah dijelaskan bahwa anak yatim itu
harus disayangi, salah satunya sudah dijelaskan dalam Surat Al-Ma'un, begitu
bukan?"
"Nyonya, saya mengakui bahwa saya bukan perempuan
suci, tapi saya lebih terhormat daripada Nyonya. Sudah jelas jika saya seorang
pekerja seks komersial, tapi, Nyonya seorang muslimah secara penampilan, namun
menjadi parasit di negeri sendiri. Sudah berapa banyak uang bangsa yang Nyonya lahap
sendiri?"
Perdebatan mereka terus berlanjut hingga larut malam.
Di depan proyek pembangunan stasiun yang belum rampung ini Kemala seakan
dihakimi untuk suatu kesalahan. Kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Tapi apa
hendak dikata, begitu banyaknya orang-orang yang tak berpihak pada kejujuran di
negeri ini. Kemala harus mengakhiri perjuangannya dengan pasrah pada Tuhan. Dia
tidak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang tak bertanggung jawab main hakim
sendiri. Demi kesalahan yang ditutupi, mereka kehilangan kesadaran bahwa sesama
manusia bersaudara. Tapi Semua itu hanya menjadi kisah yang pernah didengar
saja bagi mereka. Selebihnya, siapa yang kuat dia yang dapat. Penyimpangan sulit
terungkap, sebab terbalut rapi dalam penampilan.
***
Matahari gagah di atas kepala Bahtera. Dia tidak mengetahui
apa yang semalam terjadi antara Kemala dan para penjahat itu. Dia dipaksa pergi
ketika perdebatan memanas. Hari ini dia ingin menemui Kemala di rumah kontrakannya.
Tapi, langkahnya terhenti ketika seorang pengantar koran melempar koran terbaru
ke depan sebuah rumah. Tidak sengaja Bahtera melihat topik utama hari ini: "DITEMUKAN
SEORANG MAYAT PSK DI PINGGIR REL KERETA. DIDUGA KORBAN PEMBUNUHAN DENGAN LUKA
BACOK DI TUBUHNYA."
Kakinya tak mampu lagi digerakkan. Bersama siapa dia
akan hidup selanjutnya. Bahtera benar-benar sendiri. Tuhan sungguh menguji
kekuatannya.
Lonteku ...
Terima kasih ...
Atas pertolonganmu di malam itu.
Lonteku...
Mari kita lanjutkan cerita hari esok ...
Tapi hanya Tuhan yang mendengar rintihannya.*
***
Serang, 03 Januari 2017
__________
*) Penulis adalah alumni MTs
Al-Wathan tahun 2012. Cerpen ini ditulis di perantauan di Serang Banten.
* Lagu Iwan Fals.
No comments:
Post a Comment