Monday, July 16, 2018

IKHLASKU

Oleh Uswatun Faizah *)
Aku beranjak meninggalkan kursi rotan yang kubebani pundaknya dengan berat badanku sejak sekitar 35 menit yang lalu. Aku tinggalkan Mas Ren sendirian di ruang tamu. Suami yang begitu setia dan mengagumiku dengan kesungguhan hatinya.

Aku Masih sangat kecewa, aku muak melihat wajahnya. Bahkan, ketika melihat barang-barangnya pun rasanya aku ingin muntah. Bajunya di tempat gantungan, buku-bukunya di meja, pecinya di dekat lampu, aku ingin membakar habis semua benda itu.

Sejak menikah 8 bulan yang lalu, kami hidup sebagai keluarga yang bahagia, kami hidup mandiri dari gaji Mas Ren sebagai salah seorang dokter di sebuah rumah sakit di kota tempat kami tinggal.

Aku tidak pernah menuntut akan suatu hal pun kepadanya. Sebab, sebagai suami, dia sudah menjadi suami yang mampu menafkahi lahir batin. Tidak pernah aku temukan kebutuhan rumah tangga kami yang tidak Mas Ren tepati. Sungguh dia suami yang baik.

Tapi jalan tetap jalan. Tak selamanya lurus, terkadang kita menemui tanjakan, jalan berliku, bahkan suatu hal yang tak diduga pun hadir tanpa kita menyadari sebelumnya.

Seperti setiap hari libur, kami selalu menghabiskan waktu berdua di rumah. Kami bersama-sama menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum beres. Kami selalu menyempatkan momen terindah dari waktu libur Mas Ren yang hanya 1 hari dalam seminggu. Maklumlah, dia seorang dokter kandungan yang amat dibutuhkan jasanya.

Pagi ini, ada hal ganjil yang menimpa keluarga kecil kami. Seusai membuatkannya susu hangat, aku seduh segelas susu buat aku dan janinku yang masih berumur 4 bulan. Lalu kami mulai berbincang hangat di ruang tamu. Sesekali aku bermanja tuk mendapat perhatian lebih darinya. Walaupun sebenarnya aku tidak pernah haus perhatian darinya. Hanya saja aku ingin kelihatan lebih genit di depan suamiku.

"Dik, aku ingin engkau ikhlas berbagi hati dengan orang lain. Aku ingin menikahi pasienku. Ratna, janda yang sedang mengandung 8 bulan. Dia ditinggal mati suaminya 20 hari yang lalu."

Aku merasa Mas Ren sengaja membuatku cemburu. Sebab, seperti biasa dia selalu memberiku kejutan yang tidak pernah bisa aku lupakan.

"Ih, Mas Ren nakal." Aku peluk dia, karena aku tahu dia ingin menggodaku.

"Dik, maaf," Mas Ren melepas pelukanku.

"Mas tidak sedang menggodamu seperti biasa. Kali ini sungguhan. Mas serius, aku tidak tega dengan Ratna yang harus menanggung beban begitu beratnya. Orang tuanya sudah tiada. Ibu mertua, satu-satunya keluarga yang tersisa kini harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa setelah kematian anaknya."

Aku tak menjawab. Ternyata ini bukan sebuah kejutan seperti di hari-hari  libur sebelumnya. Aku tidak menyangka saja Mas Ren akan menghadapi hal semacam itu. Entahlah, apa yang akan aku perbuat selanjutnya.

Hatiku hancur. Entah, bagaimana membahasakan sakit yang kurasa kini. Aku kehilangan sayap untuk kembali terbang menikmati indahnya bintang di malam hari.
***
25 hari berlalu, sejak kejadian di pagi itu, Mas Ren lebih sering ambil cuti bekerja. Dia lebih suka berdiam diri di ruang kerja. Mengotak-atik laptop, membaca buku, atau sekadar merenung, entah apa yang dipikirkan.

Pagi-pagi sekali aku menemuinya di ruang kerja. Entah apa yang akan aku katakan, sejak semalam aku ingin sekali menemuinya, meski tidak tahu apa yang akan aku katakan padanya. Aku ikuti saja kata hatiku yang berisik sejak semalam.

Aku berdiri mematung di jantung pintu. Mulutku terkunci rapat untuk sekadar tersenyum padanya. Sejak 25 hari yang lalu, kami lebih banyak diam. Aku lebih memilih berdiam diri di kamar bersama tumpukan majalah beserta buku-buku ilmiah.

Mas Ren menyadari kedatanganku. Dia tersenyum manis, bahkan lebih manis dari biasanya.

"Datanglah kepadaku, sejujurnya engkau perempuan yang kuat lagi baik." Mas Ren menyingkap ketegangan di antara kami berdua.

"Mas mengerti, butuh waktu yang tak sebentar untuk perihal yang terlalu besar bagi kita," dia menambahkan.

Aku memaksakan tersenyum.

"Semalam ibu datang menemuiku Mas, beliau sudah aku beritahukan masalah di antara kami. Jadi, menikahlah dengan perempuan itu," mataku berkaca-kaca setelah kalimat berat itu aku ucapkan.

"Aku mencoba mengikhlaskan berbagi perasaan, sebab aku tahu rasa sakitnya hadir ke dunia tanpa Ayah." "Ikhlasku hanya demi janin yang malang itu." Mas Ren tetap diam dalam perasaan yang entah.

"Aku bukan perempuan yang baik Mas, aku hanya mencoba merelakan berbagi perasaan dengan perempuan lain, walaupun sebenarnya aku tidak pernah merelakan cinta Mas terbagi." Aku mengambil nafas.

" Jika suatu saat nanti di antara kita ada yang terluka, biarlah Tuhan yang menentukan jalan selanjutnya. Sebab, aku bukan perempuan kuat seperti yang Mas bayangkan. Aku berbuat demikian hanya karena merasa malu, selama ini Mas sudah sangat menyanjungku sebagai perempuan yang kuat lagi baik. Tapi jika ditanya kebenarannya, aku tidak pernah rela berbagi suami dengan orang lain. Jadi, tolonglah Mas, jangan pernah buat aku cemburu." Aku menangis.

Mas Ren menenggelamkanku dalam dekapannya.

"Jangan pernah menomorduakan aku Mas."  Mas Ren mengangguk. Kemudian terjadi sunyi senyap dalam ruangan ini.

Dua hari setelahnya, tepatnya hari ini, Mas Ren libur dinas. Kami sengaja mendatangi Ratna sebagai calon pengantin baru Mas Ren. Kami ingin benar-benar meyakinkan Ratna bahwa kami sudah sama-sama menerima jika harus hidup dalam satu atap dengan Mas Ren. Satu suami dengan dua Istri.

Sebagai perempuan yang sudah terlanjur dinilai sempurna di mata suami, aku berusaha tampil sekuat mungkin. Bagaimana Mas Ren tidak dapat membaca luka yang aku simpan dalam-dalam. Aku selalu berusaha bagaimana aku terlihat menjadi perempuan kuat dengan senyum tipis.

Kami datang dengan segala senyum yang dipaksakan. Terutama bagiku sebagai istri pertama dari seorang pria yang sebentar lagi akan kembali menjadi pengantin baru dengan perempuan baru. Tapi, senyumku tak dapat aku paksa lagi. Air mata tetap membahasakan segala kepedihan di hati. Setiba kami di rumah Ratna, aku tersentak dengan kejadian ganjil yang tidak pernah dapat aku baca sebelumnya.

"Ratna." Yah, perempuan yang sebentar lagi menjadi  ratu dalam singgasana hati Mas Ren adalah Ratna sahabat karibku sejak kecil. Kami berpisah setelah sama-sama melanjutkan kuliah di luar kota.

Sejak hijrah ke kota lain, meninggalkan indah panorama kota Bandung. Kami nyaris putus kontak. Hanya beberapa bulan sekali disempatkan ngobrol via handphone. Maklumlah, kami adalah wanita yang berbeda dengan impian yang sama-sama mapan. Kami terlalu disibukkan dengan ambisi masing-masing.

Setahun yang lalu aku mendapat undangan pernikahan darinya. Tapi sangat disesali aku tidak dapat hadir karena sedang ada kepentingan mendesak di kota yang lain. Hanya mendapat kabar dari keluarga bahwa Ratna dinikahi pria mapan. Tapi nasib tak semapan harapan. Kenyataan, terkadang saling berbanding terbalik dengan impian.

Aku dan Ratna sama-sama tidak mengerti mengapa ini terjadi. Tapi apa hendak dikata, aku tidak bisa banyak bicara ketika Ratna berbisik di telingaku "Tolong aku, jangan beritahu Mas Ren bahwa kita saling mengenal. "
***
Gapura Sumenep, 14 Juni 2017

________

*) Penulis adalah alumni MTs Al-Wathan tahun 2012. Saat ini ia bahagia tinggal di Gapura Sumenep bersama suami dan anak tercinta.

No comments:

Post a Comment