Oleh Uswatun Faizah *) |
Aku beranjak meninggalkan kursi rotan
yang kubebani pundaknya dengan berat badanku sejak sekitar 35 menit yang lalu. Aku
tinggalkan Mas Ren sendirian di ruang tamu. Suami yang begitu setia dan
mengagumiku dengan kesungguhan hatinya.
Aku Masih sangat kecewa, aku muak
melihat wajahnya. Bahkan, ketika melihat barang-barangnya pun rasanya aku ingin
muntah. Bajunya di tempat gantungan, buku-bukunya di meja, pecinya di dekat
lampu, aku ingin membakar habis semua benda itu.
Sejak menikah 8 bulan yang lalu, kami
hidup sebagai keluarga yang bahagia, kami hidup mandiri dari gaji Mas Ren
sebagai salah seorang dokter di sebuah rumah sakit di kota tempat kami tinggal.
Aku tidak pernah menuntut akan suatu hal
pun kepadanya. Sebab, sebagai suami, dia sudah menjadi suami yang mampu
menafkahi lahir batin. Tidak pernah aku temukan kebutuhan rumah tangga kami
yang tidak Mas Ren tepati. Sungguh dia suami yang baik.
Tapi jalan tetap jalan. Tak selamanya lurus,
terkadang kita menemui tanjakan, jalan berliku, bahkan suatu hal yang tak
diduga pun hadir tanpa kita menyadari sebelumnya.
Seperti setiap hari libur, kami selalu
menghabiskan waktu berdua di rumah. Kami bersama-sama menyelesaikan pekerjaan
rumah yang belum beres. Kami selalu menyempatkan momen terindah dari waktu libur Mas Ren yang hanya 1 hari dalam seminggu. Maklumlah,
dia seorang dokter kandungan yang amat dibutuhkan jasanya.
Pagi ini, ada hal ganjil yang menimpa
keluarga kecil kami. Seusai membuatkannya susu hangat, aku seduh segelas susu
buat aku dan janinku yang masih berumur 4 bulan. Lalu kami mulai berbincang
hangat di ruang tamu. Sesekali aku bermanja tuk mendapat perhatian lebih
darinya. Walaupun sebenarnya aku tidak pernah haus perhatian darinya. Hanya
saja aku ingin kelihatan lebih genit di depan suamiku.
"Dik, aku ingin engkau ikhlas
berbagi hati dengan orang lain. Aku ingin menikahi pasienku. Ratna, janda yang
sedang mengandung 8 bulan. Dia ditinggal mati suaminya 20 hari yang lalu."
Aku merasa Mas Ren sengaja membuatku
cemburu. Sebab, seperti biasa dia selalu memberiku kejutan yang tidak pernah
bisa aku lupakan.
"Ih, Mas Ren nakal." Aku peluk
dia, karena aku tahu dia ingin menggodaku.
"Dik, maaf," Mas Ren melepas
pelukanku.
"Mas tidak sedang menggodamu
seperti biasa. Kali ini sungguhan. Mas serius, aku tidak tega dengan Ratna yang
harus menanggung beban begitu beratnya. Orang tuanya sudah tiada. Ibu mertua,
satu-satunya keluarga yang tersisa kini harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa
setelah kematian anaknya."
Aku tak menjawab. Ternyata ini bukan
sebuah kejutan seperti di hari-hari
libur sebelumnya. Aku tidak menyangka saja Mas Ren akan menghadapi hal
semacam itu. Entahlah, apa yang akan aku perbuat selanjutnya.
Hatiku hancur. Entah, bagaimana
membahasakan sakit yang kurasa kini. Aku kehilangan sayap untuk kembali terbang
menikmati indahnya bintang di malam hari.
***
25 hari berlalu, sejak kejadian di pagi
itu, Mas Ren lebih sering ambil cuti bekerja. Dia lebih suka berdiam diri di
ruang kerja. Mengotak-atik laptop, membaca buku, atau sekadar merenung, entah
apa yang dipikirkan.
Pagi-pagi sekali aku menemuinya di ruang
kerja. Entah apa yang akan aku katakan, sejak semalam aku ingin sekali
menemuinya, meski tidak tahu apa yang akan aku katakan padanya. Aku ikuti saja
kata hatiku yang berisik sejak semalam.
Aku berdiri mematung di jantung pintu. Mulutku
terkunci rapat untuk sekadar tersenyum padanya. Sejak 25 hari yang lalu, kami
lebih banyak diam. Aku lebih memilih berdiam diri di kamar bersama tumpukan
majalah beserta buku-buku ilmiah.
Mas Ren menyadari kedatanganku. Dia
tersenyum manis, bahkan lebih manis dari biasanya.
"Datanglah kepadaku, sejujurnya
engkau perempuan yang kuat lagi baik." Mas Ren menyingkap ketegangan di antara
kami berdua.
"Mas mengerti, butuh waktu yang tak
sebentar untuk perihal yang terlalu besar bagi kita," dia menambahkan.
Aku memaksakan tersenyum.
"Semalam ibu datang menemuiku Mas,
beliau sudah aku beritahukan masalah di antara kami. Jadi, menikahlah dengan
perempuan itu," mataku berkaca-kaca setelah kalimat berat itu aku ucapkan.
"Aku mencoba mengikhlaskan berbagi
perasaan, sebab aku tahu rasa sakitnya hadir ke dunia tanpa Ayah." "Ikhlasku
hanya demi janin yang malang itu." Mas Ren tetap diam dalam perasaan yang
entah.
"Aku bukan perempuan yang baik Mas,
aku hanya mencoba merelakan berbagi perasaan dengan perempuan lain, walaupun
sebenarnya aku tidak pernah merelakan cinta Mas terbagi." Aku mengambil
nafas.
" Jika suatu saat nanti di antara
kita ada yang terluka, biarlah Tuhan yang menentukan jalan selanjutnya. Sebab,
aku bukan perempuan kuat seperti yang Mas bayangkan. Aku berbuat demikian hanya
karena merasa malu, selama ini Mas sudah sangat menyanjungku sebagai perempuan
yang kuat lagi baik. Tapi jika ditanya kebenarannya, aku tidak pernah rela
berbagi suami dengan orang lain. Jadi, tolonglah Mas, jangan pernah buat aku
cemburu." Aku menangis.
Mas Ren menenggelamkanku dalam
dekapannya.
"Jangan pernah menomorduakan aku Mas." Mas Ren mengangguk. Kemudian terjadi sunyi
senyap dalam ruangan ini.
Dua hari setelahnya, tepatnya hari ini, Mas
Ren libur dinas. Kami sengaja mendatangi Ratna sebagai calon pengantin baru Mas
Ren. Kami ingin benar-benar meyakinkan Ratna bahwa kami sudah sama-sama
menerima jika harus hidup dalam satu atap dengan Mas Ren. Satu suami dengan dua
Istri.
Sebagai perempuan yang sudah terlanjur
dinilai sempurna di mata suami, aku berusaha tampil sekuat mungkin. Bagaimana Mas
Ren tidak dapat membaca luka yang aku simpan dalam-dalam. Aku selalu berusaha
bagaimana aku terlihat menjadi perempuan kuat dengan senyum tipis.
Kami datang dengan
segala senyum yang dipaksakan. Terutama bagiku sebagai istri pertama dari
seorang pria yang sebentar lagi akan kembali menjadi
pengantin baru dengan perempuan baru. Tapi, senyumku tak dapat aku paksa lagi.
Air mata tetap membahasakan segala kepedihan di hati. Setiba kami di rumah
Ratna, aku tersentak dengan kejadian ganjil yang tidak pernah dapat aku baca
sebelumnya.
"Ratna." Yah, perempuan yang
sebentar lagi menjadi ratu dalam
singgasana hati Mas Ren adalah Ratna sahabat karibku sejak kecil. Kami berpisah
setelah sama-sama melanjutkan kuliah di luar kota.
Sejak hijrah ke kota lain, meninggalkan
indah panorama kota Bandung. Kami nyaris putus kontak. Hanya beberapa bulan
sekali disempatkan ngobrol via handphone.
Maklumlah, kami adalah wanita yang berbeda dengan impian yang sama-sama mapan.
Kami terlalu disibukkan dengan ambisi masing-masing.
Setahun yang lalu aku mendapat undangan
pernikahan darinya. Tapi sangat disesali aku tidak dapat hadir karena sedang
ada kepentingan mendesak di kota yang lain. Hanya mendapat kabar dari keluarga
bahwa Ratna dinikahi pria mapan. Tapi nasib tak semapan harapan. Kenyataan,
terkadang saling berbanding terbalik dengan impian.
Aku dan Ratna sama-sama tidak mengerti
mengapa ini terjadi. Tapi apa hendak dikata, aku tidak bisa banyak bicara
ketika Ratna berbisik di telingaku "Tolong aku, jangan beritahu Mas Ren
bahwa kita saling mengenal. "
***
Gapura
Sumenep, 14 Juni 2017
________
*) Penulis adalah alumni MTs Al-Wathan
tahun 2012. Saat ini ia bahagia tinggal di Gapura Sumenep bersama suami dan
anak tercinta.
No comments:
Post a Comment