Oleh Masmamah*) |
Noer
.....
Gadis
dari dua bersaudara itu sangat berbeda, dia lebih terlihat sayu dan menyimpan
rapat semua perasaan sehingga sangat sulit orang lain membacanya. Kebiasaannya
adalah menyendiri dan tidak banyak berbicara. Sungguh sederhana dari cara
berpakaiannya. Dia bukan berasal dari keluarga yang kekurangan, melainkan
ayahnya adalah seorang juragan yang banyak memiki sawah dan ternak. Sejak ditinggal
ibunya, Noer lebih tertutup dan tidak mau bergabung dengan teman-temannya.
Gadis yang rajin, puji semua tetangganya karena Noer sering ikut membantu
pekerjaan ibunya di sawah mencari pakan sapi, bercocok tanam adalah
kebiasaannya, tapi sekarang dia seperti kehilangan semangat hidup, orang yang
dijadikan panutannya kini telah pergi dan entah kapan dia kembali dan mungkin
tidak akan pernah kembali karena kata mereka ibunya pergi ke alam yang berbeda.
Noer lebih suka berbicara sendiri, menangis, tertawa tanpa ada penyebabnya.
Keluarga
Noer terbilang kaya dengan hasil panen yang banyak, namun Noer tidak bisa
menikamatinya karena semua itu masuk ke kantong ayahnya. Saudara Noer kini
sudah berada di tanah rantau dan tidak pernah pulang, hanya Noer seorang yang
tinggal dengan ayahnya. Dan semua kepahitan hidup hanya Noer saja yang
merasakan melalui ekspresi yang tidak bisa diterjemahkan. Hanya diperas tenaga
layaknya seorang pekerja tanpa upah pelepas keringat. Untuk mendapat uang
harian, Noer harus bekerja sampingan meminta kepada tetangga barangkali ada
yang bisa ia kerjakan.
Siang
itu, Noer kembali teringat pada sang ibu yang telah pergi. Saat mendengar
ayahnya hendak kawin lagi, ia takut dengan hadirnya orang lain dalam
kehidupannya hanya akan membuat keadaan semakin runyam. Perlahan air bening
keluar dari matanya benar-benar murni bentuk ketakutan sorang anak yang
menyaksikan ibunya diperlakukan secara tidak adil oleh ayahnya sendiri. Noer
ingin mengungkapkan yang sebenarnya sudah dikubur belasan tahun lamanya sejak
ia mengerti tentang sebuah perasaan bahwa ia menyesal menjadi bagian dari darah
daging pria itu.
Dari
ribuan tetes hujan yang jatuh, air matanya pun tak bisa ia bendung membasahi
baju merah tua yang ia kenakan, yang terjadi sebenarnya bukan kehendaknya. Wanita
itu sudah masuk ke dalam keluarganya dan wanita itu sangat kejam namun tidak
ada pembelaan satu kata pun dari ayahnya.
“Aku
juga manusia dan aku juga berhak diperlakukan adil, aku bukan budak atau anjing
pelihaan kalian.” Sekian lama ia bungkam dan kala itu pun ia berani berseru.
Kejengkelan
ibu tiri terhadap anak lugu itu kian memuncak tanpa segan dan takut. Dia pun
mencubit dan memukuli kakinya dengan rotan. Kejadian itu terus dilakukannya
saat hati wanita itu sedang kesal. Hal itu terus berlanjut sampai gadis lugu
itu tumbuh dewasa. Kini ia telah menjadi gadis cantik namun tampak kelihatan
kumuh karena ia tidak pernah terpikir untuk merias diri selain hanya untuk
bekerja dan membawa uang hasil kerjanya kepada ibu tirinya setelah sang ayah
meninggal dan tidak memberikan satu petak tanah pun untuk Noer, dan semua tanah
dan ternak jatuh ke tangan wanita asing itu. Sungguh malang Noer tidak bisa
menikmati masa muda. Belanja dengan teman, merias diri dan bahkan jatuh cinta
pun Noer tidak berani bermimpi karena dirinya hanya disibukkan bekerja di sawah
ayahnya yang kini sudah menjadi milik wanita itu.
Noer
sangat kumuh dan cara berpakaian yang tidak modern membuat ia dijauhi oleh
teman sebayanya. Ia hanya bergaul dengan ibu-ibu pekerja yang lain tanpa
bersolek dan bergincu. Bukan seperti gadis pada usianya. Kulitnya yang kuning
langsat kini sudah mulai pekat karena terbakar sinar matahari.
Ada
seorang pemuda yang secara diam-diam memperhatikan Noer, prihatin akan nasibnya.
Pemuda itu berniat untuk mempersuntingnya. Pemuda itu mendatangi kediaman Noer
dengan tujuan untuk melamarnya, namun ibu tiri Noer tidak ingin Noer pergi
meninggalkan rumahnya sehingga lamaran itu pun di tolak. Noer tidak pernah tahu
soal itu dan tidak pernah mau tahu, yang ia pahami hanya tentang pekejaan. Ibu
tiri Noer semakin geram karena pria itu tidak pernah mau menyerah. Dia selalu
datang untuk meminta restu darinya dan menjadikannya menantu.
Tanpa
sepengetahuan ibu tirinya, pemuda itu diam-diam menemui Noer di sawah. Noer yang
sibuk bekerja tidak pernah memperhatikan hal yang lainnya sehingga ia tidak
sadar bahwa pemuda yang ada di pinggir sawah sedang memanggilnya, lalu ibu-ibu
yang sedang berada di dekat Noer memberitahunya bahwa pemuda itu sedang
memanggilnya. Noer pun ragu dan melangkah menuju pemuda itu penuh pertanyaan,
apa ia pernah berbuat salah yang tidak pernah ia sadari atau dan atau, seribu
pertanyaan telah mengelilinginya karena sebelumnya tidak pernah ia alami hal
semacam itu.
“Noer,
kenalkan aku Firman. Aku ingin tahu banyak tentang kamu” sambil mengulurkan
tangannya. Noer pun masih terdiam, ia masih tidak percaya apa yang baru saja ia
dengar.
“Noer,
apa kau mendengarku?” Firman penuh tanya.
“Haaa?
Iya ada apa?” tanyanya singkat.
“Noer
jika kau mengizinkan, aku ingin membebaskanmu, membawamu pergi dan memberikan
kebahagian yang kau butuhkan” tatapan Firman penuh harap.
“Di
sini tempatku dan aku tidak akan pernah pergi.” Kata Noer sambil berdiri dan
beranjak pergi meninggalkan Firman.
“Noer
aku tahu kau tidak nyaman dengan kehidupanmu, maka izinkan aku memeberikan
kebahagian yang kau rindukan selama ini Noer.”
Teriak Firman kepada Noer yang sudah mulai jauh meninggalkannya.
Noer
terus pergi tanpa menoleh ke arah Firman lagi. Noer masih tidak percaya apa
yang baru saja terjadi. Pemuda itu yang sering dibicarakan oleh ibu-ibu rekan
kerjanya saat makan siang tiba. Pemuda tampan yang sudah lulus kuliah dengan
predikat terbaik. Noer tidak mengerti apa yang sering dibicarakan oleh ibu-ibu
itu, tapi Noer menyimpulkan bahwa pemuda itu adalah orang yang pintar, meski
tidak mengenalnya dan hanya tahu nama pemuda itu dari cerita, tapi hari ini dia
hadir secara nyata dalam hari Noer, jantung Noer berdegup kencang tanpa bisa
kendalikan, namun Noer semakin takut masih terbayang akan perlakuan ayah kepada
ibunya. Bayang-bayang itu tidak bisa dihapuskan hingga kini telah mengakar dan
berwujud trauma.
Sore
telah menyapa dan waktu pulang telah tiba. Semua orang membereskan peralatannya
dan bergegas pulang menuju rumah masing-masing, begitu pula dengan Noer. Noer
berusaha menyembunyikan yang terjadi dan melupakannya. Ibu tirinya pun tidak
pernah memberi tahu Noer bahwa beberapa kali Firman telah melamarnya, karena di
rumah itu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah adalah Noer. Seperti sore itu,
sehabis pulang dari sawah, Noer masih harus memasak, mencuci pring dan menyapu
serta menyetrika pakaian ibu tirinya dan Noer kini sudah mencoba untuk ikhlas
dan menerimanya sebagai ujian hidup.
Paginya
pun masih harus memasak, menyapu dan mencuci pakaian ibu tirinya sebelum
berangkat ke sawah. Sesampainya di sawah Noer mendapati sebuah amplop berwarna
merah muda yang diberikan oleh ibu-ibu rekan kerjanya, entah dari siapa, ibu
itu pun tidak memberi tahunya juga, karena penasaran, Noer pun duduk di pinggir
sawah dan membuka isi amplop itu dan ternyata isinya adalah sebuah surat.
***
Noer ...
Aku ingin
bernyanyi tentang rindu, namun takut nada-nadaku membuat sunyimu semakin beku.
Telah kuhabiskan
dalam separuh perjalanku untuk sampai di tempatmu teramat curam jalannya Noer,
namun asaku tak pernah padam karena bidadari yang dititipkan dalam mimpiku itu
adalah kau.
Ada kewajiban yang
harus kupenuhi kepada Tuhan, yaitu untuk mengenalkanmu kepada kebahagiaan
Noer ...
Temani aku
menikmati indahnya hidup sampai senja usiaku tiba.
Firman Pamungkas
***
Noer
sangat kaget mendapati sepucuk surat yang Firman kirim dan juga pesan tambahan
yang disampaikan melalui ibu yang tadi bahwa Noer harus membalas suratnya. Noer
bingung apa yang harus ia perbuat. Noer tidak seperti biasanya dalam bekerja
setelah membaca isi surat dari Firman. Tubuhnya sempoyongan karena lagi-lagi
terbayang perbuatan ayahnya. Sebenarnya Noer membenci laki-laki dan menganggap
mereka adalah iblis yang berwujud manusia, tapi entah kenapa Noer tidak bisa
mengusai dirinya saat ia berhadapan dengan Firman. Akhirnya dengan dukungan
ibu-ibu rekan kerjanya, Noer pun berniat membalas surat Firman berharap agar
kejadian seperti itu tidak terulang kembali.
***
Pernah hilang
sadarku karena tuak di matamu membius sukma dan merangsang jiwa.
Perempuan jalang
sepertiku hanya mampu mengendus aromamu dari kembang bibir meraka yang
mengatakan “Kau sempurnanya paras.”
Tak sedikitpun
terpikir dalam otakku yang terbatas ini untuk menikmati secangkir kopi hangat
di ujumg senja bersamamu.
Semua jenis
bunga rela mekar sebelum waktunya untuk kau hinggapi, namun tidak denganku.
Waktuku ada
bukan untuk bercinta.
Terbanglah
setinggi mungkin dan kau bisa menemukan jawabannya.
Noer
***
Sedikit
lega setelah membalas surat dari Firman, walau apa yang ia tulis sebenarnya tidak
sama dengan yang ia rasakan. Surat itu lalu dititipkan kepada ibu yang kemarin
untuk diberikan kepada Firman.
***
Beberapa
bulan telah berlalu tanpa banyak orang yang menyadarinya bahwa banyak pula
perubahan yang telah terjadi. Noer kini sudah sering tidak kerja. Ibu-ibu rekan
kerja mencarinya namun tidak berani menemui di rumahnya karena ibu tiri Noer
yang merupakan juragan mereka pasti mengusirnya dan bisa jadi akan memecatnya. Jadi
mereka hanya bisa mendoakan Noer semoga baik-baik saja.
Entah
apa yang terjadi dengan Noer tidak ada yang tahu, di rumahnya pun tampak
terlihat sepi. Firman mencari kabar tentang Noer namun hasilnya masih tetap
sama hingga malam itu Firman pun memberanikan diri mendatangi rumah Noer dan
bertanya langsung kepada ibu tirinya. Naas terjadi, Firman hanya mendapati
amarah ibu tiri itu, pertanyaan tentang Noer belum juga terjawabkan namun Firman
tidak pernah putus asa terus mencari siang dan malam.
Pagi
itu ketika hendak berangkat kerja Firman bertemu dengan ibu rekan kerjanya Noer.
Dia memberi tahu Firman bahwa pernah melihat Noer di rumah juragan ayam di
kampung seberang ketika dia sedang berkunjung ke rumah anaknya di sana.
Seketika itu pula Firman langsung memutar arah menuju desa yang dimaksud.
Sesampainya di sana Firman langsung mendatangi rumah juragan ayam itu dan
langsung bertanya Noer di mana. Kaget bukan kepalang, ternyata pria yang
berdiri di hadapannya yang umurnya sekitar 60-an juragan ayam, dia adalah suami
Noer.
“Ada
keperluan apa sampean nyari istri saya?” Tanyanya sinis.
Firman
tidak bisa memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu ketika melihat Noer duduk
di kursi bersama ketiga istri juragan tua itu sambil menikmati kopi hangat di
pagi hari. Noer tampak bahagia bersama mereka, setidaknya sudah bisa terlepas
dari cengkraman singa ibu tirinya meski kini ia harus tinggal dalam satu atap
bersama ketiga istri suaminya yang lebih pantas menjadi ayahnya karena dari
segi umur sangatlah jauh lebih tua.
Firman
pulang dengan tangan hampa karena ia tidak bisa membawa pulang Noer yang kini
sudah berstatus istri orang. Yang terpenting bagi Firman
adalah kebahagiaan Noer dan sekarang Noer sudah bahagia bersama mereka.
***
Noer
Pagi ini hujan
turun membasahi bumiku yang telanjang
Menyapa asa gersang dan mimpi yang belum terselesaikan
Dingin merayuku untuk tetap tinggal
Tak bisa kuberbuat apa-apa Noer
***
*) Penulis adalah alumnus MTs Al-Wathan tahun 2012, mahasiswi semester enam
Jurusan Hukum pada Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Trunojoyo Bangkalan.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^