M. Khaliq Shalha
Secara maknawi, muara adalah tempat
berakhirnya aliran sungai di laut. Apa yang anda bayangkan tentang muara?
Secara kasat mata, orang memandangnya indah mungkin, tapi secara substansi, apa
yang ada di muara sungguh kadang mengerikan dan menjijikkan. Sebagai terminal
akhir dari aliran air sungai, muara adalah tempat yang menampung segala hal
yang di bawa air. Duri, lumpur, berbagai kotoran bercampur di dalam air suci
dan menyucikan (thahir muthahhir) itu. Seperti hal itu pulalah kondisi
lembaga pendidikan kecil yang ada di pelosok desa.
Sumber daya manusia tenaga pendidik
(guru) dan tenaga kependidikan (karyawan) lembaga pendidikan desa saat ini
rupanya sudah mengalami perkembangan cukup pesat, karena ditopang oleh
banyaknya putra daerah yang sudah memiliki galar sarjana dalam berbagai
jurusan, setelah mereka menempuh jenjang pendidikan di perguruan tinggi, baik
swasta maupun negeri. Hal itu berbeda jauh dengan kondisi tahun 1990-an. Kala
itu, jumlah sarjana desa masih bisa dihitung dengan jari. Dari segi sarana dan
prasarana mulai bagus juga, walau terbangun dengan tertatih-tatih, mengingat
sumber daya modalnya minim. Suatu hal yang sulit diatasi adalah kondisi
karakter sebagian murid-muridnya yang mbeling (nakal).
Lembaga pendidikan desa memiliki beban
lebih berat ketimbang lembaga pendidikan besar dan maju, baik milik pemerintah,
misalnya MTsN dan MAN atau milik pondok pesantren besar. Dengan jumlah murid
yang sangat sedikit, ketika diadakan tes masuk, bukan menentukan lulus
tidaknya, tapi sekadar mengetahui secara sepintas sejauh mana penguasaan calon
murid terhadap mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang sebelumnya.
Semuanya diluluskan (bukan lulus). Tak leluasa
memilih dan memilah. Tak berdaya menyaring dengan murni, karena jumlah muridnya
sangat terbatas.
Dengan demikian, murid-muridnya sangat
bervariasi. Dari segi motivasi belajar, ada yang punya semangat tinggi, sedang
dan ada pula yang tidak memiliki semangat belajar sama sekali. Dari segi
perilaku dan moral, ada yang mapan, setengah-setengah dan banyak yang
bergelagat nakal. Urusan minimnya intelektualitas mudah diatasi, tapi masalah
kenakalan tak mudah diselesaikan. Murid nakal umumnya mereka yang tidak
memiliki minat belajar. Ketika minat belajar tidak ada, timbul tingkah laku
menyimpang, misalnya tempat duduk dibuat ayunan, bangku dibuat reyot, pintu
digelantungi, kipas angin dilempari penghapus, tombol lampu dipereteli, dan
sejenisnya.
Lembaga pendidikan desa sungguh dilema.
Tipe murid mbeling jika dikeluarkan dari sekolah, apa jadinya masa depan mereka
nanti? Siapa yang akan mendidik di luar sana? Sekolah-sekalah besar dan favorid
jelas tidak mau menerima murid semacam itu. Mereka tak mau ribet dengan
murid-murid bermasalah. Masih banyak urusan lain yang krusial yang harus mereka
selesaikan untuk meningkatkan kualitas lembaganya. Begitulah kira-kira alasan
pihak lembaga favorid.
Kondisi seperti itu bagai masyarakat
jahiliah pada awal-awal dakwah Rasulullah SAW di Mekah. Tensi konfliknya agak
mirip. Jika Rasulullah berhasil merubah sejarah jahilian min
az-zhulumat ila an-nur, maka lembaga pendidikan desa juga optimis akan
berhasil, karena perjuangan pihak lembaga pendidikan sebagai bentuk perjuangan
dalam melanjutkan dakwah beliau pada masa kini.
Menyikapi kondisi seperti ini, pihak
lembaga pendidikan desa harus punya strategi jitu melebihi sekolah-sekolah
favorid. Komunikasi intens dengan berbagai pihak harus dilakukan secara
istikamah dengan berbagai pihak. Peranan guru, orang tua dan masyarakat harus
sama-sama diaktifkan sepenuh hati. Pihak lembaga harus sigap menyikapi gelagat
kenakalan murid, sehingga dapat mengantisipasinya sejak dini. Perlu diingat
bahwa kenakalan tercipta dalam suatu lingkungan berawal dari kenakalan satu orang
tapi dibiarkan sehingga menjalar pada orang-orang lain. Murid jangan diberi
kesempatan berperilaku nakal.
Bila upaya-upaya sudah dilakukan dengan
penuh kesabaran, tapi masih saja ada satu murid, misal, tidak bisa diatur,
malah mempengaruhi pada murid-murid yang lain, tak berlebihan kiranya bila
pihak lembaga mengambil tindakan tegas dengan cara murid yang bersangkutan
tidak dinaikkan kelas, bahkan kalau perlu dikeluarkan dari lembaga. Lebih baik
membuang satu murid perusak, demi menyelamatkan murid-murid yang lain.
Barangkali murid yang dikeluarkan itu tidak jodoh dengan lembaga yang dimaksud,
mungkin bisa berjodoh dengan lembaga lain. Lembaga pendidikan bisa disebut
rumah rehabilitasi mental untuk mencetak insan yang beriman, berilmu dan berakhlak.
Apabila mental murid makin tidak karu-karuan di lembaga itu, perlu dirujuk ke
rumah sakit lain. Takdirnya mungkin untuk menjadi orang baik perlu belajar di
tempat lain.
Lain halnya mengelola lembaga pendidikan
besar, misal, MTsN dan MAN atau milik pondok pesantren terkemuka, tentu tak
serumit lembaga pendidikan desa tersebut. Penerimaan muridnya melalui tahap
seleksi ketat, terutama MTsN dan MAN. Berbagai tes dilakukan, misalnya tes
potensi akademik. Banyak calon siswa yang hanya gigit jari karena tidak lulus.
Pendaftar yang lulus pun bila dikemudian hari bertindak nakal, pihak sekolah
begitu gampang untuk mengeluarkannya. Lagi-lagi murid “rongsokan” dari
lembaga-lembaga favorid yang tak masuk ukuran tersebut, alternatifnya kembali
ke desa, sehingga pengelola lembaga pendidikan desa benar-benar punya beban
berat sebagai lembaga muara. Mari bantu para pahlawan pengelola lembaga
pendidikan kecil di desa! Wallah a’lam.
Sumenep, 18 April 2016
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^