Saturday, July 7, 2018

LEMBAGA PENDIDIKAN KECIL DI DESA BAGAI MUARA


M. Khaliq Shalha


Secara maknawi, muara adalah tempat berakhirnya aliran sungai di laut. Apa yang anda bayangkan tentang muara? Secara kasat mata, orang memandangnya indah mungkin, tapi secara substansi, apa yang ada di muara sungguh kadang mengerikan dan menjijikkan. Sebagai terminal akhir dari aliran air sungai, muara adalah tempat yang menampung segala hal yang di bawa air. Duri, lumpur, berbagai kotoran bercampur di dalam air suci dan menyucikan (thahir muthahhir) itu. Seperti hal itu pulalah kondisi lembaga pendidikan kecil yang ada di pelosok desa.

Sumber daya manusia tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (karyawan) lembaga pendidikan desa saat ini rupanya sudah mengalami perkembangan cukup pesat, karena ditopang oleh banyaknya putra daerah yang sudah memiliki galar sarjana dalam berbagai jurusan, setelah mereka menempuh jenjang pendidikan di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Hal itu berbeda jauh dengan kondisi tahun 1990-an. Kala itu, jumlah sarjana desa masih bisa dihitung dengan jari. Dari segi sarana dan prasarana mulai bagus juga, walau terbangun dengan tertatih-tatih, mengingat sumber daya modalnya minim. Suatu hal yang sulit diatasi adalah kondisi karakter sebagian murid-muridnya yang mbeling (nakal).

Lembaga pendidikan desa memiliki beban lebih berat ketimbang lembaga pendidikan besar dan maju, baik milik pemerintah, misalnya MTsN dan MAN atau milik pondok pesantren besar. Dengan jumlah murid yang sangat sedikit, ketika diadakan tes masuk, bukan menentukan lulus tidaknya, tapi sekadar mengetahui secara sepintas sejauh mana penguasaan calon murid terhadap mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang sebelumnya. Semuanya diluluskan (bukan lulus). Tak leluasa memilih dan memilah. Tak berdaya menyaring dengan murni, karena jumlah muridnya sangat terbatas.

Dengan demikian, murid-muridnya sangat bervariasi. Dari segi motivasi belajar, ada yang punya semangat tinggi, sedang dan ada pula yang tidak memiliki semangat belajar sama sekali. Dari segi perilaku dan moral, ada yang mapan, setengah-setengah dan banyak yang bergelagat nakal. Urusan minimnya intelektualitas mudah diatasi, tapi masalah kenakalan tak mudah diselesaikan. Murid nakal umumnya mereka yang tidak memiliki minat belajar. Ketika minat belajar tidak ada, timbul tingkah laku menyimpang, misalnya tempat duduk dibuat ayunan, bangku dibuat reyot, pintu digelantungi, kipas angin dilempari penghapus, tombol lampu dipereteli, dan sejenisnya.

Lembaga pendidikan desa sungguh dilema. Tipe murid mbeling jika dikeluarkan dari sekolah, apa jadinya masa depan mereka nanti? Siapa yang akan mendidik di luar sana? Sekolah-sekalah besar dan favorid jelas tidak mau menerima murid semacam itu. Mereka tak mau ribet dengan murid-murid bermasalah. Masih banyak urusan lain yang krusial yang harus mereka selesaikan untuk meningkatkan kualitas lembaganya. Begitulah kira-kira alasan pihak lembaga favorid.

Kondisi seperti itu bagai masyarakat jahiliah pada awal-awal dakwah Rasulullah SAW di Mekah. Tensi konfliknya agak mirip. Jika Rasulullah berhasil merubah sejarah jahilian min az-zhulumat ila an-nur, maka lembaga pendidikan desa juga optimis akan berhasil, karena perjuangan pihak lembaga pendidikan sebagai bentuk perjuangan dalam melanjutkan dakwah beliau pada masa kini.

Menyikapi kondisi seperti ini, pihak lembaga pendidikan desa harus punya strategi jitu melebihi sekolah-sekolah favorid. Komunikasi intens dengan berbagai pihak harus dilakukan secara istikamah dengan berbagai pihak. Peranan guru, orang tua dan masyarakat harus sama-sama diaktifkan sepenuh hati. Pihak lembaga harus sigap menyikapi gelagat kenakalan murid, sehingga dapat mengantisipasinya sejak dini. Perlu diingat bahwa kenakalan tercipta dalam suatu lingkungan berawal dari kenakalan satu orang tapi dibiarkan sehingga menjalar pada orang-orang lain. Murid jangan diberi kesempatan berperilaku nakal.

Bila upaya-upaya sudah dilakukan dengan penuh kesabaran, tapi masih saja ada satu murid, misal, tidak bisa diatur, malah mempengaruhi pada murid-murid yang lain, tak berlebihan kiranya bila pihak lembaga mengambil tindakan tegas dengan cara murid yang bersangkutan tidak dinaikkan kelas, bahkan kalau perlu dikeluarkan dari lembaga. Lebih baik membuang satu murid perusak, demi menyelamatkan murid-murid yang lain. Barangkali murid yang dikeluarkan itu tidak jodoh dengan lembaga yang dimaksud, mungkin bisa berjodoh dengan lembaga lain. Lembaga pendidikan bisa disebut rumah rehabilitasi mental untuk mencetak insan yang beriman, berilmu dan berakhlak. Apabila mental murid makin tidak karu-karuan di lembaga itu, perlu dirujuk ke rumah sakit lain. Takdirnya mungkin untuk menjadi orang baik perlu belajar di tempat lain.

Lain halnya mengelola lembaga pendidikan besar, misal, MTsN dan MAN atau milik pondok pesantren terkemuka, tentu tak serumit lembaga pendidikan desa tersebut. Penerimaan muridnya melalui tahap seleksi ketat, terutama MTsN dan MAN. Berbagai tes dilakukan, misalnya tes potensi akademik. Banyak calon siswa yang hanya gigit jari karena tidak lulus. Pendaftar yang lulus pun bila dikemudian hari bertindak nakal, pihak sekolah begitu gampang untuk mengeluarkannya. Lagi-lagi murid “rongsokan” dari lembaga-lembaga favorid yang tak masuk ukuran tersebut, alternatifnya kembali ke desa, sehingga pengelola lembaga pendidikan desa benar-benar punya beban berat sebagai lembaga muara. Mari bantu para pahlawan pengelola lembaga pendidikan kecil di desa! Wallah a’lam.

Sumenep, 18 April 2016

1 comment:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete