Lokasi di Objek Wisata Coban Rondo Pujon Malang 2018 |
M. Khaliq Shalha
Berjiwa dedikasi merupakan salah satu
anugerah Tuhan. Tak semua orang punya bekal cukup dalam hidupnya dengan jiwa
pengabdian, sehingga dalam berkarya cenderung banyak perhitungan untung rugi
buat dirinya, bukan kepuasan orang banyak baru dirinya. Tegaknya
suatu peradaban bermula dari para perintis dengan jiwa besar untuk kemaslahatan
sosial. Mereka tak pernah menggerutu pada orang-orang sebelahnya, atau pada
generasi berikutnya dengan capaian jasa yang diraih.
Mengabdi paralel dengan ikhlas. Mirip
iman dan malu. Mengabdi dalam bidang apa saja harus didasarkan pada keikhlasan.
Sifat ikhlas sama artinya dengan profesionalisme, mempersembahkan yang terbaik,
baik ada apa atau siapa atau tidak ada apa atau siapa. Bekerja dengan bekal
keahlian mengantarkannya menggapai karya yang relatif memuaskan. Bekerja
sepenuh hati membuat pelakunya menikmati pekerjaannya sehingga sangat mungkin
bisa produktif.
Pengabdian tidak serta merta dimaknai
sebagai aktivitas tanpa pamrih. Bisa dengan pamrih dan bisa pula tanpa ada
pamrih. Tergantung di mana seseorang menambatkan pengabdiannya. Salah satu
contoh menarik adalah pengabdian yang bergerak dalam bidang jasa, yaitu profesi
guru untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Status kepegawaian guru ada
yang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan ada yang NonPNS. Keduanya sama-sama
memiliki tugas mulia, yaitu memanusiakan manusia.
Guru yang berstatus PNS disebut pula
sebagai ‘abdi negara’. Di sebuah toko kain di Pamekasan, waktu saya mencari
kain seragam siswa, teman bertanya tentang salah satu motif batik yang
diletakkan di tempat khusus. Tuan toko menjawab dengan mantap, ‘Itu baju
seragam khusus abdi negara. Tidak saya jual secara umum dengan
harga berapa pun.” Wah!!
Guru PNS kesejahteraannya lebih
terjamin. Dapat gaji pokok rutin setiap bulan plus tunjangan. Bagi mereka ada
hak dan kewajiban. Di tengah-tengah melaksanakan kewajibannya, butuh jiwa
pengabdian untuk mendidik para siswa sepenuh hati, bukan sekadar formalitas.
Mengerahkan segala kemampuan sepenuh hati untuk memberikan yang terbaik kepada
negara sesuai bidang yang diampu, baik ketika diperhatikan oleh atasannya atau
tidak. Sebaliknya, ada yang hanya sebatas berjiwa formalitas. Mengisi absen,
bekerja sekenanya, kerja tidak produktif kecuali sebatas penampilan luarnya
saja. Jiwa-jiwa pendidik tipe ini tidak bisa diharapkan banyak menggugah jiwa
besar para anak didiknya.
Sedangkan guru NonPNS, misal di
madrasah, tak ada jaminan kesejahteraan menentu. Pengabdian di jalur ini
betul-petul menguji nyali mereka. Membuktikan jiwa besar mereka.
Profesionalisme tetap diutamakan. Kepentingan diri dan keluarga tidak menjadi
pertimbangan. Pasrah yang menjadi handalannya bahwa mengajar dan mendidik
adalah amal baik yang oleh Tuhan akan diberi balasan setimpal. Banyak guru
senior yang saya tahu bahwa lama pengabdiannya sudah puluhan tahun tanpa kenal
lelah. Murid-muridnya sudah banyak yang menjadi dosen dengan bergelar doktor.
Betapa banyak dan besar jasa para guru lewat jalur ini.
Apapun karirnya merupakan sebuah
pilihan. Menjatuhkan pilihan seyogiyanya didasarkan pada nilai-nilai
pengabdian. Suatu hal yang jangan sampai dipahami keliru tentang pengabdian
bahwa pengabdian itu artinya profesionalisme-produktif. Sungguh tidak
diinginkan bila kita menjatuhkan pilihan, misal, mengabdi di madrasah yang
minim anggaran kesejahteraan, kita setengah hati bekerja, sesempatnya dan
semaunya.
Madrasah sebagai kendaraan sosial,
idealnya dijalankan oleh orang-orang yang punya dedikasi tinggi. Bagi
pengelola, hendaknya selektif dalam merekrut guru atau karyawan. Keterbukaan di
awal-awal perekrutan, penting untuk disampaikan tentang kondisi madrasah yang
sebenarnya, termasuk kondisi sumber dana. Masalah dominan yang dihadapi
madrasah, khususnya di pedesaan, adalah rendahnya kedisiplinan guru. Faktornya,
mereka kurang punya jiwa mengabdi secara total. Di samping itu, kesejahteraan
mereka kurang terjamin. Bila Kepala Madrasah sudah tepat dalam memposisikan
hak-hak para guru, hendaknya melakukan teguran dan pembinaan. Guru ibarap sopir
kendaraan umum. Bila sopirnya tidak disiplin, maka yang dirugikan para anak
didiknya. Kepala madrasah harus berani melakukan penonaktifan guru yang rendah
disiplin setelah terlebih dahulu dilakukan pembinaan, namun tidak ada respons.
Namun, kadang kala rendahnya
kedisiplinan—sebagai buah dari jiwa dedikasi—karena faktor Kepala Madrasah
tidak profesional secara luas. Sikap tidak transparan, khususnya tentang
keuangan, menjadi faktor dominan rusaknya kesemangatan para guru untuk
menjalankan kewajiban. Suatu hal yang diminta oleh guru adalah keterbukaan.
Bila ada anggaran untuk guru, berikan pada mereka, bila mimang tidak ada,
katakan tidak ada. Sikap seperti ini tidak akan mengganggu pada semangat
pengabdian guru. Sebaliknya, bila madrasah yang dikelola sebagai sarana
memperkaya diri sendiri dan keluarganya, ini yang menjadi penyakit. Dana cukup,
namun acuh tak acuh pada kesejahtaraan guru. Tunjangan dari pemerintah ada,
misalnya, namun sebagian digelapkan untuk kepentingan pribadi. Tak ada
apresiasi pada guru. Guru ibarat sapi perah yang hanya diambil hasilnya tanpa
diberi pakan yang seimbang, atau ibarat sapi kerap yang dipaksa lari tanpa
diimbangi pakan dan jamu. Kepala seperti ini tergolong orang zalim.
Pemupupak kader-kader tegana pendidik
dengan memiliki jiwa pengabdian tinggi, bagi kalangan pengelola madrasah swasta
bisa memanfaatkan alumninya yang dipandang mampu dan punya kepribadian mulia.
Para alumni memiliki banyak kelebihan ketimbang lainnya. Di antaranya, memiliki
hubungan emosional yang erat dengan lembaga. Hubungan emosional inilah yang
bisa memicunya untuk mengembangkan lembaga sepenuh hati tanpa kenal
lelah. Wallah a’lam.
No comments:
Post a Comment