Saturday, July 7, 2018

MENGABDI SEPENUH HATI (Di Balik Profesi Guru)

Lokasi di Objek Wisata Coban Rondo Pujon Malang 2018 
M. Khaliq Shalha

Berjiwa dedikasi merupakan salah satu anugerah Tuhan. Tak semua orang punya bekal cukup dalam hidupnya dengan jiwa pengabdian, sehingga dalam berkarya cenderung banyak perhitungan untung rugi buat dirinya, bukan kepuasan orang banyak baru dirinya.  Tegaknya suatu peradaban bermula dari para perintis dengan jiwa besar untuk kemaslahatan sosial. Mereka tak pernah menggerutu pada orang-orang sebelahnya, atau pada generasi berikutnya dengan capaian jasa yang diraih.

Mengabdi paralel dengan ikhlas. Mirip iman dan malu. Mengabdi dalam bidang apa saja harus didasarkan pada keikhlasan. Sifat ikhlas sama artinya dengan profesionalisme, mempersembahkan yang terbaik, baik ada apa atau siapa atau tidak ada apa atau siapa. Bekerja dengan bekal keahlian mengantarkannya menggapai karya yang relatif memuaskan. Bekerja sepenuh hati membuat pelakunya menikmati pekerjaannya sehingga sangat mungkin bisa produktif.

Pengabdian tidak serta merta dimaknai sebagai aktivitas tanpa pamrih. Bisa dengan pamrih dan bisa pula tanpa ada pamrih. Tergantung di mana seseorang menambatkan pengabdiannya. Salah satu contoh menarik adalah pengabdian yang bergerak dalam bidang jasa, yaitu profesi guru untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Status kepegawaian guru ada yang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan ada yang NonPNS. Keduanya sama-sama memiliki tugas mulia, yaitu memanusiakan manusia.

Guru yang berstatus PNS disebut pula sebagai ‘abdi negara’. Di sebuah toko kain di Pamekasan, waktu saya mencari kain seragam siswa, teman bertanya tentang salah satu motif batik yang diletakkan di tempat khusus. Tuan toko menjawab dengan mantap, ‘Itu baju seragam khusus abdi negara. Tidak saya jual secara umum dengan harga berapa pun.” Wah!!

Guru PNS kesejahteraannya lebih terjamin. Dapat gaji pokok rutin setiap bulan plus tunjangan. Bagi mereka ada hak dan kewajiban. Di tengah-tengah melaksanakan kewajibannya, butuh jiwa pengabdian untuk mendidik para siswa sepenuh hati, bukan sekadar formalitas. Mengerahkan segala kemampuan sepenuh hati untuk memberikan yang terbaik kepada negara sesuai bidang yang diampu, baik ketika diperhatikan oleh atasannya atau tidak. Sebaliknya, ada yang hanya sebatas berjiwa formalitas. Mengisi absen, bekerja sekenanya, kerja tidak produktif kecuali sebatas penampilan luarnya saja. Jiwa-jiwa pendidik tipe ini tidak bisa diharapkan banyak menggugah jiwa besar para anak didiknya.

Sedangkan guru NonPNS, misal di madrasah, tak ada jaminan kesejahteraan menentu. Pengabdian di jalur ini betul-petul menguji nyali mereka. Membuktikan jiwa besar mereka. Profesionalisme tetap diutamakan. Kepentingan diri dan keluarga tidak menjadi pertimbangan. Pasrah yang menjadi handalannya bahwa mengajar dan mendidik adalah amal baik yang oleh Tuhan akan diberi balasan setimpal. Banyak guru senior yang saya tahu bahwa lama pengabdiannya sudah puluhan tahun tanpa kenal lelah. Murid-muridnya sudah banyak yang menjadi dosen dengan bergelar doktor. Betapa banyak dan besar jasa para guru lewat jalur ini.

Apapun karirnya merupakan sebuah pilihan. Menjatuhkan pilihan seyogiyanya didasarkan pada nilai-nilai pengabdian. Suatu hal yang jangan sampai dipahami keliru tentang pengabdian bahwa pengabdian itu artinya profesionalisme-produktif. Sungguh tidak diinginkan bila kita menjatuhkan pilihan, misal, mengabdi di madrasah yang minim anggaran kesejahteraan, kita setengah hati bekerja, sesempatnya dan semaunya. 
Madrasah sebagai kendaraan sosial, idealnya dijalankan oleh orang-orang yang punya dedikasi tinggi. Bagi pengelola, hendaknya selektif dalam merekrut guru atau karyawan. Keterbukaan di awal-awal perekrutan, penting untuk disampaikan tentang kondisi madrasah yang sebenarnya, termasuk kondisi sumber dana. Masalah dominan yang dihadapi madrasah, khususnya di pedesaan, adalah rendahnya kedisiplinan guru. Faktornya, mereka kurang punya jiwa mengabdi secara total. Di samping itu, kesejahteraan mereka kurang terjamin. Bila Kepala Madrasah sudah tepat dalam memposisikan hak-hak para guru, hendaknya melakukan teguran dan pembinaan. Guru ibarap sopir kendaraan umum. Bila sopirnya tidak disiplin, maka yang dirugikan para anak didiknya. Kepala madrasah harus berani melakukan penonaktifan guru yang rendah disiplin setelah terlebih dahulu dilakukan pembinaan, namun tidak ada respons.

Namun, kadang kala rendahnya kedisiplinan—sebagai buah dari jiwa dedikasi—karena faktor Kepala Madrasah tidak profesional secara luas. Sikap tidak transparan, khususnya tentang keuangan, menjadi faktor dominan rusaknya kesemangatan para guru untuk menjalankan kewajiban. Suatu hal yang diminta oleh guru adalah keterbukaan. Bila ada anggaran untuk guru, berikan pada mereka, bila mimang tidak ada, katakan tidak ada. Sikap seperti ini tidak akan mengganggu pada semangat pengabdian guru. Sebaliknya, bila madrasah yang dikelola sebagai sarana memperkaya diri sendiri dan keluarganya, ini yang menjadi penyakit. Dana cukup, namun acuh tak acuh pada kesejahtaraan guru. Tunjangan dari pemerintah ada, misalnya, namun sebagian digelapkan untuk kepentingan pribadi. Tak ada apresiasi pada guru. Guru ibarat sapi perah yang hanya diambil hasilnya tanpa diberi pakan yang seimbang, atau ibarat sapi kerap yang dipaksa lari tanpa diimbangi pakan dan jamu. Kepala seperti ini tergolong orang zalim.

Pemupupak kader-kader tegana pendidik dengan memiliki jiwa pengabdian tinggi, bagi kalangan pengelola madrasah swasta bisa memanfaatkan alumninya yang dipandang mampu dan punya kepribadian mulia. Para alumni memiliki banyak kelebihan ketimbang lainnya. Di antaranya, memiliki hubungan emosional yang erat dengan lembaga. Hubungan emosional inilah yang bisa memicunya untuk mengembangkan lembaga sepenuh hati tanpa kenal lelah. Wallah a’lam.

No comments:

Post a Comment